Vietnam tidak jauh berbeda dengan Indonesia, terutama dalam pertaniannya. Di wilayah Vietnam selatan, banyak petani miskin berpendapatan rendah, seperti halnya petani di Jawa. Begitu pula lahan pertanian yang digarap, nyaris sama, yaitu sekitar 2.000 meter persegi per rumah tangga petani.
Dengan lahan hanya seluas itu, jangan harap mereka bisa hidup sejahtera. Selain bertani, mereka juga harus menjadi buruh pabrik, kuli bangunan, dan bekerja di sektor informal lainnya untuk menambah penghasilan keluarga.
Namun, kini kondisi sebagian besar petani kecil di Vietnam sudah lebih baik. Pendapatan mereka melonjak dua kali lipat. Ini karena mereka beralih dari menanam padi ke sayuran.
Alih budidaya komoditas ini tidak menimbulkan guncangan berarti dalam produksi beras di Vietnam. Padahal,
areal pertanaman sayuran terus melonjak dalam lima tahun terakhir. Ini membuat impor sayuran dari China terus berkurang.
Apabila tahun 2005 luas areal sayuran lebih kecil daripada luas tanam buah-buahan, kini yang terjadi sebaliknya.
Tahun 2010, luas pertanaman komoditas sayuran Vietnam sudah melampaui luas perkebunan kopi. Kopi salah satu komoditas andalan ekspor Vietnam.
Pengembangan komoditas sayuran di Vietnam tersebar, mulai dari wilayah utara, tengah, hingga selatan. Mulai dari Delta Sungai Merah hingga Delta Sungai Mekong.
Di wilayah barat laut terdapat 62.000 hektar, di Hanoi terutama di Delta Sungai Merah 113.000 hektar, Central Coast-North (50.000 hektar), Central Coast-South (28.000 hektar), Central Highlands (9.000 hektar), Delta Sungai Mekong (77.000 hektar), dan di tenggara (56.000 hektar).
Sayuran yang dikembangkan beragam, mulai dari tomat, kubis, jagung manis, labu, bawang, hingga daun bawang.
Pertumbuhan baru
Peran Pemerintah Vietnam dalam pengembangan sayuran di negeri itu tak terlalu dominan. Pemerintah Vietnam hanya memberi dukungan infrastruktur dasar, yakni jalan, jembatan, air, dan listrik, selain memberi pembebasan pajak tanah.
Jalan-jalan di desa dibeton. Irigasi menjadi permanen dan listrik ada di mana-mana. Jalan-jalan ke kebun-kebun produksi mulus sehingga distribusi barang lancar.
Selebihnya, sistem pasar yang berjalan. Minat pasar dalam mendukung pengembangan komoditas sayuran adalah dampak positif dari pembangunan ekonomi di Vietnam.
Vietnam kini adalah salah satu negara di Asia yang sedang bertumbuh pesat meski tak sepesat China.
Pertumbuhan ekonomi Vietnam menarik minat investor. Letak geografis Vietnam sangat strategis. Dalam jalur lalu lintas penerbangan, Vietnam berada di tengah jalur penerbangan strategis lintas benua.
Upah
tenaga kerja di Vietnam juga relatif murah, bahkan lebih murah daripada China. Selain itu, mekanisme berinvestasi mudah, perizinan gampang, dan pungutan liar minim. Hal ini menarik minat investor berinvestasi.
Pemerintah dan rakyat Vietnam berkeinginan kuat untuk maju. Ketegangan antaretnis ataupun agama tak ada. Semua berpikir untuk kemajuan rakyat dan negara.
Keinginan untuk maju juga terjadi di sektor pertanian. Vietnam berkeinginan menjadi eksportir beras terbesar dunia. Mereka terus memacu peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas.
Peningkatan produksi juga dilakukan di budidaya sayuran. Ternyata, budidaya sayuran merupakan jawaban atas peningkatan pendapatan petani berlahan sempit.
Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi sayuran dilakukan. Hal itu antara lain melalui berbagai pelatihan atau pendampingan kepada para petani agar petani tertarik menanam sayuran.
Pasar sayuran yang menjanjikan membuat investor tertarik dan mendorong petani melalui kegiatan bisnisnya. Syngenta, yang mengelola bisnis perlindungan tanaman dan produsen benih, misalnya, tertarik untuk masuk ke budidaya sayuran.
”Kami memberikan kontribusi melalui pendekatan bisnis,” kata CEO Syngenta Mike Mack.
Menurut Mack, pihaknya tertarik masuk ke Vietnam karena negara ini melakukan transformasi pertanian secara besar. Pertanian menjadi salah satu mesin perubahan di sana.
”Tantangannya adalah bagaimana membuat petani kecil hidup lebih baik,” kata Mack.
Berbagai kegiatan pendampingan dilakukan Syngenta di Vietnam. Di Distrik Hoai Duc, Hanoi, misalnya, melalui lembaga nonprofitnya, Syngenta mengelola kebun percobaan.
Mengajak petani
Duong Ba Cau, Country Head Seeds of Syngenta Vietnam, mengatakan, selama ini banyak petani kecil kurang atraktif mengembangkan sayuran.
Selain karena skala usahanya kecil, mereka juga menghadapi kendala pemenuhan kebutuhan hidup sehingga para petani itu harus bekerja di tempat lain.
”Mereka harus dimotivasi melalui pendampingan, yang bertujuan melakukan transfer teknologi. Kita harus pastikan produk petani berkualitas dan dibeli konsumen,” kata Ba Cau.
Untuk itu, Syngenta fokus melakukan tiga hal. Pertama adalah membuat petani terus berproduksi di tengah kondisi iklim yang tak menentu.
”Di Vietnam saat off seasson, suhu udara sangat tinggi. Tanaman sayuran banyak yang kekeringan. Kita mengajarkan bagaimana melakukan adaptasi di tengah cuaca yang tak bersahabat agar bisa tetap memproduksi sayur dengan kualitas bagus,” ujar Ba Cau.
Kedua, mengajarkan manajemen budidaya yang baik, antara lain dengan adopsi teknologi, dukungan irigasi, dan benih.
Ketiga, mengupayakan agar petani memiliki akses ke pasar. Mendekatkan produsen dengan pasar.
”Kami memiliki hubungan dengan supermarket untuk membahas kualitas produk yang bisa diterima,” kata Ba Cau.
Menurut Bui Trong Thap, petani sayur, ia menanam sayuran sejak enam tahun lalu di lahan 2.000 meter persegi. Biaya untuk budidaya tomat 10 dollar AS per 360 meter persegi. Setiap tahun penghasilannya 5.000 dollar AS.
”Keuntungannya 2 sampai 3 kali lipat dibandingkan dengan menanam padi,” ujar dia. Ini membuktikan, dengan sayuran pendapatan petani bisa ditingkatkan