Sunday, October 9, 2011
Bisnis Berorientasi Ekspor Ke Amerika dan Eropa Akan Alami Kemunduran
Tidak diragukan lagi jika AS dan Eropa sedang dilanda krisis. Sejumlah indikator ekonomi makin mengarah kuat pada kelesuan di dua kawasan itu. Korporasi dan bank-bank bangkrut serta utang negara menumpuk. Produksi perusahaan berkurang dan ini merembet ke penurunan kegiatan di segala lini kegiatan ekonomi, mulai dari sektor manufaktur hingga jasa.
Dari Eropa diberitakan, sektor jasa telah anjlok pertama kali pada September 2011 dalam dua tahun terakhir. Pesanan-pesanan produk anjlok. Demikian antara lain hasil survei yang dilakukan sebuah lembaga bernama Markit.
Lembaga ini bahkan sudah menyimpulkan perekonomian zona euro, julukan bagi 17 negara pengguna mata uang euro, akan anjlok atau memasuki resesi. Ekonom dari Markit, Chris Williamson, menegaskan, stagnasi akan terjadi pada semester berikutnya.
Keyakinan konsumen dan pebisnis merosot. Tidak banyak yang berani berbelanja karena kekhawatiran keadaan kehidupan di depan tidak menentu. ”Resesi pada kuartal mendatang, Oktober hingga Desember 2011, tampak tak terhindarkan,” kata Jeavon Lolay, Kepala Riset Global di Lloyds Banking Group.
Di era globalisasi, kelesuan ekonomi di satu lokasi pasti merembet pengaruhnya ke lokasi lain. Ini karena dunia terkait kegiatan ekspor-impor, penyaluran kredit, dan seliweran investasi. Dengan kelesuan ekonomi, aktivitas ekspor-impor berkurang, penyaluran kredit tersendat, dan arus investasi pun berkurang.
Karena itu, tidak heran jika para analis mengatakan, resesi zona euro juga akan menjalar ke AS. Kawasan di dunia yang paling terkait erat adalah kawasan Trans-Atlantik. Para ekonom Goldman Sachs memperkirakan resesi di zona euro akan menekan pertumbuhan ekonomi AS sebesar satu persen. Andrew Tilton, ekonom Goldman Sachs, mengatakan, krisis Eropa akan berdampak negatif pada AS tahun 2012.
Laporan soal penurunan aktivitas ekonomi AS, yang sudah berulang kali muncul, juga berlanjut pada September 2011. Indeks nonmanufaktur yang dikompilasi The Institute for Supply Management anjlok menjadi 53 dari 53,3 pada Agustus lalu. ”Ini bukti lebih bahwa pelemahan pertumbuhan berlanjut,” kata Steven Wood, ekonom senior dari Insight Economics in Danville, California.
Setiap hari selalu ada ekspresi soal kelesuan ekonomi. ”Pertumbuhan mengalami anemia,” kata Marchel Alexandrovich dari Jefferies International soal kelesuan ekonomi global.
Otoritas pun khawatir
Di tingkat otoritas, hal ini pun sudah tebersit, yakni kelesuan yang kian terasa. Pada hari Selasa di Washington, AS, Gubernur Bank Sentral Ben Bernanke juga mengingatkan kegiatan ekonomi AS yang mendatar. Oleh karena itu, Bernanke mengingatkan kongres agar jangan menurunkan pengeluaran pemerintah cepat-cepat.
Di tengah kelesuan perekonomian negara, pemerintah sewajarnya turun tangan dengan program yang dinamakan stimulus ekonomi. Ini biasanya dilakukan dengan mengeluarkan dana pemerintah untuk pembangunan proyek-proyek baru, juga menyuntikkan dana kepada perusahaan dengan tujuan mendorong permintaan dan konsumsi.
Ada rencana Pemerintah AS menurunkan pengeluaran dengan tujuan agar utang negara sebesar 14,58 triliun dollar AS jangan menumpuk ke tingkat yang lebih tinggi lagi atau agar defisit anggaran yang sudah besar tidak semakin besar.
Namun, rencana ini juga menghadirkan dilema. Dalam keadaan ekonomi lesu, jika ditambah dengan pengurangan pengeluaran pemerintah, hal itu semakin cepat menjerembabkan perekonomian ke dalam resesi.
Ironisnya, inilah yang terjadi di zona euro dan AS. Kelesuan ekonomi didorong ke arah lebih buruk karena peran pemerintah yang juga semakin tidak eksis. Ini bukan karena pemerintah yang tak mau bertindak, tetapi pemerintahan di dua kawasan sedang bangkrut secara teknis.
Hal inilah yang membuat peringkat utang Trans-Atlantik berjatuhan. Para investor yang selama ini yakin dengan kekuatan perekonomian mulai gamang berinvestasi di dua kawasan itu.
Karena itulah, bisnis di negara mana saja yang berorientasi AS dan Eropa memang harus ekstra waspada. Waspada dalam arti, nilai-nilai investasi bisa tidak menghasilkan lagi di kawasan itu, yang terbukti telah membuat China marah.
Hal lain, perusahaan-perusahaan penjualan produk ke Trans-Atlantik harus siap banting setir dengan mencari pasar alternatif. China sudah mengalami dampak negatif resesi berupa penurunan produk ekspor ke AS dan Eropa.
Peran China
Lalu, apa solusinya? Akan sulit bagi AS dan Eropa menemukan solusi mencegah resesi dengan kekuatan sendiri. Selain tertimbun utang, Trans-Atlantik menghadapi masalah produktivitas dengan penduduk yang semakin menua.
Trans-Atlantik akan sulit menemukan jalan keluar dari resesi. Namun, jika masih bisa diingat, sebenarnya pada dekade 1980-an dan 1990, fenomena kelesuan AS sudah muncul. Hal ini tidak membuat ekonomi AS bangkrut.
Masalahnya saat itu, Jepang muncul sebagai penyelamat dengan investasi yang hampir mencapai 1 triliun dollar AS lewat pembelian obligasi terbitan Pemerintah AS oleh Jepang. Bukan itu saja, Jepang juga membeli sejumlah perusahaan, seperti Sony, dan sejumlah gedung-gedung pencakar di AS.
China sebenarnya telah melanjutkan peran Jepang dengan turut membeli obligasi Pemerintah AS, yang menjadi sumber dana bagi penggerak perekonomian AS. Namun, peran China tidak seleluasa Jepang, yang bisa membeli perusahaan apa saja yang ada di AS.
China terhambat saat berniat membeli perusahaan minyak AS. Padahal, pemasukan dana-dana China lewat merger dan akuisisi, seperti yang pernah dilakukan Jepang terhadap perusahaan AS, akan bisa mengatasi kelesuan ekonomi AS. Walau tidak terlalu besar, para ekonom mengakui bahwa China bisa mencegah kelesuan lebih dalam ekonomi AS dan Eropa.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment