Haaa...! Bagaimana bisa orang ”pas-pasan” mengelola kekayaan? Begitu mungkin teriakan Anda membaca judul tulisan tersebut. Tenang...! Jangan langsung meninggalkan tulisan ini. Baca pelan-pelan, jangan sampai ada yang bisa ”dipetik” dan tidak menyesal.
Mengapa kita tidak mencoba berpikir di luar kotak itu? Bukan saja cara berpikir, tetapi cara bertindak kita juga yang harus di balik. Misalnya, mengapa tidak berpikir bahwa justru karena tidak kaya sehingga harus mengelola aset secara optimal agar bisa kaya.
Banyak orang yang sebenarnya memiliki penghasilan memadai. Bahkan, penghasilan itu bisa berlebih untuk keperluan hidup sehari-hari. Akan tetapi, dalam situasi dan kondisi tertentu kadang-kadang mereka pusing dengan munculnya tiba-tiba kebutuhan dana yang besar.
Ketika anak-anak masuk sekolah, misalnya. Biasanya, menjelang masa-masa itu tiba, banyak orang yang mulai ”panik” mencari sumber pinjaman untuk memenuhi kebutuhan yang signifikan jumlahnya tersebut. Karena tidak dipersiapkan secara baik, ketika masa kritis itu tiba seseorang bisa dilanda panic buying. Membabi buta mencari pinjaman. Suku bunga tinggi pun ditabraknya. Sikat saja dulu, urusan cicilan belakangan.
Jika langkah atau tindakan semacam itu diambil, kesulitan bahkan ”bencana” bisa bermula dari sini. Kesulitan hidup bisa terjadi kelak karena beratnya beban cicilan pinjaman yang dikenai suku bunga tinggi harus dibayar. Jika tidak sanggup memikul beban itu, pembayaran pinjaman bisa macet, urusan dengan kreditor alias pemberi pinjaman menjadi rumit. Bahkan bisa berhadapan dengan dengan hukum. Aset lain juga tidak mustahil melayang, disita oleh pemberi pinjaman alias kreditor.
Lebih dari itu, nama baik tercoreng. Tercatat sebagai debitor ”nakal” dan masuk daftar nasabah yang rekam jejaknya buruk. Kalau nama tersebar ke bank-bank atau lembaga pemberi pinjaman, kelak bisa saja seumur-umur tidak akan ada lagi yang mau memberi pinjaman. Padahal, tidak tertutup kemungkinan kemampuan finansial mengembalikan kreditnya sudah meningkat.
Menghindari agar hal-hal buruk seperti itu tidak terjadi pada diri dan keluarganya, seseorang harus punya prinsip yang benar mengenai uang, kebutuhan, dan keinginan.
Sebelum dikenal konsep uang, orang ”tempo doeloe” melakukan barter. Orang yang punya beras dan hendak makan ayam, maka beras ditukar dengan ayam sesuai kesepakatan. Setelah masyarakat mengenal konsep mata uang, jadilah uang itu sebagai alat bayar dan alat tukar untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dihasilkan sendiri. Uang digunakan untuk membeli garam sampai mobil dan rumah, yang tidak dapat dihasilkan sendiri.
Seiring perkembangan zaman dan peradaban manusia, uang juga bisa menjadi ”pekerja” yang dapat kita ”suruh” untuk mencari temannya, yaitu uang juga. Lho kok bisa? Ya bisa. Uang itu diinvestasikan. Kata orang awam, uang diputar.
Namun, sebelum sampai pada penjelasan investasi itu, sebaiknya seseorang terlebih dahulu memahami perbedaan mendasar antara keinginan dan kebutuhan. Tidak sedikit orang yang tak mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Kebutuhan bisa dikatakan segala sesuatu yang kita perlukan untuk hidup, yang memang tidak bisa ditawar-tawar, harus dibayar dengan uang jika tak mampu menghasilkannya sendiri. Obat pada saat kita sakit, misalnya, atau makan yang cukup, dalam volume dan gizinya sesuai kondisi dan kebutuhan fisik.
Namun, sesuatu yang kita anggap kebutuhan sering kali sebenarnya hanya keinginan saja. Membeli baju lima lembar, misalnya, atau membeli lagi padahal yang ada masih bagus. Baju-baju itu sebenarnya tidak kita butuhkan. Namun, karena hanya untuk memenuhi keinginan, baju tersebut kita beli juga.
Jika kelak tidak mau terjadi seperti cerita kepanikan menjelang anak-anak sekolah, ada kiat yang baik. Menabung atau menyesal. Kuncinya menabung sejak dini. Sama dengan mempersiapkan pensiun, semakin awal seseorang mempersiapkan pensiun, semakin ringan anggaran yang ditanggung setiap bulan. Semakin telat dimulai persiapannya, semakin berat pula bebannya, apalagi kalau mau hidup dengan biaya yang cukup besar pada usia pensiun.
Idealnya, menabunglah begitu pertama kali mendapatkan penghasilan, ya masih ”pas-pasan”. Bikinlah komitmen diri sendiri dan laksanakan secara konsekuen. Misalnya, bertekad menyisihkan 10 persen penghasilan setiap bulan. Kalau penghasilan naik, tetap sisihkan 10 persen. Itu komitmennya, jangan lihat nominalnya.
Tidak berarti orang yang sudah lama bekerja tidak dapat memulai menabung. Mulailah sekarang juga...!
Ada yang mengatakan, bagaimana mau menabung kalau penghasilan pas-pasan. Ini paradigma yang kurang tepat. Kembali pada nasihat di atas.
Mulai sekarang juga, inventarisasi ulang, mana kebutuhan dan mana-mana saja cuma keinginan yang selama ini Anda berusaha mati-matian memenuhinya sehingga penghasilan itu pas-pasan.
Tekan semua pengeluaran yang hanya dihamburkan untuk memenuhi keinginan dan penuhi semua kebutuhan. Penghasilan Anda pasti lebih.
Ingatlah rumus ini. Penghasilan dikurangi tabungan sama dengan konsumsi. Jadi, belanjakanlah semua uang penghasilan Anda setelah terlebih dahulu menyisihkan sejumlah tertentu untuk tabungan. Anda pasti punya tabungan. Coba saja...!
Itulah yang dimaksud mengelola kekayaan selagi masih ”pas-pasan”.
Setelah memiliki tabungan yang memadai, barulah meningkat ke investasi yang bisa menaikkan dan menurunkan nilai uang secara cepat. Lakukan sendiri kalau punya kemampuan dan pengetahuan serta waktu. Jika tidak, serahkan kepada ahlinya.
Siapa ahlinya? Ya, pengelola kekayaan, fund manager, profesional individual dan lembaga yang telah mendapat izin dari otoritas jasa keuangan. Terlalu berisiko mengelola sendiri kekayaan tanpa pengetahuan memadai, apalagi produk-produk keuangan semakin canggih.
No comments:
Post a Comment