Thursday, April 29, 2010

Mencairkan Kelebihan Likuiditas Perbankan

Timbunan ekses likuiditas perbankan yang ditempatkan pada instrumen moneter, yakni Sertifikat Bank Indonesia makin mengkhawatirkan. Bank Indonesia menyiapkan aturan baru giro wajib minimum atau dana yang mesti ditempatkan bank komersial pada bank sentral, dikaitkan rasio penyaluran kredit terhadap dana pihak ketiga.

"Aturan itu sedang difinalisasi. Berbagai faktor mesti dipertimbangkan, seperti pertumbuhan ekonomi, likuiditas perbankan, inflasi, dan sebagainya,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D Hadad, Kamis (22/4) di Jakarta, dalam seminar yang diselenggarakan The Journalist Club.

Aturan itu, antara lain bertujuan untuk mendorong peningkatan penyaluran kredit perbankan ke sektor riil sehingga uang yang dihimpun perbankan, tidak berputar-putar di pasar keuangan.

Dengan semakin derasnya kredit mengalir ke sektor riil, perputaran ekonomi juga bakal semakin kencang. Apalagi, jika jangkauan penyaluran kredit itu semakin meluas, bukan pada nasabah yang itu-itu saja, jelas akan menciptakan efek beruntun. Selain positif bagi ekonomi secara makro, juga secara mikro menciptakan pengusaha baru yang tentu saja akan kembali memberikan keuntungan bagi bank.

Sebagai dampak krisis tahun 2008 yang masih tersisa hingga kini, kinerja intermediasi perbankan berupa penyaluran kredit pada 2009 hanya tumbuh sebesar 10 persen senilai Rp 130,2 triliun sehingga target yang pertumbuhan 20 persen yang semula ditetapkan perbankan tidak tercapai.

Sebagai respons terhadap krisis tahun 2008 itu, untuk menjaga kecukupan likuiditas dan ketahanan perbankan, BI mengeluarkan serangkaian kebijakan. Misalnya, menurunkan suku bunga BI Rate sebesar 300 basis poin, memperbesar akses bank terhadap fasilitas pendanaan jangka pendek.

Selain itu, BI bersama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga meningkatkan batas penjaminan simpanan masyarakat dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar, serta memperpanjang jangka waktu fine tune operation (FTO). Lainnya, menurunkan GWM dari 9,3 persen menjadi 7,5 persen pada Oktober 2008 (2,5 persen di antaranya berupa cadangan sekunder yang diberlakukan pada Oktober 2009).

Tak kalah pentingnya beberapa kebijakan di bidang nilai tukar. Hasil dari serangkaian kebijakan itu, antara lain, adalah stabilitas ekonomi perbankan, pertumbuhan ekonomi yang masih positif, inflasi yang rendah, suku bunga stabil, serta nilai tukar yang cenderung menguat dan relatif stabil.

Selama tahun 2009, stabilitas sistem keuangan menunjukkan tren membaik. Indeks Stabilitas Finansial atau Financial Stability Index (FSI) menurun dari 2,10 (Desember 2008) menjadi 1,92 (Desember 2009). Hal itu didukung oleh penurunan volatilitas di pasar saham dan obligasi serta kualitas kredit yang relatif terkendali.

Secara umum, kinerja perbankan tetap positif dengan ketahanan cukup memadai terhadap gejolak berbagai risiko karena didukung rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) yang relatif tinggi, yakni 17,6 persen.

Pagar-pagar prudensial terjaga sehingga rasio kredit bermasalah perbankan (NPL) bruto dapat tetap dipertahankan di bawah 5 persen, yaitu sebesar 4,3 persen dengan NPL bersih sebesar 1,2 persen.

Usaha perbankan pun tetap sangat menguntungkan dengan rasio keuntungan terhadap aset 2,7 persen. Akan tetapi, kinerja intermediasi perbankan cenderung terus menurun.

Namun, seiring perbaikan kondisi internal dan faktor eksternal berupa pemulihan ekonomi global, penyaluran kredit selama triwulan I-2010 mulai melaju lebih cepat. Apalagi, dengan masih kuatnya permintaan domestik dan prospek ekonomi global yang dinilai tetap kondusif, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan mencapai 5,5-6,0 persen. Inflasi sampai semester pertama masih akan tetap rendah, tetapi diperkirakan kembali ke pola normal yang mencapai 4,8 persen.

Proyeksi kredit perbankan di awal tahun sebesar 17-20 persen. Namun, perbankan lebih optimistis, kredit akan tumbuh sebesar 23,89 persen tahun ini dan simpanan (dana pihak ketiga/DPK) tumbuh sebesar 14,93 persen. Akibatnya, hal itu akan meningkatkan rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio/LDR) dari 72,88 persen tahun 2009 menjadi 78,56 persen.

