residen Prabowo Subianto menyebut salah satu ciri negara gagal. Ia mengatakan negara gagal adalah jika kekayaan bangsa itu hanya dimiliki segelintir orang saja.
Pernyataan ia sampaikan dalam pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Brasil. Ia juga berpendapat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu negara tak akan berguna jika ujungnya mayoritas rakyat tak bisa menikmati 'berkah' tersebut melainkan hanya mereka yang dekat dengan kekuasaan seperti pegawai pemerintah, PNS, ASN dan para pejabat
"Kemakmuran adalah tujuan kita, tetapi tidak ada gunanya pertumbuhan yang tinggi jika mayoritas rakyat tidak dapat menikmati pertumbuhan itu. Jika kekayaan hanya dimiliki oleh sangat sedikit orang, menurut pendapat saya itu adalah resep untuk negara yang gagal," ujar Prabowo di hadapan para pemimpin negara.
Dalam kesempatan itu, Prabowo juga menyebut kebijakan ekonomi tidak boleh dirancang untuk membuat mayoritas rakyat tetap miskin dan kelaparan. Negara harus memberikan rakyatnya makan karena kebutuhan itu sangat mendasar.
"Keyakinan saya selama bertahun-tahun suatu negara harus dapat memberi makan rakyatnya sendiri. Oleh karena itu, ketahanan pangan adalah yang terpenting dalam strategi saya. Dan ini sejalan dengan tema KTT G20 untuk melawan kemiskinan dan kelaparan," imbuhnya.
Lantas, apakah Indonesia termasuk negara yang dicirikan oleh Prabowo?
Adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo pernah mengungkap kondisi miris ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia. Ketimpangan ini, kata dia, bisa dilihat dari jumlah kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia yang ternyata lebih banyak dari harta dari 114 juta penduduk nusantara.
"Sebanyak 10 keluarga terkaya di Indonesia, lebih kaya dari 114 juta orang Indonesia. Itu ada waktu di Hambalang. 50 keluarga kaya di Indonesia, mungkin termasuk keluarga saya dan Prabowo, kita akui," katanya dalam Dialog Ekonomi di Menara Kadin, Jakarta Selatan.
Namun, Hashim meyakinkan sang kakak bertekad mengatasi masalah itu dan ingin menyejahterakan rakyat Indonesia.
"Karena kalau mereka berdaya, lebih kaya, lebih makmur, mereka income-nya besar, kita yang beruntung. Rakyat kita sudah sejahtera mereka tidak akan bawa uang ke Hong Kong, Shanghai, Jenewa. Nanti uangnya berputar di sini, spending dan benefit kita semua (merasakan)," tuturnya.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan Indonesia memang menunjukkan sejumlah indikator yang mengarah pada ketimpangan ekonomi yang signifikan.
Ia melihat rasio gini yang berkisar antara 0,38-0,41 dalam beberapa tahun terakhir secara jelas mencerminkan ketimpangan pendapatan yang cukup serius.
Ia merujuk pada data kepemilikan aset yang menunjukkan bahwa 1 persen populasi terkaya menguasai lebih dari 45 persen kekayaan nasional.
Selain itu, Yusuf menyebut ketimpangan di Indonesia juga terlihat dari akses terhadap sumber daya ekonomi seperti lahan, modal, dan kesempatan usaha yang masih terkonsentrasi pada kelompok tertentu.
Yusuf pun setuju dengan pernyataan Hashim yang menyoroti bahwa kekayaan 10 keluarga terkaya melebihi kekayaan 114 juta penduduk Indonesia.
"Fakta ini, yang didukung data Credit Suisse dan berbagai lembaga riset internasional, menurut saya mencerminkan konsentrasi kekayaan yang sangat tinggi di kalangan elit ekonomi," tutur dia
"Sementara itu, sebagian besar masyarakat masih berjuang dengan keterbatasan ekonomi, yang semakin diperparah oleh masalah struktural seperti akses pendidikan yang tidak merata, infrastruktur yang belum memadai, dan sistem perpajakan yang belum efektif dalam mendistribusikan kekayaan," jelas Yusuf lebih lanjut.
Senada, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyampaikan jika indikator mayoritas adalah 50 persen plus 1, Indonesia belum termasuk negara gagal.
Namun, jika mengacu pada penguasaan sumber daya ekonomi seperti kekayaan, alam, dan lain nya, ia menilai Indonesia sudah sangat timpang.
"Kekayaan 10 orang terkaya di Indonesia kekayaan ratusan juta masyarakat Indonesia. Kalau seperti itu, artinya Indonesia gagal menjadi sebuah negara yang memakmurkan rakyatnya, menipiskan ketimpangan," kata Nailul.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk memberantas ketimpangan ini?
Yusuf percaya untuk mengatasi masalah ini pemerintah harus mengambil langkah strategis dan sistematis. Menurutnya, reformasi perpajakan yang lebih progresif, seperti pajak kekayaan (wealth tax) dan optimalisasi pajak properti, menjadi salah satu langkah yang perlu diambil.
Di samping itu, pemerataan pembangunan melalui industrialisasi di luar Pulau Jawa dan pengembangan sentra ekonomi baru juga dinilai sangat penting.
Selain itu, Yusuf menyebut reformasi sistem pendidikan perlu dilakukan untuk memastikan akses pendidikan berkualitas bagi semua lapisan masyarakat, ditambah memperkuat UMKM dengan memberikan akses yang lebih mudah terhadap permodalan dan teknologi.
