"Saya sedih menghadapi kenyataan ini. Kami lakukan ini bukan karena bernegosiasi dengan pemerintah tapi terpaksa agar bisnis bisa berjalan secara finansial," ujar Adkerson saat konferensi pers di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20/2). Tak hanya mengubah kontrak sekitar 12 ribu pekerjanya, PTFI juga akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sekitar 10 persen pekerjanya mulai pekan depan.
"Pengurangan karyawan kira-kira di bawah 10 persen, di bawah (jumlah) ekspatriat kami yang bekerja. Ekspatriat kami hanya di bawah 10 persen," jelas Adkerson. Adkerson memastikan, perusahaan tak hanya melakukan PHK kepada pekerja dalam negeri yang menyedot porsi sekitar 98 persen dari total seluruh pekerja PTFI, namun PHK juga diberlakukan terhadap pekerja asing yang bekerja di Tambang Gresberg, Papua.
Adapun pengurangan jumlah tenaga kerja berbanding lurus dengan pengurangan produksi sebanyak 60 persen yang dilakukan PTFI dan rencana penghentian operasional dalam 10 hari ke depan. "Kalau tidak bisa jual 60 persen produk Anda, bagaimana bisa bekerja? Akibatnya, kami turunkan operasional sangat tajam," imbuh Adkerson. Pasalnya, sejak 12 Januari lalu, pemerintah resmi menghentikan rekomendasi izin ekspor kepada PTFI. Alhasil, perusahaan tak bisa memasarkan hasil tambangnya ke luar negeri sehingga pasokan di dalam negeri terlampau banyak.
Sementara, fasilitas pemurnian atau smelter milik PTFI, yakni PT Smelting Gresik di Jawa Timur hanya mampu menampung sekitar 40 persen dari total produksi dari Tambang Grasberg. "Kami produksi sedikit bijih untuk pasokan pile dan kami lakukan sedikit kegiatan tambang untuk melindungi operasional dan tambang bawah tanah. Kami juga lakukan kegiatan untuk menjaga lingkungan sekitar tambang," katanya.
Belum lagi, menurut PTFI, sejak izin ekspor dihentikan pemerintah, dua kapal pengangkut konsentrat terpaksa tak dapat menuju Gresik karena tak cukupnya kapasitas smelter dan adanya aksi mogok kerja dari karyawan PTFI. Untuk itu, PTFI meminta pemerintah kembali memberikan izin rekomendasi ekspor terhadap PTFI, namun menyesuaikan ketentuan hukum dan fiskal yang berlaku dalam Kontrak Karya (KK) bukan berdasarkan ketentuan status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang mengenakan ketentuan pajak berubah-ubah (prevailing).
"Kami tidak bermaksud mendikte pemerintah. Kami terus berupaya bekerjasama dengan pemerintah," tutup Adkerson. PT Freeport Indonesia belum mengajukan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) meskipun rekomendasi ekspor konsentrat telah dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pekan lalu.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendah Oke Nurwan menuturkan, selain Freeport perusahaan lain yang telah mendapat restu Kementerian ESDM untuk melakukan ekspor tapi belum mengajukan SPE adalah PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). "Sampai Jumat (17/2) kemarin, tidak ada pengajuan SPE dari kedua perusahaan tersebut," kata Oke, dikutip dari kantor berita Antara, Senin (20/2).
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan telah menerbitkan Izin Rekomendasi Ekspor untuk Freeport dan AMNT, yang berlaku hingga satu tahun kedepan untuk izin ekspor mineral mentah. Rekomendasi ekspor tersebut dikeluarkan berdasarkan surat permohonan Freeport bernomor 571/OPD/II/2017, tanggal 16 Februari 2017. Sementara rekomendasi ekspor bagi AMNT dikeluarkan berdasarkan surat permohonan Nomor 251/PD-RM/AMNT/II/2017, tanggal 17 Februari 2017.
