Usaha perikanan tangkap terancam terpuruk. Ini dampak naiknya pungutan hasil perikanan hingga 300 persen.
Keluhan terhadap kenaikan pungutan hasil perikanan (PHP) dilontarkan oleh para pemangku kepentingan perikanan setelah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan untuk Perhitungan Pungutan Hasil Perikanan, yang terbit 17 Maret 2010.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Muara Baru Tri di Jakarta, Kamis (29/4), menyatakan, harga patokan ikan (HPI) memakai patokan harga ekspor sehingga lebih tinggi hingga 300 persen dibandingkan HPI sebelumnya. Tingginya HPI tak sebanding dengan harga jual ikan di tingkat nelayan.
HPI ikan cakalang, misalnya, dipatok rata Rp 7.100 per kg, setara harga ekspor di tingkat nelayan. Padahal, harga cakalang di pasaran ada empat kategori, yakni cakalang kualitas ekspor Rp 7.000 per kg, pasar lokal Rp 6.000 per kg, kualitas rendah Rp 3.000, dan bahan baku ikan asin Rp 4.500-Rp 5.000 per kg.
Harga ikan yang dipatok meliputi 68 jenis komoditas. HPI akan menentukan besar pungutan hasil perikanan. Apabila HPI tinggi, PHP ikut tinggi. ”PHP terlalu tinggi akan membunuh perikanan tangkap. Ada kalanya harga jual ikan tinggi, tetapi saat panen anjlok,” ujar Tri.
Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Asosiasi Pengusaha Perikanan Indonesia Bambang Suboko, PHP wajib dibayar di muka dan berlaku untuk satu tahun. Padahal, cuaca yang berubah-ubah membuat produktivitas dan hasil tangkapan ikan tak menentu dan ongkos melaut makin mahal. ”Padahal, jika kapasitas produksi per tahun kurang dari estimasi awal, kelebihan PHP yang telah dibayar tak bisa dikembalikan,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment