Sunday, November 27, 2016

Pelemahan Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat Ternyata Bukan Yang Paling Buruk Didunia

Kementerian Keuangan (Kemkeu) mengatakan, pelemahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sepanjang bulan ini bukanlah yang terburuk di dunia. Dengan angka depresiasi nilai tukar sebesar 3,67 persen antara 8 November hingga 25 November 2016, posisi Indonesia lebih baik ketimbang Malaysia yang minus 6,32 persen, Afrika Selatan minus 7,01 persen, hingga Turki minus 9,45 persen.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemkeu, Suahasil Nazara mengaku, pergerakan rupiah beberapa hari terakhir disebabkan oleh kencangnya arus modal keluar (capital outflow), dan tercermin di dalam pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 6,5 persen pada periode yang sama. Menurutnya, hal itu terjadi akibat rencana kebijakan fiskal ekspansif yang diterapkan oleh Presiden terpilih AS, Donald Trump dan membuat investor melarikan uangnya ke negara Paman Sam.

Namun menurut Suahasil, Indonesia boleh sedikit bernapas karena tidak ada sentimen internal yang mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara signifikan. Ia mencontohkan nilai tukar mata uang real Brazil yang merosot 7,20 persen sepanjang November gara-gara konflik internal yang terjadi di negara tersebut.

“Mata uang kita di negara-negara lain itu tidak jelek-jelek amat. Bahkan, nilai tukar Euro dengan dolar AS pun lebih buruk dibanding Indonesia dengan angka minus 4,25 persen. Faktor Trump memang bermain di belakang ini, tapi tidak hanya itu. Ada juga beberapa faktor domestik yang mempengaruhi,” ujar Suahasil di Sentul, Jawa Barat, Sabtu (26/11).

Meski melemah sepanjang bulan ini, rupiah terlihat menguat sepanjang tahun 2016 (year to date). Menurut data yang dimilikinya, rupiah masih terlihat menguat sebesar 1,63 persen year-to-date hingga 25 November 2016. Posisi ini lebih baik dibandingkan Malaysia yang minus 4,03 persen dan Turki sebesar 18,41 persen.

Kendati demikian, Indonesia tetap perlu mewaspadai beberapa kejadian eksternal yang berpotensi menimbulkan gejolak nilai tukar seperti keluarnya Inggris dari Uni Eropa dan kondisi geopolitik dunia lanjutan. Di antara seluruh sentimen eksternal tersebut, Suahasil mewaspadai kebijakan negara-negara lain terkait perdagangan karena mempengaruhi permintaan dan penawaran (demand-supply) rupiah.

Pasalnya, ekspor Indonesia di tahun depan diperkirakan belum akan membaik karena harga beberapa komoditas diprediksi masih akan melemah. Oleh karenanya, pemerintah sangat mengawasi dampak kebijakan proteksionisme ala Donald Trump dan perbaikan ekonomi China, mengingat negara tirai bambu tersebut adalah mitra ekspor terbesar Indonesia.

Menurut data Kementerian Perdagangan, ekspor non-migas Indonesia ke China hingga kuartal III 2016 mencapai US$9,7 miliar. Angka ini mengambil porsi 10,25 persen dari total ekspor Indonesia sebesar US$94,7 miliar di periode tersebut.

“Kami memahami bahwa harga komoditas belum akan naik secara signifikan. Oleh karenanya, ekspor masih belum bisa berkontribusi banyak terhadap pertumbuhan ekonomi. Ke depan, kami tetap mewaspadai kebijakan ekonomi Amerika Serikat dan perlambatan ekonomi China,” tandas Suahasil.

Menurut Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah pada tanggal 25 November 2016 tercatat Rp13.570 per dolar AS. Angka ini melemah 4,09 persen, atau Rp534 apabila dibanding posisi pada 1 November 2016 dengan angka Rp13.036 per Dollar AS

No comments:

Post a Comment