Volume ekspor yang diberikan untuk Freeport adalah sebesar 1.113.105 Wet Metric Ton (WMT) konsentrat tembaga, berdasarkan Surat Persetujuan Nomor 352/30/DJB/2017, tertanggal 17 Februari 2017. Pemberian izin berlaku sejak tanggal 17 Februari 2017 sampai dengan 16 Februari 2018.
Sementara untuk AMNT, diberikan volume ekspor sebesar 675 ribu WMT konsentrat tembaga berdasarkan Surat Persetujuan Nomor 353/30/DJB/2017, pada tanggal dan untuk jangka waktu serupa dengan Freeport. Seperti diketahui Freeport telah menghentikan kegiatan produksi sejak 10 Februari 2017 akibat pemerintah mensyaratkan perusahaan yang ingin tetap mengekspor mineral, harus mengantongi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK).
Manajemen Freeport sendiri telah menyampaikan keberatannya atas syarat tersebut. Pasalnya pemegang IUPK diwajibkan untuk melakukan divestasi hingga 51 persen, yang berarti kendali perusahaan bukan lagi di tangan mereka. Bahkan, Freeport juga berencana untuk menggugat pemerintah ke Arbitrase Internasional.
Jonan pada Sabtu (18/2) menegaskan, wacana Freeport mengajukan persoalan kontrak ke arbitrase merupakan hak perusahaan tersebut. Langkah arbitrase, menurut Jonan, jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pekerja sebagai alat menekan pemerintah. "Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata," ujar Jonan.
Sementara itu, Freeport McMoRan Inc, induk perusahaan PT Freeport Indonesia, menilai pemerintah Indonesia telah memutuskan Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani pada 1991 secara sepihak dengan mengubah statusnya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Presiden dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Anderson dalam jumpa pers di Jakarta, Senin, mengaku pihaknya tidak dapat melepaskan hak-hak hukum yang diberikan dalam Kontrak Karya 1991 silam. Perjanjian itu menyebutkan bahwa Freeport mendapatkan hak yang sama sebagaimana diatur dalam Kontrak Karya.
Berdasarkan catatan Freeport, melalui Kontrak Karya, perusahaan tersebut telah menginvestasikan US$12 miliar dan sedang melakukan investasi US$15 miliar dengan menyerap 32 ribu tenaga kerja Indonesia. Pemerintah juga disebutnya telah menerima 60 persen manfaat finansial langsung dari operasi Freeport. Pajak, royalti dan dividen yang dibayarkan kepada pemerintah sejak 1991 telah melebihi US$16,5 miliar. Sedangkan Freeport McMoRan telah menerima US$108 miliar dalam bentuk dividen.
Richard Adkerson, Chief Executive Officer Freeport-McMoran Inc. mengaku tengah mencari Presiden Direktur PT Freeport Indonesia untuk menggantikan posisi Chappy Hakim yang mengundurkan diri dari jabatannya pekan lalu. "Kami masih mencari penggantinya," kata Adkerson, Senin (20/2). Menurut Adkerson, saat Freeport mengumumkan pengunduran diri Chappy pada Sabtu (18/2) dan menerimanya kembali sebagai penasihat perusahaan, hal tersebut merupakan keputusan dari Chappy sendiri.
“Tidak ada yang salah. Ini hanya keputusan Bapak Chappy yang menginginkan waktu lebih banyak. Kami senang bekerja sama dengan beliau, dan ini adalah keputusan berat," ujarnya. Sebagai informasi, Chappy menduduki kursi Presiden Direktur Freeport sejak November 2016. Ia menggantikan Maroef Sjamsoeddin yang mengundurkan diri pada bulan Januari 2016 silam.
Kemunduran ini diduga terjadi usai kisruhnya beberapa waktu lalu dengan anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Hanura, Mukhtar Tompo. Sebagai buntut kisruh, Komisi VII DPR mendesak manajemen Freeport memecat Chappy. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menilai manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) tak pernah puas dan sepaham dengan ketentuan baru yang diberlakukan pemerintah.