Direktur Penelitian dan Pengaturan BI Halim Alamsyah mengatakan, hakikat aturan itu adalah memadukan semangat makroekonomi yang dinamis seperti inflasi yang tetap terkendali dan pertumbuhan tinggi, tetapi tak melupakan aspek mikro perbankan yang berhati-hati.

Halim Alamsyah menjelaskan, tantangan likuiditas tahun 2010 ini cukup signifikan. Ekses likuiditas perbankan saat ini yang disimpan dalam bentuk pembelian Sertifikat Bank Indonesia mencapai Rp 236 triliun dari total SBI Rp 325 triliun. Padahal, pada akhir tahun 2009, posisi ekses likuiditas perbankan tersebut masih sebesar Rp 212 triliun dari total SBI Rp 255 triliun.

”Ekses likuiditas tersebut mengakibatkan biaya operasi moneter semakin tinggi,” katanya.

Total ekses likuiditas kini mencapai Rp 380 triliun. Sungguh besar dan sangat bermakna manakala digelontorkan ke sektor riil untuk memacu pertumbuhan ekonomi, menyerap tenaga kerja, mengatasi sebagian persoalan kemiskinan. Duit itu menyebar di instrumen moneter SBI serta OPT fine tune operation dan fine tune kontraksi (FTK). Hal itu belum termasuk di SUN dan piutang bank di pasar uang antarbank.

Tingginya angka likuiditas berlebih (ekses likuiditas) tersebut terjadi akibat dampak kebijakan BI juga pada masa lalu untuk mengatasi persoalan kekeringan likuiditas di pasar keuangan saat terjadi krisis keuangan tahun 2008. Ekses likuiditas dari kebijakan pada 2008 itu bertambah sekitar Rp 50 triliun dari kebijakan penurunan GWM dan adanya suntikan dana pemerintah ke perbankan sebesar Rp 15 triliun.

Halim menjelaskan, penyerapan kelebihan likuiditas itu dapat terjadi secara makro dan secara mikro. Secara makro, kata dia, jika pertumbuhan ekonomi mencapai lebih dari 8,5 persen selama dua tahun berturut-turut. Hal itu diasumsikan tidak ada aliran modal masuk (capital inflow) dan suku bunga tetap. Tetapi, kondisi ini akan sulit dicapai dalam waktu dekat. Jika pertumbuhan ekonomi masih 5-6 persen, setidaknya dibutuhkan 8-9 tahun. Situasi ini dapat menciptakan risiko ketidakstabilan jika dibiarkan.

Secara mikro, ketententuan-ketentuan prudensial alias kehati-hatian dilonggarkan untuk dapat mendorong pertumbuhan kredit dan ekspansi usaha perbankan. Namun, dalam jangka menengah/panjang akan merugikan kinerja dan fundamental perbankan yang dewasa ini sudah solid.

”Oleh karena itu, untuk menjaga momentum pertumbuhan, mengendalikan inflasi, dan menjaga kecukupan likuiditas dalam sistem perbankan, perlu ada suatu kombinasi kebijakan makro dan mikro, macro and micro prudential regulation,” kata Halim.

Dalam merancang kebijakan itu, menurut Halim, beberapa hal yang akan menjadi pertimbangan. Harus memberikan insentif bagi bank yang mempunyai performa kredit yang baik yang berdasarkan atau sesuai dengan prinsip makro-mikro prudensial. Sistem insentif dan disinsentif yang diterapkan dianggap yang paling efektif mencapai tujuan. Kebijakan itu pun dapat diimplementasikan untuk berbagai kondisi perekonomian dan perbankan. Untuk saat ini dapat menjawab concern mengenai ekses likuiditas dan intermediasi perbankan. Tidak terlalu memberatkan bank dalam mencapai target, memberikan masa transisi yang cukup, serta melakukan simulasi secara individual bank.

Kebijakan itu bisa menimbulkan implikasi dan memerlukan penyesuaian. Bank-bank yang LDR-nya di luar kisaran target dapat melakukan penyesuaian. Pertama, meningkatkan atau menurunkan kredit; hal ini diperkirakan tidak akan berlangsung dengan cepat sehingga kemungkinan perlu difasilitasi pasar jual-beli kredit antarbank. Kedua, meningkatkan atau menurunkan DPK; bank bisa menjadi agen penempatan DPK kepada instrumen pasar modal (untuk menurunkan DPK) atau menawarkan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk menarik dana masyarakat (untuk meningkatkan DPK).

Ketiga, menambah modal untuk meningkatkan CAR bagi bank yang LDR-nya di atas batas atas sehingga dapat memperoleh insentif. Hal ini sejalan dengan arah kebijakan BI untuk memperkuat permodalan bank serta risk-based management.

”Bank-bank yang harus membayar GWM lebih tinggi daripada sebelumnya akan mengurangi komposisi alat likuidnya. Saat ini, kondisi tersebut diperlukan untuk mengurangi eksposur bank pada SBI serta mengurangi biaya OPT,” ujar Halim.

No comments:

Post a Comment