Friday, November 11, 2016

Trump Effect : Fed Rate Akan Naik 2 Kali Tahun 2017

Bank Indonesia (BI) memprediksi bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve masih memiliki rencana untuk menaikkan suku bunga acuannya dua kali pada tahun depan.  Keputusan tersebut, menurut Gubernur BI Agus Martowardjojo, tetap diambil meski hasil pemilihan umum AS cukup memberikan kejutan.

"Ketika pemilu di AS diumumkan, itu banyak pandangan yang mengarah mungkin kenaikan Fed Rate akan tertunda. Tapi setalah Trump menyampaikan statement kemenangannya, kelihatannya Fed Rate tetap akan naik satu kali tahun ini," ujar Agus dalam konfrensi pers, Kamis (10/11).

Bahkan Agus memperkirakan The Fed berencana menaikkan suku bunga acuannya dua kali pada tahun 2017 dan tiga kali pada 2018 mendatang. Namun ia meminta para pelaku pasar untuk tidak panik dengan ramalan tersebut, dan terus berkonsolidasi menyesuaikan diri dengan rencana The Fed itu.

"Ketika kami memangkas BI 7 days reverse repo dari 5 persen menjadi 4,75 persen, itu sudah kami masukan hitungan memang ada kenaikkan Fed Rate satu kali tahun ini," ujarnya.  Agus mengatakan saat ini, posisi kebijakan moneter Bank Indonesia adalah bias longgar. Artinya BI melihat kondisi makro ekonomi dan moneter dalam negeri saat ini masih stabil serta kondisi likuiditas yang masih terjaga, sehingga membuka peluang untuk melonggarkan lagi kebijakan moneternya.

"Namun pelonggaran moneter itu akan sangat tergantung dengan data. Nilai tukar yang stabil, neraca pembayaran yang sehat membuat kita bisa meneruskan pelonggaran moneter," kata Agus. Bank Indonesia (BI) menegaskan bakal terus berada di pasar dan melakukan intervensi untuk menjaga kestabilan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Sebelumnya, nilai tukar rupiah amblas pada perdagangan hari ini dan sempat menyentuh Rp13.865 per dolar atau melemah hingga 5,55 persen dari Rp13.138 per dolar. Pelemahan hari ini merupakan yang terparah sejak September 2011. Sementara di kawasan Asean, dolar AS juga menguat terhadap ringgit Malaysia, peso Filipina dan baht Thailand.

“Tadi dalam rangka stabilisasi di pasar, BI hadir di dua pasar sekaligus yaitu di pasar valuta asing (valas) dan Surat Berharga Negara (SBN),” tutur Deputi Gubenur Senior BI Mirza Adityaswara saat ditemui di kompleks BI, Jumat (11/11). “Setelah BI umumkan membeli SBN dan hadir di pasar valas saya lihat tadi terakhir Rp13.250, Rp13.300. Jadi pasarnya sudah membaik,” tambahnya.

Menurut Mirza, pelemahan rupiah pada pembukaan perdagangan hari ini hanya bersifat sementara. Pernyataan Mirza terkonfirmasi dengan nilai tukar rupiah ditutup di level Rp13.383 per dolar AS, atau turun 245 poin (1,86 persen) setelah bergerak di kisaran Rp13.233-Rp13.873. Selain itu, pelemahan tadi siang juga tidak mencerminkan nilai rupiah sesuai dengan fundamental ekonomi domestik yang diyakininya masih baik.

“Kurs dibuka Rp13.400 terus sampai ke Rp13.800, sehingga kan sangat tidak mencerminkan fundamentalnya,” ujarnya. Membaiknya fundamental ekonomi domestik tercemin dari pertumbuhan ekonomi kuartal III 2016 yang bisa mencapai 5,02 persen, atau terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Filipina, 6 persen.