Oleh karenanya dalam pertemuan terakhir dengan perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS), pemerintah telah memutuskan untuk memberi tiga opsi kepada PTFI. Pertama, PTFI harus mengikuti ketentuan yang telah dirumuskan oleh pemerintah dengan keistimewaan untuk terus berunding dalam membahas kepastian stabilitas investasi PTFI di dalam negeri.
"Stabilitas ini saya bilang perlu karena ada di Kontrak Karya (KK),” kata Jonan di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (20/2). Kedua, PTFI harus mengikuti ketentuan pengubahan KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Jika mengikuti ketentuan ini, PTFI akan resmi diberikan izin rekomendasi ekspor yang memberi manfaat bagi keberlangsungan bisnis PTFI.
Hanya saja, sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2017 dan dua Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 5 dan Nomor 6 Tahun 2017, disebutkan bahwa perusahaan tambang yang telah berstatus IUPK tetap harus membangun fasilitas pemurnian atau smelter dalam jangka waktu lima tahun. Untuk poin kedua ini, Jonan menyebutkan bahwa PTFI sempat berkilah bahwa perusahaan membutuhkan perpanjangan kontrak agar dapat meneruskan investasi di tambangnya dan membangun smelter.
Kegiatan produksi Freeport di tambang Grasberg, Papua. (Dok. Akun Facebook Freeport Indonesia). "Mau perpanjang investasi, kami kasih juga. Boleh lima tahun sebelumnya, setelah itu bahas divestasi. Kami juga sudah terbitkan izin ekspornya, Jumat (17/2) lalu," jelas Jonan. Ketiga, bila PTFI tak juga menyepakati berbagai revisi aturan dari pemerintah, PTFI boleh mengajukan keberatannya sesuai dengan konstitusi hukum yang berlaku.
Adapun Jonan memastikan, sebenarnya pemerintah memberikan masa waktu untuk PTFI memikirkan hal-hal ini selama enam bulan sejak izin ekspor diberikan, yakni sejak Jumat lalu (17/2), sembari menyesuaikan aturan dengan UU yang ada. Sayangnya, PTFI tetap bersikeras mempersingkat masa berpikir ulang terhadap seluruh aturan pemerintah dan memberi waktu kepada pemerintah untuk mempertimbangkan keberatan PTFI selama 120 hari saja sejak Jumat lalu juga.
"Kalau itu terserah, kan pemerintahnya saja. Terserah mereka," celetuk Jonan.
Namun, rumitnya hubungan bisnis antara pemerintah dan PTFI rupanya tak membuat Jonan geram dan berpikir untuk memutus kerja sama dengan PTFI melalui pencabutan status PTFI sebagai perusahaan strategis nasional. Pasalnya, Jonan masih yakin, persoalan ini lebih merujuk pada bisnis sehingga diskusi antar kedua pihak bisa jadi solusinya.
Muhammadiyah, organisasi Islam di Indonesia, meminta pemerintah menyetop arogansi PT Freeport Indonesia, perusahaan tambang afiliasi Freeport McMoran Copper & Gold Inc. Sikap arogansi Freeport dinilai tercermin jelas lewat penolakan perusahaan terhadap perubahan Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
"Saya berharap, presiden melalui Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan tidak kalah dan mengalah dengan arogansi Freeport kali ini. Publik mendukung penuh upaya pengembalian sumber daya alam Indonesia sepenuhnya untuk kepentingan rakyat Indonesia," ujar Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak, seperti dikutip ANTARA, Senin (20/2).
Ia mengaku, menyesalkan sikap arogansi Freeport yang menolak menjadi IUPK. Selama ini, pemerintah selalu kalah melawan Freeport terkait kontrak karya. Bahkan, hilirisasi sesuai Undang-undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 belum dilaksanakan. Ini berarti, Freeport telah mengabaikan UU yang berlaku di Indonesia.
