Direktur Komersial PT Citra Van Titipan Kilat (TIKI), Rocky Nagoya, mengungkapkan bila benar daya beli masyarakat tengah mengalami kelesuan maka industri pengiriman barang pasti terkena dampaknya. Namun demikian, Rocky mengaku saat ini kondisi jasa pengiriman barang masih dalam keadaan yang baik.
"More or less pasti ada dampaknya kalau ada daya beli menurun. Karena kalau orang enggak ada duit, dia tidak akan membeli sesuatu. Tapi secara umum saya lihat kalau kurir masih baik-baik saja, demand masih bagus. Karena kita kurirnya, bukan pedagangnya," katanya Rocky di kawasan Jakarta, Selasa (19/9/2017).
Rocky menjelaskan, saat ini transaksi pengiriman barang masih berjalan lancar. Artinya tidak ada penurunan dari sisi permintaan. Hal itu kata Rocky, lantaran bisnis e-commerce atau toko online juga ikut menyumbang transaksi pengiriman barang. "(Transaksk e-commerce) sekitar 30%an. Jadi bisa dibilang 70% konvensional, lalu 30%nya itu dari e-commerce. Tapi sekali lagi memang itu perlu data lebih lanjut, itu memang susah membedakan kalau dia bukan company," katanya.
Menurutnya, saat ini industri e-commerce terus mengalami perkembangan. Oleh sebab itu, industri jasa pengiriman barang tak mengalami dampak dari tutupnya sejumlah toko ritel, atau permasalahan daya beli. "Saya perkirakan pertumbuhan e-commerce di Indonesia ini masih sangat berkembang. Jadi kita nanti tentu mentargetkan diri kita untuk menjadikan perusahaan-perusahaan ini sebagai pilihan utama di masa datang.
"Kalau daya belinya memang e-commerce ini hanya masalah supply dan demand. Jadi ketika ada supply, demand ada, itu bagus. Jadi kalau e-commerce, seperti TIKI ini kita hanya sebagai orang tengah, dimana ketika perusahaan barang ada supply kita akan kirim. Kalau daya beli turun, e-commerce lebih konsen bukan ke daya belinya. Tapi barangnya ada atau tidak," tukasnya
Masalah daya beli lesu bukan isapan jempol. Contohnya terjadi di Pasar Tanah Abang, Jakarta.
Abdul Wahid, seorang supplier alias pemasok sweater ke Tanah Abang mengeluh sudah setahun terakhir permintaan turun. Padahal biasanya pedagang langganan Abdul di Tanah Abang rutin memesan sweater. "Biasanya permintaan itu mengalir. Kalau kita beres, kirim. Tapi sekarang ada istilah tahan dulu Mas, barang masih penuh," ujar Abdul.
Sebelumnya Abdul bisa memasok 5.000 potong sweater per bulan ke Tanah Abang, tapi setahun terakhir pasokannya enggak sampai 1.000 potong. Selain itu, biasanya pedagang langganannya di Tanah Abang langsung membayar setiap ada pengiriman, tapi sekarang justru bon menumpuk. Pedagang belum bisa bayar gara-gara barang dagangannya belum laku.
Alhasil, Abdul kekurangan dana segar untuk menjalankan bisnisnya. Selama ini Abdul mengandalkan uang hasil pembayaran pedagang Tanah untuk memutar roda bisnisnya, termasuk membayar gaji karyawan. Kini dia harus memangkas karyawan dari yang sebelumnya 15 orang menjadi 8 orang. Dari 8 orang itu, ada kalanya dia terpaksa memulangkan sebagian karena tak bisa membayar gaji mereka.
Omzet dagangannya juga turun, dari sebelumnya bisa mencapai Rp 300 juta sebulan, menjadi kurang lebih Rp 50 juta sebulan. "Omzet turun, dapat Rp 50 juta sebulan saja termasuk beruntung," katanya. Bahkan, dalam seminggu terakhir Abdul belum menerima pesanan sweater dari Tanah Abang. "Minggu ini saya belum kirim, pening juga, sedih banget," kata Abdul.
Dia berharap, pemerintah memperhatikan masalah lesunya daya beli ini, khususnya di Pasar Tanah Abang. Sehingga, rantai suplai dan permintaan di Pasar Tanah Abang bisa kembali normal seperti sebelumnya. Sejumlah pusat perbelanjaan modern seperti Ramayana, Hypermart, hingga Matahari banyak menutup gerai ritelnya masing-masing. Hal itu dinilai tidak selaras dengan kondisi makro ekonomi Indonesia yang terus tumbuh.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menilai fenomena tutupnya sejumlah gerai pusat perbelanjaan modern tak sejalan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi RI.
