Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai wacana penjualan aset PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) kepada PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) berpotensi menimbulkan kerugian bagi keuangan negara.
Bahkan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus pada pengawasan anggaran negara itu meprediksi total kerugian yang harus ditanggung oleh PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) selaku induk usaha Mitratel dari transaksi tersebut mencapai Rp 11 triliun sesuai dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Share swap saham ini merupakan tindakan penjualan aset BUMN yang kerugiannya bisa mencapai Rp 11 triliun. Beberapa waktu lalu DPR juga telah menolak kelanjutan proyek tersebut," ujar Apung Widadi, Manager Advokasi dan Investigasi Fitra di kantornya, Jakarta, Kamis (16/4).
Sebagai pengingat, pada 2014 kemarin Telkom telah menggulirkan wacana tukar guling aset ataushare swap aset Mitratel sebanyak 45 persen atau senilai Rp 2,31 triliun kepada Tower Bersama. Dalam mekanisme tukar guling itu perusahaan telekomunikasi pelat merah ini juga harus mengeluarkan tambahan biaya overhead sebesar Rp 14,21 miliar dan membayar kelebihan pembelian untuk beberapa barang yang nilainya mencapai Rp 776,13 juta.
Apung menegaskan, mekanisme tukar guling aset Mitratel sudah menyalahi Peraturan Presiden (PP) Nomor 39 tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup untuk Penanaman Modal Asing dan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang pembangunan dan penggunaan menara telekomunikasi. Pasalnya, Telkom merupakan perusahaan milik negara yang memiliki tanggungjawab terhadap pengembangan menara telekomunikasi dan peningkatan industri telekomunikasi di Indonesia.
"Yang pasti upaya ini (tukar guling) tidak masuk akal. Karena tukar guling saham Mitratel ke TBIG akan mengakibatkan Telkom kehilangan potensi pendapatan dari bisnis mereka di sektor menara telekomunikasi." tuturnya. Berangkat dari wacana itu, Apung pun mencium adanya praktik kongkalikong yang secara sengaja menginginkan adanya tukar guling aset Mitratel. Hal ini kian menjadi tatkala jajaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga telah mengindikasikan adanya sejumlah "oknum" dalam proses penjualan aset mitratel.
"OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sendiri juga telah menolak tukar guling saham Mitratel dan Tower Bersama. Kalau ini terjadi saya pikir ada yang bermain," tegas Apung
Aksi menjual dan membeli saham yang dilakukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Telekomunikasi Indonesia Tbk kerap menjadi sorotan publik. Dalam dua tahun terakhir, Telkom melakukan sejumlah aksi korporasi yang tidak sedikit.
Hari ini, Jumat (10/10) Telkom mengumumkan akan membeli 13,7 persen saham perusahaan menara telekomunikasi milik Sataroga Group, PT Tower Bersama Tbk (TBIG). Pembelian saham tersebut ditukar dengan 100 persen saham Telkom di anak usaha menaranya PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel). Namun hal itu dilakukan dalam dua tahun ke depan. Untuk tahap awal, transaksi ini dimulai dengan menukar 49 persen saham Telkom di Mitratel dengan 5,7 persen saham Tower Bersama. Buntut dari aksi tersebut membuat saham berkode TBIG naik 4,74 persen bahkan sempat naik hingga 6 persen pada sesi satu perdagang bursa akhir pekan ini.
Transaksi penjualam 100 persen saham Mitratel yang ditukar dengan 13,7 persen saham di TBIG itu mencapai US$ 904 juta atau Rp 11 triliun. Jumlah tersebut merupakan potensi pembayaran yang ditangguhkan setelah transaksi ditutup pada dua tahun ke depan.
Langkah Telkom melakukan unlock value terhadap sejumlah anak perusahaannya tak hanya dilakukan pada bisnis menara. Tahun lalu, Telkom juga menjual 80 persen saham PT Indonusa Telemedia Telkomvision kepada Trans Corpora senilai Rp 926 miliar. Kini TelkomVision berubah menjadi televisi berbayar yang cukup diperhitungkan dengan nama TransVision dibawah payung Trans Corpora.
Tak cukup disitu, Telkom juga berencana menjual kembali anak usahanya yang bergerak di bidang penyiaran yaitu Usee TV yang beroperasi di bawah PT Metra TV. Direktur Keuangan Telkom Honesty Basyir belum lama ini mengaku akan melakukan unlock value terhadap sejumlah anak usahanya agar lebih optimal. "Prioritas kami tahun ini pada bisnis menara, kami akan cari partner perusahaan menara terbesar di Indonesia," kata Honesty.
Head of Investment Sucorinvest Asset Management Jemmy Paul menilai upaya Telkom melakukan unlock value terhadap sejumlah anak usaha dengan menggandeng mitra yang expert di bidangnya, sudah sangat tepat. Telkom sebaiknya fokus pada bisnis fix line dan seluler agar bisa bersaing ke depan. "Telkom sudah terlalu lama dapat privilege dari negara akhirnya dia tidak kompititif. Banyak anak usaha yang bisa dibesarkan dengan melepas kepada pemain yang lebih jago di bidangnya," kata Jemmy.
Menurut Jemmy, masih ada beberapa anak usaha yang bisa lebih produktif jika dilepas melalui skema joint venture seperti bisnis televisi. Bahkan bisnis properti Telkom di bawah PT Graha Sarana Duta juga bisa bertumbuh dengan melepas sahamnya ke publik.
