Dengan begitu, daya beli masyarakat tumbuh dan dapat mendorong percepatan perputaran roda perekonomian. Karena menyerap banyak tenaga kerja, jumlah warga miskin di daerah bisa ditekan.
Saat ini, berbagai kebijakan daerah dalam bentuk peraturan daerah banyak yang menghambat iklim investasi.
Sekretaris Jenderal Gabungan Produsen Pakan Ternak Desianto Budi Utomo, Rabu (14/7) di Jakarta, mengungkapkan, beberapa daerah tingkat II pemda memungut retribusi terhadap lalu lintas ayam usia sehari (DOC) dan pakan. Alasannya untuk biaya perbaikan infrastruktur jalan.
Sebaliknya, terkait dengan tata ruang pengembangan industri perunggasan, belum ada aturan yang jelas dari pemerintah. Misalnya, investasi pabrik pembibitan DOC bisa mendadak digusur warga sekitar hanya karena pabrik berdekatan dengan permukiman.
”Padahal, pabrik sudah dibangun sejak 20 tahun lalu sebelum ada warga yang bermukim di sekitarnya. Akibatnya, perlu relokasi, ini menjadi beban tersendiri bagi investor,” katanya.
Direktur Eksekutif Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia Joni Liano menyatakan, ternak sapi tak luput dikenai retribusi melalui perda.
Jasa inseminasi buatan (IB) sapi dari inseminator dibebani retribusi Rp 10.000 per ekor. Peternak pun terbebani karena inseminator membayar retribusi IB setelah menaikkan biaya inseminasi kepada peternak sapi.
”Harusnya retribusi ini tak perlu ada. Apalagi, pemerintah pusat tengah berupaya menambah populasi sapi. Caranya dengan melakukan IB untuk meningkatkan produktivitas sapi karena kawin alam lebih besar tingkat kegagalannya,” katanya.
Karena terbebani dikenai retribusi, inseminator pun tak kurang akal. Mereka memanipulasi jumlah sapi yang diinseminasi buatan. Akibatnya, proses pendataan sapi terganggu dan akan berpengaruh pada perencanaan kebijakan.
Soal lain terkait penyelamatan sapi betina produktif. Penyelamatan sapi betina produktif sudah menjadi kehendak undang-undang. Pemda tidak menindaklanjuti. Rumah potong hewan dikenai PAD. Besarnya PAD menjadi dasar penilaian kinerja kepala dinas peternakan.
Akibatnya, larangan memotong sapi betina produktif tidak digubris. Saat ini rata-rata 250.000 betina sapi produktif per tahun dipotong. Padahal, pemotongan sapi betina produktif akan berdampak pada penurunan populasi sapi karena induk sapi produktif berkurang dan sapi yang lahir berkurang.
Keluhan serupa diutarakan Ketua Kamar Dagang dan Industri Sulsel Zulkarnaen Arief. Menurut dia, pembuatan perda semestinya didasari perkembangan ekonomi sesuai kebutuhan daerah masing-masing.
Zulkarnaen juga berharap pada masa yang akan datang perda mengakomodasi kepentingan pengusaha lokal. Di bidang konstruksi, misalnya, hal itu dapat dilakukan dengan mekanisme kerja sama kontraktor nasional dengan lokal.
Kondisi tak jauh berbeda dialami perusahaan obat hewan. Ketua Umum Asosiasi Obat Hewan Indonesia Nuriyanto mengatakan, pengenaan retribusi untuk transportasi unggas, produk unggas, dan DOC akan berdampak pada industri obat hewan. Pengenaan retribusi menciptakan beban baru.
Beban baru dalam bentuk kenaikan harga dibebankan kepada konsumen. Dalam kondisi daya beli rendah, pengenaan beban baru akan berdampak pada volume penjualan, yang pada akhirnya menekan produksi dan konsumsi obat hewan.
Sebaliknya, iklim investasi yang bagus sekarang dirasakan oleh industri pengolahan kakao di Indonesia. Piter Jasman, Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia, menyatakan, sejak adanya kebijakan bea keluar biji kakao, industri pengolahan kakao memiliki masa depan cerah.
Banyak pembeli dari luar negeri yang membeli bubuk cokelat daripada biji kakao. Karena bila membeli biji kakao dikenai BK, sementara bubuk cokelat tidak. ”Dengan kebijakan BK, petani akan mendapatkan harga jual kakao yang lebih bagus. Nilai tambah dari pengolahan biji kakao juga dinikmati masyarakat dalam negeri,” katanya.
Bahkan, industri kakao tahun 2014 menargetkan peningkatan penyerapan biji kakao dalam negeri dari 150.000 ton per tahun menjadi 400.000 ton. Penyerapan tenaga kerja juga diharapkan meningkat.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Jawa Tengah Bidang Investasi Didik Soekmono di Kota Semarang, Rabu, menegaskan, inventarisasi peraturan daerah atau yang tidak pro-investasi oleh pemerintah pusat seharusnya diikuti penegakan hukum kepada daerah yang mengeluarkan perda tersebut. Tanpa itu, daerah akan tetap mencari celah untuk tetap mengejar pendapatan asli daerah melalui retribusi yang tidak wajar.
Didik menjelaskan, selama ini banyak perda di hampir semua wilayah di Jawa Tengah yang cenderung merugikan investor. Beberapa perda bahkan tidak sesuai dengan aturan yang berlaku di atasnya.
Perda mengenai izin gangguan (hinder ordonansi/HO), misalnya, kebanyakan diberlakukan pada tenggat waktu tertentu sehingga perlu ada perpanjangan izin. Padahal, seharusnya izin gangguan berlaku selama perusahaan berdiri.
Perda lain yang juga merugikan pengusaha misalnya ketidakjelasan ketentuan dalam perda yang mengatur tentang keterangan rancangan kota. Di kota-kota besar, misalnya, ada ketidakkonsistenan ketentuan koefisien bangunan untuk industri
No comments:
Post a Comment