Walaupun Indonesia tidak sempat mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif selama resesi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun sejak kuartal IV-2008. Akan tetapi, seiring dengan membaiknya keadaan ekonomi global, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pun mulai meningkat.
Menurut data yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,7 persen pada kuartal I-2010 atau naik dari 4,5 persen pada kuartal IV-2009.
Membaiknya keadaan ekonomi Indonesia ini juga tecermin dalam Coincident Economic Index (CEI) Danareksa. CEI adalah indeks yang menangkap pergerakan ekonomi saat ini. CEI disusun dengan menggunakan informasi penjualan mobil, konsumsi semen, impor, suplai uang, dan penjualan ritel. CEI yang naik menggambarkan aktivitas perekonomian yang meningkat, sedangkan CEI yang turun menggambarkan aktivitas perekonomian yang menurun.
CEI sudah mengalami penurunan sejak Juli 2008. Artinya, ekonomi kita sudah melambat sejak bulan itu. Pada bulan-bulan berikutnya CEI terus mengalami penurunan yang tajam, yang menunjukkan penurunan aktivitas perekonomian yang signifikan. CEI terus menurun hingga Februari 2009, yang menunjukkan perekonomian terus memburuk.
Namun, sejak Maret 2009, aktivitas perekonomian sudah mulai meningkat. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan CEI sejak Maret 2009. Dari level 104,80 pada Maret 2009, CEI terus meningkat hingga mencapai level 110,84 pada Maret 2010. Tren CEI yang naik ini menunjukkan aktivitas perekonomian yang semakin membaik.
Peningkatan aktivitas perekonomian tersebut didukung oleh permintaan domestik yang semakin meningkat karena daya beli masyarakat yang semakin membaik dan juga suku bunga yang relatif rendah. Daya beli konsumen yang masih kuat tersebut tecermin pada Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Danareksa Research Institute yang sudah menunjukkan tren naik sejak Juli 2008.
Dari level terendahnya sepanjang sejarah survei, yaitu pada level 65,33 pada Juni 2008, IKK pernah naik menjadi 93,83 pada Agustus 2009 dan ini merupakan level tertinggi sejak Juni 2005. Kenaikan IKK ini, yang juga mencerminkan peningkatan daya beli masyarakat, sangatlah menggembirakan mengingat belanja konsumen memberi kontribusi lebih dari 60 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) kita.
Namun, pada September 2009, IKK menurun ke level 87,5 dan sejak itu belum menunjukkan tren naik kembali. Bahkan pada Februari 2010, IKK sempat turun ke level 84,99 meskipun pada Mei 2010 IKK sudah naik kembali ke level 88,81. Timbul pertanyaan, faktor penting apa saja yang sangat memengaruhi pergerakan IKK?
Danareksa Research Institute melakukan survei terhadap 1.700 rumah tangga Indonesia untuk memberi gambaran persepsi rumah tangga terhadap kondisi perekonomian, pendapatan rumah tangga, dan ketersediaan lapangan kerja. Dalam survei ini, masyarakat juga ditanya mengenai faktor-faktor apa saja yang memengaruhi membaiknya atau memburuknya kondisi perekonomian di daerah mereka dalam tiga bulan terakhir.
Ada tiga masalah utama yang dikhawatirkan masyarakat selama beberapa tahun terakhir ini. Mereka menyatakan bahwa masalah tersebut telah memberikan dampak negatif terhadap kondisi perekonomian di daerah mereka dalam tiga bulan terakhir.
Masalah tersebut adalah tingginya harga bahan makanan, tingginya harga dan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM), serta ketersediaan lapangan kerja. Masalah yang dihadapi konsumen ini tentu saja akan berpengaruh pada pergerakan IKK.
Dari ketiga masalah tersebut, masalah yang paling menonjol adalah kekhawatiran terhadap tingginya harga bahan makanan. Sejak kenaikan harga BBM pada Mei 2008, lebih dari 50 persen konsumen yang disurvei menyatakan kekhawatiran mereka akan harga bahan pangan. Kekhawatiran masyarakat ini berkorelasi negatif dengan IKK sebesar -0,84. Artinya jika persentase konsumen yang khawatir terhadap tingginya harga pangan naik, IKK cenderung menurun. Sebaliknya, apabila persentase konsumen yang khawatir pada tingginya harga pangan turun, IKK cenderung meningkat (Gambar 1).
Pada Agustus 2009, misalnya, persentase konsumen disurvei yang menyatakan bahwa tingginya harga bahan makanan telah memperburuk keadaan ekonomi lokal mereka dalam tiga bulan terakhir turun menjadi 48,1 persen dari 61,9 persen pada April 2009. Pada periode yang sama, IKK naik ke level 93,8 dari level 84,1.
Sebaliknya pada Februari 2010, persentase konsumen disurvei yang menyatakan bahwa tingginya harga bahan makanan telah memperburuk keadaan ekonomi lokal mereka dalam tiga bulan terakhir naik menjadi 71,5 persen dari 53,8 persen pada Desember 2009. Sedangkan IKK turun ke level 85,0 dari level 89,1 pada periode yang sama.
Di tengah-tengah inflasi yang relatif cukup rendah, tampaknya kekhawatiran masyarakat terhadap harga pangan yang tinggi tersebut agak di luar dugaan kita. Menurut data BPS, inflasi tahunan Indonesia selalu berada di bawah 4 persen sejak Juni 2009. Sebelumnya, inflasi tahunan Indonesia memang sempat mencapai level yang cukup tinggi 12,14 persen pada September 2008 akibat kenaikan harga BBM bersubsidi pada Mei 2008.
Namun jika kita perhatikan lebih lanjut, komponen inflasi makanan ternyata rata-rata masih selalu lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi secara umum. Pada Mei 2010, misalnya, Indonesia mengalami inflasi sebesar 0,29 persen
Begitu juga pada April 2010, inflasi secara umum hanya mencapai 0,15 persen MoM, namun komponen inflasi makanan mencapai 0,29 persen.
Secara jangka panjang, harga pangan juga masih mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Dibandingkan dengan level pada Januari 2005, misalnya, harga pangan pada April 2010 mengalami kenaikan sebesar 64,2 persen. Angka ini masih lebih tinggi dari kenaikan harga umum yang mengalami kenaikan sebesar 50,1 persen dalam periode yang sama.
Selain itu, survei kepercayaan konsumen juga menunjukkan bahwa kepercayaan konsumen terhadap kemampuan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga barang, termasuk harga bahan makanan, relatif lebih rendah dibandingkan dengan komponen lainnya.
Dari kelima komponen kepercayaan terhadap pemerintah yang disurvei, kepercayaan konsumen terhadap pemerintah untuk menjaga stabilitas harga barang menduduki peringkat paling bawah dan levelnya rata-rata berada di bawah nilai standar 100.
Diskusi di atas menunjukkan bahwa persentase masyarakat yang khawatir terhadap tekanan harga pangan masih cukup tinggi. Kekhawatiran ini tampaknya sangat berpengaruh pada pergerakan IKK. Karena itu, pemerintah perlu meningkatkan usahanya untuk menjaga stabilitas harga, khususnya harga bahan makanan.
Fluktuasi berlebihan dari harga pangan yang bersifat musiman, seperti pada bulan puasa, Lebaran, dan musim paceklik di akhir tahun, seharusnya dapat diminimalkan dengan operasi pasar pada waktu dan lokasi yang tepat.
Dengan demikian, kepercayaan konsumen diharapkan terus meningkat dan dapat membantu meningkatkan aktivitas perekonomian kita pada masa mendatang.
No comments:
Post a Comment