Alarm darurat ekonomi Indonesia kembali menyala. Kali ini, alarm berbunyi dari fenomena deflasi yang melanda ekonomi Indonesia selama empat bulan beruntun belakangan ini.
Deflasi merupakan salah satu penyakit yang menggerogoti negara di tengah ancaman jatuh ke jurang krisis.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia sering berada di fase tersebut. Setidaknya ada tiga waktu berbeda di mana fenomena deflasi selama beberapa bulan beruntun melanda ekonomi Indonesia dan semua berkaitan dengan krisis.
Fenomena dimulai dari masa krisis moneter (krismon) 1998, krisis ekonomi global 2008, dan saat pandemi covid-19 menyerang.
Saat krisis moneter misalnya, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan Indonesia pernah mengalami deflasi 7 bulan berturut-turut, mulai dari Maret 1999-September 1999. Ini imbas depresiasi nilai tukar dan penurunan harga sejumlah barang.
"Periode deflasi lainnya terjadi pada Desember 2008 dan Januari 2009. Selama krisis finansial global, kemudian deflasi karena penurunan harga minyak dunia, dan juga permintaan domestik yang melemah," kata Pudji dalam Konferensi Pers di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Senin (2/9).
Deflasi beruntun kembali terulang saat Indonesia mengalami covid-19 sehingga daya beli masyarakat turun. Pada 2020 terjadi deflasi tiga bulan berturut-turut sejak Juli 2020 sampai September 2020.
Pudji merinci ada 4 kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi kala itu. Ini mencakup kelompok makanan, minuman, dan tembakau; pakaian dan alas kaki; transportasi; serta informasi, komunikasi, dan jasa keuangan.
"Pada 2024 fenomenanya (deflasi) didukung sisi penawaran atau supply side. Andil deflasi disumbang karena penurunan harga pangan, seperti produk tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan baik karena biaya produksinya yang turun sehingga harga di tingkat konsumen juga ikut turun," tuturnya.
"Untuk menjaga daya beli, khususnya untuk konsumsi makanan, maka diduga rumah tangga akan menahan konsumsi non-makanannya. Sehingga seharusnya terlihat pada turunnya permintaan atau demand dari konsumsi non-makanan," prediksi Pudji.
Deflasi pada Agustus 2024 sebesar 0,03 persen secara bulanan (month to month/mtm) menjadi yang keempat sepanjang tahun ini. Fenomena ini sudah terjadi sejak Mei 2024 sebesar 0,03 persen, semakin dalam di Juni 2024 ke level 0,08 persen, dan tambah parah pada Juli 2024 yang menembus 0,18 persen.
Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut harus ada perlakuan berbeda menyikapi fenomena deflasi pada 2024 ini. Menurutnya, fenomena ini punya perbedaan dengan kondisi deflasi di tahun-tahun lalu.
Huda melihat kondisi deflasi sekarang lebih banyak dipengaruhi faktor domestik. Ia menegaskan ini berbeda dengan krisis ekonomi yang menimpa dunia beberapa waktu lalu.
Misalnya, pada deflasi beruntun di 2008-2009, ada faktor krisis global sebagai biang kerok. Begitu pula saat pandemi covid-19 melanda, tak hanya Indonesia yang terdampak wabah tersebut.
"Saat ini, faktor deflasi banyak disebabkan oleh pelemahan daya beli yang disebabkan kebijakan pemerintah kurang tepat," kata Huda kepada CNNIndonesia.com, Selasa (3/9).
Ia menyebut pemulihan ekonomi sudah berlangsung usai sempat dijangkiti pandemi. Perdagangan global pun sudah dibuka normal kembali.
Huda juga melihat kondisi harga komoditas masih terbilang oke. Walau, ia tak menampik adanya tren penurunan.
"Sedangkan pada 2022 pemerintah menaikkan harga pertalite yang pada akhirnya menggerus daya beli," kritiknya kepada pemerintah.
"Selain itu, kondisi pelemahan daya beli kelas menengah juga disebabkan faktor pelemahan industri dan investasi yang seret," tambah Huda.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti turut menangkap fenomena anjloknya daya beli masyarakat. Ia melihat perekonomian Indonesia lesu, bahkan melambat karena permintaan berkurang sekitar 4,8 persen-5 persen.
Ia menegaskan ada tekanan terhadap daya beli. Bukan hanya di sisi supply atau penawaran, termasuk dari demand alias permintaan.
Pada sisi supply terjadi kenaikan biaya produksi sebagai akibat naiknya harga faktor input. Esther menyebut ini menyebabkan harga produk menjadi lebih mahal dan tidak kompetitif.
Sedangkan dari sisi permintaan terlihat nilai pendapatan riil yang turun. Ini imbas dari harga barang yang naik.
"Hal ini saling terkait, produsen mengurangi produksinya dan layoff tenaga kerja juga terjadi. Ke depan, adanya tekanan dari sisi fiskal, yaitu naiknya pajak pertambahan nilai (PPN) dan subsidi dikurangi dengan adanya pembatasan penggunaan pertalite," jelas Esther.
Di lain sisi, masyarakat kelas menengah tak punya pilihan selain makan tabungan. Banyaknya cicilan utang membuat kelas menengah jauh dari asa untuk terus menabung.
Esther menyebut jumlah dana pihak ketiga di sektor perbankan pada akhirnya terus tergerus. Ia mewanti-wanti bahaya yang mengintai Indonesia di kemudian hari.
"Deflasi berdampak pada dana pihak ketiga dan non-performing loan perbankan. Jika hal ini terus dibiarkan akan terjadi kepercayaan masyarakat menurun dan efek spiral ke mana-mana. Ini early warning bagi ekonomi Indonesia karena kondisinya mirip krisis 1997-1998," tegasnya.
No comments:
Post a Comment