Menurutnya, geliat OTT patut diwaspadai, khususnya OTT asing seperti Google, Facebook, dan sejenisnya. Apalagi, OTT sudah ikut merambah ranah telekomunikasi berbasis data alias IP based. Misalnya, Whatsapp, Line, dan BlackBerry Messenger (BBM).
"Kalau kita sedang di luar negeri, apa kita masih ada yang menelepon rumah dengan nomor seluler? Pasti kita menggunakan Whatsapp Call atau Line untuk menelepon dengan akses Wi-Fi yang ada di hotel," kata Prof Ramli, panggilan akrabnya.
Lalu, kenapa OTT patut diwaspadai? Ramli menjelaskan, OTT itu ibarat parasit bagi industri telekomunikasi. Mereka tidak ikut membangun infrastruktur jaringan di Indonesia, tapi mereka terus meraup keuntungan besar, dari sisi iklan, misalnya.
Seperti Industri properti yang tidak mau membangun jalan tapi terus membangun komplek perumahan, seharusnya industri properti ikut membangun jalan dari kompleks yang dibangun hingga ketujuan akhir dari masing masing penghuninya supaya tidak parasit dan mengakibatkan kemacetan.
"Ibaratnya, operator yang bangun jalan tol, dan OTT ini seperti rest area yang menikmati keuntungan dari jalan tol itu. Tapi masih lebih mending rest area yang punya izin, bayar sewa, dan bangun tempat. OTT ini kan tidak ada kontribusinya sama sekali," sesal Ramli.
Seperti juga ibarat para pengusaha yang hanya membayar tarif toll yg murah sedangkan mendapatkan keuntungan milyaran dari pengiriman barang produksinya ke konsumen dan hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Menurutnya, usaha minim modal para OTT itu dikarenakan akses internet tanpa batas yang minim regulasi. Itu sebabnya, Kominfo tak mau OTT lepas tangan begitu saja. Setidaknya di masa depan, bakal ada aturan yang mengikat para OTT ini untuk memberikan kontribusi dan mempertanggungjawabkan data pelanggan yang dikuasainya.
Pasalnya bukan apa-apa, keuntungan yang sudah diraih OTT itu begitu besar. Dalam data yang dipaparkan Ramli, Facebook saja tahun ini meraih pendapatan Rp 19,8 triliun. Sementara Whatsapp yang juga dimiliki oleh Facebook, meraup Rp 88,4 triliun dari 900 juta pengguna. Dan ini menjadi tidak jelas mana yang lebih dahulu, adanya jaringan 3G atau 4G baru OTT atau karena tren OTT dan tuntutan konsumen maka industri telekomunikasi membangun jaringan guna meraup untung yang kebetulan lebih kecil dari OTT karena terlambat melakukan inovasi.
Sedangkan Google, tahun lalu memperoleh pendapatan Rp 234 triliun dengan laba bersih Rp 51,9 triliun. Ia pun membandingkan dengan Telkomsel yang hanya meraih pendapatan Rp 48,84 triliun dengan laba bersih Rp 7,45 triliun.
Sementara Line, pada 2014 dengan 150 juta pengguna bisa membukukan pendapatan Rp 86,5 triliun. Kemudian WeChat Rp 52,5 triliun, dan Yahoo yang dikunjungi 700 juta orang meraih Rp 702 triliun. "Bahkan BlackBerry yang sekarang drop saja di tahun 2013 sempat meraih pendapatan Rp 952 triliun dari 76 juta pengguna BBM," ungkap Ramli.
Industri telekomunikasi tengah diramaikan polemik revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Pro kontra komentar terus memanaskan isu ini. Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai, kedua aturan itu memang sudah saatnya untuk direvisi guna mengantisipasi perubahan yang terjadi pada industri telekomunikasi.
"Di dunia ini industri telekomunikasi sudah sunset makanya harus sharing. Dengan sharing maka penetrasi telekomunikasi akan cepat dan pemerintah akan lebih mudah melakukan perannya melalui sarana digital," ujar Agus.
Kondisi sunset yang dimaksud Agus yakni industri telekomunikasi sudah bukan lagi menjadi industri yang padat untung seperti 10-15 tahun lalu. Sehingga kalau manajemen tidak kreatif dalam mengelola belanja modal (capex), biaya operasi (opex) dan regulasi tidak mendukung, maka korporasinya bisa bermasalah. Efisiensi, kreatif disertai regulasi yang mendukung untuk berkembang secara fair menjadi kunci utama saat ini bagi industri telekomunikasi untuk bisa berkelanjutan.
Untuk menunjang keberlangsungan industri telekomunikasi di tengah minimnya penguasaan teknologi dan resesi ekonomi dunia yang terus berkepanjangan, pemerintah harus muncul dengan pengaturan regulasi yang tegas, cerdas dan memberikan ruang industri untuk terus tumbuh bersama konsumen secara efisien bukan monopoli.