Makanya, Muhammadiyah mendorong Menteri ESDM untuk mengambil langkah menyetop arogansi Freeport. Sikap pemerintah akan menjadi legacy bagi masa depan pengolahan SDA Indonesia. "Jadi, pemerintah harus menunjukkan bahwa kita adalah negara berdaulat, dan upaya hilirisasi terhadap pengelolaan SDA harus betul-betul dilaksanakan. Kalau pun tidak dieksplorasi saat ini, akan sangat bermanfaat bagi generasi selanjutnya di masa yang akan datang," imbuh Dahnil.
Ia juga berharap, pemerintah menghentikan perspektif ekonomi myiopic alias rabun jauh yang gemar mengeksploitasi. Sehingga, melupakan kebutuhan di masa depan. Lebih lanjut Adian Napitupulu, Anggota DPR Komisi VII menegaskan, perlakuan istimewa yang diberikan kepada Freeport sejak 1967 silam, harus segera dihentikan. Menurutnya, KK adalah sejarah masa lalu yang tidak perlu diteruskan.
"Keberanian dan konsistensi pemerintah untuk menegakkan amanat UU, mulai dari divestasi saham 51 persen, perubahan KK menjadi IUPK, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dalam proses produksi, membangun smelter, PPh Badan, PPN, menunjukkan siapa sesungguhnya yang menjadi tuan atas seluruh tersebut," ungkap Adian.
Indonesia, ia menyatakan, tidak anti investor asing. Namun, siapapun investornya diharapkan tidak tamak dan berlaku adil. Hal ini juga berlaku bagi Freeport. Apabila Freeport tidak mau berlaku adil, tidak salah jika pemerintah mengambil sikap tegas melalui keputusannya hari ini. "Pilihan Freeport hari ini cuma dua. Pertama, patuh dan menghormati UU Minerba dan pada segala peraturan turunannya, PP 1 Tahun 2017. Kedua, jika Freeport keberatan, segera berkemas dan cari tambang emas di negara lain," tegas Adian.
Freeport-McMoran Inc., perusahaan induk PT Freeport Indonesia (PTFI) berniat menempuh jalur peradilan internasional atau arbitrase. Jika dalam 120 hari ke depan sejak pertemuan terakhir PTFI dengan pemerintah pada Jumat (17/2), tak juga menemukan kata sepakat terkait aturan izin rekomendasi ekspor dengan ketentuan status Kontrak Karya (KK).
Menanggapi hal ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan justru menyikapi tekanan dari perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) itu dengan santai. Sekaligus siap meladeni Freeport-McMoran dan PTFI bila serius melenggang ke arbitrase untuk menyelesaikan hal ini.
Bahkan, mantan Menteri Perhubungan itu menyebutkan bahwa tidak hanya Freeport-McMoran dan PTFI yang memiliki hak untuk membawa ketidaksepahaman ini ke arbitrase. Namun pemerintah Indonesia juga bisa melaporkan lebih dulu masalah ini. "Saya kira Freeport itu badan usaha. Jadi, maunya berbisnis. Kalau berbisnis pasti ini dirundingkan. Mudah-mudahan mencapai titik temu," ujar Jonan di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senin (20/2).
"Kalau tidak mencapai titik temu, memang itu hak masing-masing untuk membawa ke arbitrase. Bukan hanya Freeport yang bisa membawa ke arbitrase, pemerintah juga bisa," imbuhnya. Jonan mengatakan, sikap tegasnya ini lantaran pemerintah telah berupaya sedemikian rupa untuk memberi kemudahan bagi PTFI untuk menjalankan bisnisnya di Indonesia. Sedangkan di satu sisi, pemerintah juga tetap teguh menciptakan aturan yang tak melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
No comments:
Post a Comment