"Jadi memang ini agak anomali antara data makro dengan mikronya. Kan memang sebetulnya data makronya bagus-bagus saja, ekonomi masih tumbuh walaupun tidak seperti yang direncanakan, tapi tetap tumbuh, lalu dari segi cadangan devisa naik, penurunan suku bunga. Jadi Makronya cukup baik, tapi kenapa mikronya jadi jelek begini? Harusnya kalau makronya bagus, mikronya bagus," kata Hariyadi.
Hariyadi menjelaskan, salah satu penyebabnya masalah tersebut terjadi ialah dari sisi tenaga kerja formal yang mengalami penyusutan. Sehingga daya beli masyarakat di sektor formal tidak terdistribusi secara merata. "Ini terjadi penyusutan tenaga kerja formal, ini signifikan. Jadi orang yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan aman kan di pekerja formal, nah selama ini kebijakan kita mengganggu kebijakan formal," kata Hariyadi.
"Sehingga daya beli masyarakat tidak terdistribusi secara merata. Kalau pekerja formal mereka masih punya uang, mereka enggak ada masalah dengan daya beli, tapi perkaranya jumlahnya semakin kecil, nah pekerja non formal itu yang semakin besar," jelas dia.
Dihubungi terpisah Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Roeslani, menambahkan lesunya industri ritel modern disebabkan oleh tingkat kepercayaan masyarakat dalam melakukan pembelian. Rosan menilai, masyarakat saat ini masih menahan diri untuk berbelanja.
"Ada beberapa hal, salah satunya, bukannya orang enggak punya duit, tapi memang orang enggak spending saja. Duit ada, tapi saya lihat karena psikologis, faktor kepercayaan. Karena pertama, duit di bank meningkat, dana pihak ketiga makin meningkat. Tapi (masyarakat) menahan untuk melakukan pembelian dan misalnya dulu pembelian sekaligus banyak, kalau dulu untuk sebulan, mungkin sekarang untuk seminggu ada beberapa hari, jadi kalau saya melihatnya masalah confident," terangnya.
Industri ritel modern seperti pusat perbelanjaan mulai banyak yang menutup gerainya. Di sisi lain, bisnis belanja online tengah merangkak naik ditandai banyak bermunculannya toko online atau e-commerce di Indonesia. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Rosan Roeslani, mengatakan pesatnya perkembangan toko online memang menjadi salah satu penyebab industri ritel modern menjadi gulung tikar. Namun itu bukanlah faktor utamanya. Sebab, kata Rosan, tren belanja online masih di bawah angka 1% dibanding belanja ritel modern.
Menurutnya, penyebab utama dari lesunya industri ritel modern disebabkan oleh tingkat kepercayaan masyarakat dalam melakukan pembelian. Rosan menilai, masyarakat saat ini masih menahan diri untuk berbelanja, walau pun mereka memiliki dana yang cukup. "Ada beberapa hal, salah satunya, bukannya orang enggak punya duit, tapi memang orang enggak spending saja. Duit ada, tapi saya lihat karena psikologis, faktor kepercayaan. Karena pertama duit di bank meningkat, dana pihak ketiga semakin meningkat," terangnya.
"Tapi (masyarakat) menahan untuk melakukan pembelian dan misalnya dulu pembelian sekaligus banyak, kalau dulu untuk sebulan, mungkin sekarang untuk seminggu ada beberapa hari, jadi kalau saya melihatnya masalah confident," kata Rosan.
Dihubungi terpisah, Ketua Umun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menyebut permasalahan utama lesunya ritel modern adalah karena persoalan tenaga kerja. Dia mengatakan, saat ini kondisi tenaga kerja formal yang mengalami penyusutan. Sehingga daya beli masyarakat di sektor formal tidak terdistribusi secara merata.
"Ini terjadi penyusutan tenaga kerja formal, ini signifikan. Jadi orang yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan aman kan di pekerja formal, nah selama ini kebijakan kita mengganggu kebijakan formal," kata Hariyadi.
"Sehingga daya beli masyarakat tidak terdistribusi secara merata. Kalau pekerja formal mereka masih punya uang, mereka enggak ada masalah dengan daya beli, tapi perkaranya jumlahnya semakin kecil, nah pekerja non formal itu yang semakin besar. Sehingga mereka punya daya beli itu menjadi turun," jelas dia.