Dalam polemik ini, operator yang dominan disebut sebagai kubu yang menolak network sharing. Lantaran pemain dominan merasa sudah mengeluarkan investasi besar untuk membangun infrastruktur jaringannya. Nah, terkait hal itu, Agus melihat sejatinya operator dominan tak perlu terlalu khawatir. Sebab perjanjian network sharing antar operator harus dilakukan secara business to business.
"Jadi tinggal dihitung saja. Yang tidak dominan harus mau berbisnis atau bayar. Di sini pemerintah tidak perlu ikut campur," lanjutnya.
"Ibaratnya, operator yang bangun jalan tol, dan OTT ini seperti rest area yang menikmati keuntungan dari jalan tol itu. Tapi masih lebih mending rest area yang punya izin, bayar sewa, dan bangun tempat. OTT ini kan tidak ada kontribusinya sama sekali," sesal Ramli.
Seperti juga ibarat para pengusaha yang hanya membayar tarif toll yg murah sedangkan mendapatkan keuntungan milyaran dari pengiriman barang produksinya ke konsumen dan hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Menurutnya, usaha minim modal para OTT itu dikarenakan akses internet tanpa batas yang minim regulasi. Itu sebabnya, Kominfo tak mau OTT lepas tangan begitu saja. Setidaknya di masa depan, bakal ada aturan yang mengikat para OTT ini untuk memberikan kontribusi dan mempertanggungjawabkan data pelanggan yang dikuasainya.
Pasalnya bukan apa-apa, keuntungan yang sudah diraih OTT itu begitu besar. Dalam data yang dipaparkan Ramli, Facebook saja tahun ini meraih pendapatan Rp 19,8 triliun. Sementara Whatsapp yang juga dimiliki oleh Facebook, meraup Rp 88,4 triliun dari 900 juta pengguna. Dan ini menjadi tidak jelas mana yang lebih dahulu, adanya jaringan 3G atau 4G baru OTT atau karena tren OTT dan tuntutan konsumen maka industri telekomunikasi membangun jaringan guna meraup untung yang kebetulan lebih kecil dari OTT karena terlambat melakukan inovasi.
Sedangkan Google, tahun lalu memperoleh pendapatan Rp 234 triliun dengan laba bersih Rp 51,9 triliun. Ia pun membandingkan dengan Telkomsel yang hanya meraih pendapatan Rp 48,84 triliun dengan laba bersih Rp 7,45 triliun.
Sementara Line, pada 2014 dengan 150 juta pengguna bisa membukukan pendapatan Rp 86,5 triliun. Kemudian WeChat Rp 52,5 triliun, dan Yahoo yang dikunjungi 700 juta orang meraih Rp 702 triliun. "Bahkan BlackBerry yang sekarang drop saja di tahun 2013 sempat meraih pendapatan Rp 952 triliun dari 76 juta pengguna BBM," ungkap Ramli.
Industri telekomunikasi tengah diramaikan polemik revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Pro kontra komentar terus memanaskan isu ini. Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai, kedua aturan itu memang sudah saatnya untuk direvisi guna mengantisipasi perubahan yang terjadi pada industri telekomunikasi.
"Di dunia ini industri telekomunikasi sudah sunset makanya harus sharing. Dengan sharing maka penetrasi telekomunikasi akan cepat dan pemerintah akan lebih mudah melakukan perannya melalui sarana digital," ujar Agus.
Kondisi sunset yang dimaksud Agus yakni industri telekomunikasi sudah bukan lagi menjadi industri yang padat untung seperti 10-15 tahun lalu. Sehingga kalau manajemen tidak kreatif dalam mengelola belanja modal (capex), biaya operasi (opex) dan regulasi tidak mendukung, maka korporasinya bisa bermasalah. Efisiensi, kreatif disertai regulasi yang mendukung untuk berkembang secara fair menjadi kunci utama saat ini bagi industri telekomunikasi untuk bisa berkelanjutan.
Untuk menunjang keberlangsungan industri telekomunikasi di tengah minimnya penguasaan teknologi dan resesi ekonomi dunia yang terus berkepanjangan, pemerintah harus muncul dengan pengaturan regulasi yang tegas, cerdas dan memberikan ruang industri untuk terus tumbuh bersama konsumen secara efisien bukan monopoli.
Dalam polemik ini, operator yang dominan disebut sebagai kubu yang menolak network sharing. Lantaran pemain dominan merasa sudah mengeluarkan investasi besar untuk membangun infrastruktur jaringannya. Nah, terkait hal itu, Agus melihat sejatinya operator dominan tak perlu terlalu khawatir. Sebab perjanjian network sharing antar operator harus dilakukan secara business to business.
"Jadi tinggal dihitung saja. Yang tidak dominan harus mau berbisnis atau bayar. Di sini pemerintah tidak perlu ikut campur," lanjutnya.
No comments:
Post a Comment