"Ada beberapa kebijakan konkret yang menurut saya dapat segera diterapkan, seperti meningkatkan anggaran pendidikan vokasi yang sesuai dengan kebutuhan industri, memberikan insentif pajak untuk industri padat karya di daerah tertinggal, mengembangkan sistem jaminan sosial yang lebih komprehensif," jelasnya.
Ia menjelaskan dalam jangka pendek hingga menengah, reformasi perpajakan dan penguatan UMKM bisa dilakukan dalam 1-2 tahun ke depan.
Sementara itu, kata dia, kebijakan struktural seperti pemerataan pembangunan dan reformasi pendidikan membutuhkan waktu lebih lama, seperti lebih dari 5 tahun, untuk menunjukkan hasil yang signifikan.
Selain itu, Yusuf menilai pengurangan ketimpangan memerlukan pendekatan multi pihak yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Menurutnya, sektor swasta bisa berkontribusi melalui penciptaan lapangan kerja berkualitas dan transfer teknologi, yang bisa didorong dengan berbagai insentif.
"Di sisi lain, masyarakat sipil berperan penting dalam mengawasi implementasi kebijakan dan mendorong pemberdayaan ekonomi di tingkat akar rumput. Bagi saya, kolaborasi dan koordinasi antar pemangku kepentingan adalah kunci untuk mewujudkan solusi yang berkelanjutan," jelasnya.
Senada, Nailul juga menuturkan pemerintah perlu melakukan redistribusi pendapatan melalui berbagai instrumen kebijakan negara untuk mengatasi ketimpangan di Indonesia.
Pertama, bisa melalui kebijakan pajak berupa wealth tax dan kedua melalui program bantuan sosial yang dananya dari pajak orang kaya.
"Saat ini, saya rasa bantuan sosial memang ada namun tidak dapat membuat masyarakat jadi berdaya sehingga bisa bersaing dengan orang kaya. Dari kecil, sudah timpang secara modal, ya hingga dewasa akan tetap kalah modal," ucapnya.
Di sisi lain, Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI) Ronny P Sasmita berpendapat kegagalan suatu negara tidak dikerucutkan dari masalah ekonominya seperti aglomerasi kekayaan atau keekonomian negara di tangah segelintir orang.
Ia mengartikan negara gagal secara politik atau ekonomi politik adalah negara yang lemah, tidak bisa menjalankan fungsinya, termasuk dalam menjaga kedaulatan sebuah bangsa.
"Seperti Suriah. Misalkan itu negaranya sudah tinggal tersisa sepertiga sekarang, karena tidak bisa menjalankan kekuatan, kewenangan pemerintahan ke seluruh geografi negaranya. Ia juga lemah dalam menjalankan dan mengimplementasikan kebijakan untuk mencapai tujuan negara itu, termasuk menjajarkan masyarakatnya, meningkatkan SDM masyarakatnya, enggak bisa menjalankan itu lagi karena lemah," jelas Ronny.
Karena itu, ia melihat jika aglomerasi keekonomian negara dan kekayaan hanya di tangan segelintir orang, itu tidak membuat Indonesia negara gagal, tapi hanya membuatnya menjadi negara yang semakin nondemokratis.
Pasalnya, penguasaan itu membuat para elit atau orang kaya yang memiliki sumber daya banyak mengendalikan proses ekonomi dan politik yang hanya untuk menguntungkan segelintir orang.
"Jadi justru berkembangnya oligarki ini, bukan membuat negara Indonesia menjadi negara gagal, tapi membuat negara Indonesia semakin gagal mewujudkan tatanan yang demokratis," tegasnya.
Ia mencontohkan bagaimana AS memiliki ketimpangan yang sangat tinggi, namun tak ada yang menyebut Negeri Paman Sam itu negara gagal. Hal itu dikarenakan mereka memiliki institusi ekonomi dan politik yang mapan.
Menurut Ronny, di sana kesepakatan antara ideologi politik terhadap satu hal sudah sangat matang.Mereka juga sepakat demokrasi harus dipertahankan.
"Jadi saya pikir ketimpangan pendapatan ini, ketimpangan kepemilikan keekonomian ini, seperti yang dikatakan Hashim, seperti yang dikatakan Prabowo, justru membuat potensi pemerintah itu untuk mementingkan diri sendiri lebih besar," imbuhnya.
"Justru lupa dengan kepentingan masyarakat, jadi semua anggaran negara, semua proyek-proyek negara pada akhirnya dibagi-bagi di kalangan elit, mereka punya resources yang besar, orang kaya semakin kaya, orang miskin justru semakin tertekan," ucap Ronny lebih lanjut.
Namun untuk mengatakan hal itu sebagai prakondisi sebagai negara gagal, ia tidak sepakat. Menurutnya, sebuah negara bisa dikatakan gagal jika kemampuan negara hilang untuk menjalankan fungsinya sebagai sebuah negara dan pemerintahan.
"Sementara kalau ketimpangan aja sih belum cukup untuk itu," ucapnya.
Ia menilai ketimpangan memang bahaya dan harus segera diselesaikan. Pada faktanya, gini rasio di Indonesia sudah cukup tinggi di kisaran 0,388. Kemudian distribusi keekonomian negara semakin besar ke atas ketimbang ke bawah.
Hal itu, menurut Ronny, bisa dilihat dengan jatuhnya kelas menengah, di mana 10 juta lebih masyarakat turun kelas.
"Itu udah bisa kelihatan bahwa keekonomian itu tersedot ke atas lebih banyak ketimbang terdistribusi ke bawah. Ini sinyal berbahaya, tapi untuk mengatakan itu sebagai sinyal fail state saya pikir enggak. Ini sinyal untuk melemahnya kedaulatan rakyat," ujarnya.