Kemudian, defisit neraca transaksi berjalan kuartal III 2016 juga turun menjadi 1,83 persen dari Produk Domestik Bruto. Tak hanya itu, surplus neraca pembayaran Indonesia juga mengalami kenaikan dari US$2,2 miliar menjadi US$5,7 miliar.

Mirza mengungkapkan, melemahnya rupiah dipicu oleh reaksi pasar atas ketidakpastian yang terus berkembang di AS pasca kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden AS. "Pasar itu kalau sudah naik banyak, terus ada analisis negatif supaya punya alasan untuk jual. Saya kan bekas orang pasar saya tahu analisis seperti itu. Kalau harga sudah turun banyak, baru nanti dibuat alasan bagus banget, pasar itu begitu," jelasnya.

Di luar negeri, kata Mirza, rupiah diperdagangkan dalam transaksi pasar non deliverable forward (NDF) yang dipicu oleh perkembangan nilai tukar mata uang negara lain dan tidak mencerminkan fundamentalnya. "Para trader melihat currency melemah sehingga pagi tadi rupiah dibuka Rp13.400, mengikuti apa yang terjadi di Meksiko, Brazil, dan lain-lain, semalam," ujar dia.

Selain itu, kata Mirza, pelemahan rupiah juga karena ada kekhawatiran pasar bahwa Indonesia akan melakukan kebijakan tertentu di pasar uang dengan perdagangan rupiah di pasar uang seperti yang dilakukan oleh negara lain. Namun, Mirza membantah rumor itu dengan tegas. “Saya tegaskan bahwa Indonesia tidak akan melakukan pembatasan-pembatasan perdagangan valas di pasar uang, di pasar antar bank karena yang paling terbaik adalah membiarkan pasar berjalan dengan baik,” ujarnya.
Bank Indonesia (BI) memprediksi bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve akan tetap mengerek suku bunga acuannya akhir tahun nanti, meskipun hitung cepat lembaga survei AS saat ini mengunggulkan Donald Trump sebagai presiden barunya.

"Kalau ekspektasi kami, masih akan menaikkan suku bunga. The Fed itu independen, tidak akan melihat situasi politik, lebih kepada dinamika ekonominya," terang Kepala Departemen Pendalaman Pasar Uang BI Nanang Hendarsah. Nanang menilai, sistem birokrasi negara Paman Sam sudah sangat maju, sehingga tidak akan cepat berubah meskipun posisi kepala negara mengalami pergantian. Di samping itu, ia optimistis, Indonesia masih mampu meredam dampak eksternal yang ditimbulkan The Fed.

"Jadi, menurut saya, ruang untuk menaikkan Fed ratenya masih ada, tapi berdasarkan pengalaman kami, sekarang justru tidak ada pengaruh. Tahun lalu, di Desember mereka naikan kita baik-baik saja. Jadi, jangan takut," ujarnya. BI, lanjut dia, tetap membuka ruang pelonggaran moneternya dengan menurunkan suku bunga BI 7 Days Reverse Repo rate di penghujung tahun. Namun, keputusan tersebut masih sangat bergantung dengan data-data ekonomi, seperti inflasi, proyeksi PDB, neraca pembayaran dan stabilitas keuangan dalam negeri.

"Semuanya mendukung, tapi kita juga perlu memperhatikan kestabilan eksternal, seperti The Fed dan Brexit. Hal-hal seperti itu tetap menjadi perhitungan kebijakan," imbuh dia. Reaksi negatif yang diberikan pasar terhadap kemenangan Donald Trump memang sempat terasa. Namun, pada perdagangan Rabu (10/11), bursa saham AS justru menghijau pada sesi pembukaan.

Prediksi bank sentral berbanding terbalik dengan ramalan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Ia justru menilai kemenangan Donald Trump sebagai presiden AS akan diikuti dengan keputusan The Fed menahan kenaikan suku bunga acuannya di akhir tahun.

"Saya tak yakin The Fed berani, kalau situasi atau reaksi pasar tidak bagus," ujar Darmin kemarin

No comments:

Post a Comment