Wakil Presiden Boediono mengingatkan agar kalangan bank menyusun laporan keuangan yang akurat dan tidak yang aneh-aneh agar krisis keuangan seperti yang terjadi tahun 1997-1998 dan 2008-2009 tidak terjadi lagi.
Bank Indonesia yang berfungsi mengawasi perbankan juga diharapkan bisa memberikan laporan yang terbaik. Jika perlu, BI memberikan sanksi jika ada bank yang tidak benar dalam memberikan laporan.
”Jangan ada lagi laporan yang aneh-aneh,” kata Wapres Boediono saat membuka Pameran dan Konferensi Ke-6 tentang Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Asia Pasifik (Asia Pacific Conference and Expo/Apconex) Tahun 2010 di Jakarta Convention Centre (JCC), Rabu (28/4).
Dalam acara itu hadir Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi dan Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono serta kalangan bankir lainnya.
”Kalau di antara kita ada yang tidak tepat memberikan informasi, komunitas itu yang mengingatkan, terutama pada masa krisis. Bank harus saling mengingatkan, ikut menjaga dan mengingatkan rekan sesamanya untuk melakukan yang benar,” ujar Boediono lagi.
Boediono menyatakan, akurasi laporan perbankan merupakan pelajaran untuk mencegah krisis ekonomi yang bisa terjadi lagi pada masa datang.
”Meskipun pada krisis 2008-2009 respons kita relatif baik, akan tetapi masih ada banyak yang harus diperbaiki lagi agar kita lebih siap, misalnya dengan supervisi yang lebih baik dan juga transparansi perbankan yang lebih terbuka lagi. Laporan perbankan harus akurat dan tepat waktu,” kata Boediono.
Lebih jauh Boediono menyatakan, pelajaran lainnya agar krisis tidak terjadi lagi adalah jangan meremehkan tanda atau potensi krisis.
”Hikmah lainnya adalah menciptakan struktur ekonomi yang lebih seimbang dan pengelolaan makroekonomi yang prudent atau berhati-hati,” ujar Wapres.
Sementara itu, dari Hongkong dilaporkan,
Hal itu terjadi karena belum tuntasnya penyelesaian piutang empat bank BUMN itu. Sesuai aturan perundang-undangan, piutang itu tak bisa dihapus tagih.
Padahal, piutang yang membebani neraca bank sudah sulit ditagih karena sebagian besar adalah piutang kredit yang sudah sangat lama. Bahkan, sebagian besar debitornya ataupun agunannya sudah tidak ada.
”Kalaupun agunannya ada dan dijual, belum tentu hasil penjualannya bisa menutup utang mereka,” ujar Direktur Utama Bank Negara Indonesia Gatot Suwondo di Hongkong, Rabu (28/4), menjelang pertemuan dengan beberapa calon investor di Singapura dan Hongkong.
Dari Rp 85 triliun piutang kredit yang tidak bisa diselesaikan itu, BNI mencatat masih sekitar Rp 20 triliun, selebihnya tersebar di Bank Mandiri, BRI, dan BTN.
Selama piutang ini tidak tertagih, bank BUMN wajib mencadangkan dana Rp 85 triliun. Akibatnya, ada potensi penyaluran kredit yang tidak terjadi dengan jumlah yang sama
No comments:
Post a Comment