Tak hanya melepas sejumlah anak usaha, Telkom juga melakukan sejumlah aksi akuisisi. Pada September 2014, Telkom merampungkan akuisisinya terhadap perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan alat-alat telekomunikasi, PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE). Telkom melalui anak usahanya, PT Pins Indonesia, mengakuisisi 25 persen saham Tiphone senilai Rp 1,39 triliun.
Masih di Bulan September, Telkom membeli 75 persen saham Call Center Australia senilai US$ 11 juta, melalui anak usahanya PT Telkom Internasional (Telin). Langkah itu dilakukan untuk merambah pangsa pasar di Australia. Telkom akan mensinergikan perusahaan tersebut dengan anak usahanya yang bergerak pada bisnis yang sama, Infomedia. Sementara, Telkom pun berencana melepas sebagian saham anak usaha yang bergerak pada penyedia jasa data center, PT Sigma Cipta Caraka (Telkom Sigma).
Direktur Utama Telkom Arif Yahya pernah menjelaskan, sejumlah aksi korporasi yang dilakukan itu bukan bermaksud menjual aset negara, melainkan membuat anak-anak usahanya menjadi lebih produktif. "Bahasa bagusnya bukan melepas, tapi mencari mitra untuk membangun bisnis secara bersama-sama," kata Arif.
Namun, langkah Telkom melakukan sejumlah aksi korporasi kerap menimbulkan kontroversi. Saat Chairul Tanjung membeli TelkomVision, kalangan Dewan Perwakilan Rakyat menolak dan ingin mengusut motif dibalik itu. Terakhir, langkah Telkom menjual perusahaan menara Mitratel bahkan dianggap ada potensi korupsi oleh Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi. Dia meminta rencana itu dibatalkan karena dianggap melanggar mekanisme Undang-Undang Keuangan Negara. Fitra juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut pihak-pihak yang bermain dalam transaksi tersebut karena dianggap merugikan negara.
Sementara, bagi pelaku pasar modal, langkah Telkom melepas Mitratel sangat tepat karena bisnis menara bisa lebih besar jika sahamnya tercatat di bursa melalui saham TBIG. "Untuk menambah jumlah menara, Telkom bisa lebih mudah dan murah mencari pendanaan jika perusahaanya listed di bursa," katanya.
Dalam perhitungan sebuah lembaga keuangan internasional, rasio harga per tower yang ditawarkan Telkom ke Tower Bersama lebih mahal ketimbang saat PT XL Axiata melepas 3.500 aset menaranya ke PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) senilai Rp 5,6 triliun. Perbandingannya, jika XL menjual satu menara seharga Rp 1,6 miliar, Telkom menjual satu menara seharga Rp 2,2 miliar. Saat ini, Mitratel memiliki 3.928 menara dengan jumlah tenan sebanyak 4,363.
Namun demikian, sejumlah pelaku pasar menganggap Telkom menjual murah Mitratel ke TBIG karena hanya memperoleh jatah 5,7 persen saham, sedangkan TBIG memperoleh jumlah saham yang cukup besar. Hal itu mengakibatkan saham TBIG menanjak signifikan, sedangkan saham Telkom anjlok
Kenapa Telkom memenangkan TBI soal Mitratel?
ReplyDeleteKarena TBI menawarkan tukar guling saham, bukan menawarkan pembelian jual beli putus. SMN (Djarum, Salim, Edward Soeryajaya) dan NI (JK dan Erwin Aksa) menawarkan jual beli putus. Perbedaannya jelas, kalau Mitratel dilepas ke SMN atau NI, maka kepemilikan Mitratel sepenuhnya tidak lagi di tangan Telkom.
Lain cerita dengan mekanisme swap. Jadi, saat ini Mitratel 100% dimiliki oleh Telkom. Nah, setelah swap, Telkom akan memiliki 13,7% saham TBI, sedangkan TBI memiliki 100% saham Mitratel. Artinya, dengan mekanisme swap, Telkom tak hanya masih memiliki Mitratel, tetapi juga memiliki TBI.
TBI saat ini mengelola 11.000 menara, ditambah 4.000 menara Mitratel, total ada 15.000 menara. Jadi dengan kepemilikan Telkom di TBI sebanyak 13,7%, Telkom masih menguasai 2.055 menara.
Keuntungan bagi Telkom apa sih dari swap ini?
Pertanyaan ini juga bagus ditanyakan pada Indosat dan XL yang sudah lebih dulu melepas menaranya.
Sederhananya begini, tadinya perusahaan operator mengelola jaringan telekomunikasi dan infrastruktur menaranya. Artinya, Telkom, Indosat, XL, harus siapkan dana membangun menara, agar bisa memasang BTS (pemancar). Dampaknya, pemerataan pembangunan telekomunikasi jadi lebih lambat, karena operator harus investasi jaringan dan menara.
Lalu muncul solusi, pembangunan menara tidak dilakukan oleh operator, sehingga operator fokus investasi jaringan. Solusi ini dianggap tepat untuk mencapai percepatan pemerataan telekomunikasi di Indonesia. Itulah kenapa berbondong-bondong berdiri perusahaan pengelola menara. Lalu operator juga berbondong-bondong menjual menaranya.
Jadi, sebelum ada solusi pengelolaan terpisah menara telekomunikasi, operator harus menyiapkan dana untuk :
-Pembangunan jaringan.
-Operasional jaringan.
-Pembangunan menara.
-Operasional perawatan dan pengelolaan menara.
http://m.kompasiana.com/post/read/721681/2/ketika-keluarga-astra-berebut-menara-telkom-mitratel.html