Sejumlah perusahaan ritel, seperti Matahari, mulai menutup sebagian tokonya. Bahkan perusahaan ritel 7-eleven (sevel) menutup seluruh tokonya di Indonesia. Di sisi lain bisnis toko online atau e-commerce tengah mengalami perkembangan di Indonesia. Menanggapi hal itu Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, menyatakan saat ini kondisi toko online serta offline tak mengalami masalah. Bisnis keduanya sama-sama masih tumbuh.
"Ya (e-commerce) sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tetapi offline juga meningkat, yang online juga meningkat," kata Enggar di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (18/9/2017). Menurutnya, perkembangan bisnis online tak berdampak negatif terhadap kondisi pasar binis offline atau toko ritel. Sebab, kata Enggar, kinerja keuangan dari perusahaan ritel masih dalam keadaan yang positif.
"Lihat saja dia dari yang sudah public listing company, bagaimana kinerjanya, bagaimana rugi labanya, bagaimana dia revenue peningkatannya, year on year-nya lebih baik. Ada satu yang turun karena melakukan efisiensi, tapi laba bersihnya meningkat. Jadi kalau kita lihat dari sisi itu, tidak ada soal," tukasnya.
Menurutnya, tutupnya sejumlah gerai toko ritel hanya dikarenakan adanya efisiensi. Hal itu pun dinilai wajar olehnya, sebab dalam berdagang kondisi pasar kerap mengalami perubahan. "Dalam dagang itu tidak statis, tidak bisa statis dia berdagang. Misalnya di tempat situ sepi, di tempat lain buka. Yang buka itu yang ramai, jadi yang sepi itu tutup," tutur Enggar.
Sektor ritel dalam negeri tengah goyah. Sejumlah toko tutup di tahun ini, dan terakhir adalah tutupnya dua gerai PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF) di Pasaraya Blok M dan Manggarai.
Bahkan ada perusahaan rutel yang kolaps, seperti 7-eleven (sevel).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengaku tengah melakukan kajian mengenai hal ini. Pasalnya, menurutnya jika dilihat dari data-data perpajakan yang ada, kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia justru menunjukkan pertumbuhan positif.
"Kita terus melakukan observasi. Kalau dari sisi data-data dari perpajakan kita, menunjukkan adanya kegiatan ekonomi yang positif, bahkan pertumbuhannya lebih baik," kata Sri Mulyani, saat ditemui di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (18/9/2017).
"Namun kalau fakta, adanya perubahan dari para retailer, entah itu dari sisi presence (kehadiran secara fisik) versus kegiatan-kegiatan retailer yang lain, ya kita akan lihat saja di mana letaknya. Apakah ini menunjukkan perubahan dari pola masyarakat berkonsumsi dan lain-lain," tambahnya. Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Situmorang, menuturkan ada 4 ha yang menyebabkan tutupnya toko ritel di Jakarta.
Pertama soal daya beli masyarakat. Menurut Sarman, ada penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yang asal usulnya bersumber dari ketidakstabilan perekonomian nasional. Ekonomi hanya mampu tumbuh sekitar 5%.
Kedua adalah soal persaingan antar pusat perbelanjaan yang semakin ketat. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan kawasan properti di wilayah baru.
Ketiga, banyaknya barang-barang atau produk asing yang sejenis, baik secara legal maupun ilegal. Harga yang lebih murah menjadi pilihan bagi konsumen.
Keempat, pasar e-commerce. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Sarma baru sekitar 29% atau sekitar 26,3 juta jiwa masyarakat yang menjadi konsumen dalam pasar tersebut (pernah belanja online). Artinya memang belum dianggap sebagai penyebab atas fenomena sekarang, namun harus tetap diantisipasi ke depannya.
Menurutnya, penyebab utama dari lesunya industri ritel modern disebabkan oleh tingkat kepercayaan masyarakat dalam melakukan pembelian. Rosan menilai, masyarakat saat ini masih menahan diri untuk berbelanja, walau pun mereka memiliki dana yang cukup. "Ada beberapa hal, salah satunya, bukannya orang enggak punya duit, tapi memang orang enggak spending saja. Duit ada, tapi saya lihat karena psikologis, faktor kepercayaan. Karena pertama duit di bank meningkat, dana pihak ketiga semakin meningkat," terangnya.
"Tapi (masyarakat) menahan untuk melakukan pembelian dan misalnya dulu pembelian sekaligus banyak, kalau dulu untuk sebulan, mungkin sekarang untuk seminggu ada beberapa hari, jadi kalau saya melihatnya masalah confident," kata Rosan.
