Harga patokan maksimum rumah subsidi untuk masyarakat menengah ke bawah saat ini dinilai sudah tidak relevan.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia Teguh Satria di Jakarta, Kamis (15/7), mengemukakan, saat ini banyak pengembang di Jabodetabek memasarkan rumah subsidi lebih mahal daripada patokan harga maksimum.
Pemerintah selama ini mematok harga maksimum rumah sederhana sehat (RSH) Rp 55 juta per unit, sedangkan rumah susun sederhana milik (rusunami) subsidi Rp 144 juta per unit.
”Kami berharap ketentuan baru tentang fasilitas likuiditas pembiayaan rumah subsidi memberikan kelonggaran harga rumah,” ujar Teguh.
Ia mengemukakan, saat ini harga RSH di Jabodetabek untuk tipe 21 meter persegi (m) sebesar Rp 72 juta-Rp 75 juta per unit atau jauh di atas harga patokan maksimum pemerintah.
Hal itu terjadi karena biaya pembangunan rumah di perkotaan sudah berada di kisaran Rp 2 juta-Rp 3 juta per m.
Sebagian pengembang kini menunda pemasaran rumah subsidi guna menunggu penetapan aturan fasilitas likuiditas, pola pencairan subsidi, dan revisi ketentuan harga rumah.
Fasilitas likuiditas diberikan pemerintah bagi masyarakat menengah ke bawah dengan penghasilan maksimum Rp 4,5 juta per bulan. Fasilitas itu meliputi subsidi bunga kredit untuk RSH maksimum 8 persen per tahun dan rusunami 9 persen per tahun selama tenor pinjaman.
Fasilitas likuiditas menggantikan pola lama subsidi perumahan yang mencakup subsidi uang muka rumah dan subsidi selisih suku bunga kredit.
Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa telah menyatakan akan menghapus patokan maksimum harga rumah bersubsidi seiring pemberlakuan fasilitas likuiditas.
Dengan demikian, harga jual rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan mengikuti mekanisme pasar.
Penghapusan patokan maksimum harga rumah bersubsidi akan menyulitkan MBR menjangkau rumah yang layak. Sebab, harga rumah akan terdorong naik sehingga menyulitkan masyarakat untuk membayar uang
No comments:
Post a Comment