Dihubungi terpisah, Ketua Umun Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, menyebut permasalahan utama lesunya ritel modern adalah karena persoalan tenaga kerja. Dia mengatakan, saat ini kondisi tenaga kerja formal yang mengalami penyusutan. Sehingga daya beli masyarakat di sektor formal tidak terdistribusi secara merata.
"Ini terjadi penyusutan tenaga kerja formal, ini signifikan. Jadi orang yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan aman kan di pekerja formal, nah selama ini kebijakan kita mengganggu kebijakan formal," kata Hariyadi.
"Sehingga daya beli masyarakat tidak terdistribusi secara merata. Kalau pekerja formal mereka masih punya uang, mereka enggak ada masalah dengan daya beli, tapi perkaranya jumlahnya semakin kecil, nah pekerja non formal itu yang semakin besar. Sehingga mereka punya daya beli itu menjadi turun," jelas dia.
Sejumlah perusahaan ritel, seperti Matahari, mulai menutup sebagian tokonya. Bahkan perusahaan ritel 7-eleven (sevel) menutup seluruh tokonya di Indonesia. Di sisi lain bisnis toko online atau e-commerce tengah mengalami perkembangan di Indonesia. Menanggapi hal itu Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita, menyatakan saat ini kondisi toko online serta offline tak mengalami masalah. Bisnis keduanya sama-sama masih tumbuh.
"Ya (e-commerce) sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tetapi offline juga meningkat, yang online juga meningkat," kata Enggar di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (18/9/2017). Menurutnya, perkembangan bisnis online tak berdampak negatif terhadap kondisi pasar binis offline atau toko ritel. Sebab, kata Enggar, kinerja keuangan dari perusahaan ritel masih dalam keadaan yang positif.
"Lihat saja dia dari yang sudah public listing company, bagaimana kinerjanya, bagaimana rugi labanya, bagaimana dia revenue peningkatannya, year on year-nya lebih baik. Ada satu yang turun karena melakukan efisiensi, tapi laba bersihnya meningkat. Jadi kalau kita lihat dari sisi itu, tidak ada soal," tukasnya.
Menurutnya, tutupnya sejumlah gerai toko ritel hanya dikarenakan adanya efisiensi. Hal itu pun dinilai wajar olehnya, sebab dalam berdagang kondisi pasar kerap mengalami perubahan. "Dalam dagang itu tidak statis, tidak bisa statis dia berdagang. Misalnya di tempat situ sepi, di tempat lain buka. Yang buka itu yang ramai, jadi yang sepi itu tutup," tutur Enggar.
Sektor ritel dalam negeri tengah goyah. Sejumlah toko tutup di tahun ini, dan terakhir adalah tutupnya dua gerai PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF) di Pasaraya Blok M dan Manggarai.
Bahkan ada perusahaan rutel yang kolaps, seperti 7-eleven (sevel).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengaku tengah melakukan kajian mengenai hal ini. Pasalnya, menurutnya jika dilihat dari data-data perpajakan yang ada, kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia justru menunjukkan pertumbuhan positif.
"Kita terus melakukan observasi. Kalau dari sisi data-data dari perpajakan kita, menunjukkan adanya kegiatan ekonomi yang positif, bahkan pertumbuhannya lebih baik," kata Sri Mulyani, saat ditemui di Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (18/9/2017).
"Namun kalau fakta, adanya perubahan dari para retailer, entah itu dari sisi presence (kehadiran secara fisik) versus kegiatan-kegiatan retailer yang lain, ya kita akan lihat saja di mana letaknya. Apakah ini menunjukkan perubahan dari pola masyarakat berkonsumsi dan lain-lain," tambahnya. Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Kadin DKI Jakarta, Sarman Situmorang, menuturkan ada 4 ha yang menyebabkan tutupnya toko ritel di Jakarta.
Pertama soal daya beli masyarakat. Menurut Sarman, ada penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yang asal usulnya bersumber dari ketidakstabilan perekonomian nasional. Ekonomi hanya mampu tumbuh sekitar 5%.
Kedua adalah soal persaingan antar pusat perbelanjaan yang semakin ketat. Hal ini tidak terlepas dari perkembangan kawasan properti di wilayah baru.
Ketiga, banyaknya barang-barang atau produk asing yang sejenis, baik secara legal maupun ilegal. Harga yang lebih murah menjadi pilihan bagi konsumen.
Keempat, pasar e-commerce. Berdasarkan data yang didapatkan oleh Sarma baru sekitar 29% atau sekitar 26,3 juta jiwa masyarakat yang menjadi konsumen dalam pasar tersebut (pernah belanja online). Artinya memang belum dianggap sebagai penyebab atas fenomena sekarang, namun harus tetap diantisipasi ke depannya.