Risiko likuiditas dan risiko wanprestasi bisa diukur apabila investor memiliki akses informasi terhadap keseluruhan isi portofolio reksa dana. Namun hal ini cenderung sulit karena data isi portofolio secara keseluruhan tidak dipublikasikan dan isinya bisa berubah dari waktu ke waktu tergantung pada situasi dan kondisi. Oleh karena itu, tinggal satu jenis risiko yang bisa diukur secara kuantitatif yaitu risiko pasar atau market risk. Risiko ini dapat diukur dengan catatan tersedia data historis yang memadai.
Dalam berbagai teori pengukuran risiko yang dikembangkan oleh para akademisi biasanya berfokus pada risiko ini. Sebab risiko-risiko lain dianggap sangat jarang terjadi dan sifatnya hanya sementara saja, sementara jenis risiko ini yang ditanggung oleh investor selama periode berjalannya investasi.
Satuan yang digunakan untuk mengukur risiko pasar adalah standar deviasi dan beta. Untuk memudahkan pemahaman terhadap kedua satuan tersebut, diberikan ilustrasi kinerja reksa dana saham (RDS) dan IHSG :
- Tahun pertama RDS +10 persen IHSG +5 persen
- Tahun kedua RDS +30 persen IHSG +15 persen
- Tahun ketiga RDS -10 persen IHSG -5 persen
Untuk memudahkan pemahaman mari kita lihat angka rata-rata, tertinggi dan terendahnya yaitu masing-masing 10 persen, 30 persen dan -10 persen. Jika anda perhatikan jarak dari rata-rata ke angka tertinggi dan rata-rata ke angka terendah sama yaitu 20 persen. (30 persen didapat dari rata-rata ditambah 20 persen dan -10 persen didapat dari rata-rata dikurangi 20 persen).
Karena standar deviasi merupakan penyimpangan dari rata-rata, maka angka 20 persen merupakan nilai “standar deviasi”nya. Semakin besar nilai standar deviasi, berarti kinerja reksa dana akan “terdeviasi” semakin besar dari rata-ratanya. Oleh karena itu, semakin besar angka standar deviasi reksa dana semakin besar pula risiko suatu reksa dana. Sebab jika rata-rata dari reksa dana dianggap sebagai proyeksi return di masa mendatang, maka anda berpotensi mendapatkan kinerja yang jauh dari angka tersebut karena adanya standar deviasi.
Pada praktiknya, angka standar deviasi tidak memiliki makna yang luas jika hanya berdiri sendiri. Dala penggunaannya, angka ini dibandingkan dengan return yang dihasilkan oleh reksa dana atau dibandingkan dengan standar deviasi reksa dana lain. Dengan cara hitung yang sama, jika diterapkan pada IHSG, anda akan mendapatkan standar deviasi IHSG sebesar 5 persen. Dibandingkan dengan standar deviasi reksa dana yang sebesar 20 persen, bisa diartikan bahwa risiko reksa dana saham lebih tinggi daripada risiko IHSG.
Dalam bahasa statistik, beta disebut juga dengan koefisien regresi. Dalam bahasa awam, koefisien regresi adalah suatu angka yang menunjukkan pengaruh dari suatu angka terhadap angka lainnya. Dalam konteks investasi pengaruh kinerja IHSG terhadap kinerja reksa dana saham. Untuk menghitung angka koefisien regresi, terus terang rumusnya lebih njelimet dibandingkan menghitung standar deviasi karena menggunakan pembagian antara covarian dengan varian. Bagi anda yang awam atau sudah lama lulus dari dunia perkuliahan, biasanya selalu beralasan kemarin enggak tahu hari ini lupa.
Jadi untuk menjelaskan perhitungan beta, mari kita lihat angka perbandingan di atas. Sebagai contoh, perbandingan antara kinerja reksa dana saham dengan IHSG selama 3 tahun adalah RDS +10 persen vs IHSG +5 persen, RDS +30 persen vs IHSG +15 persen, dan RDS -10 persen vs IHSG -5 persen. Terdapat pola bahwa kinerja reksa dana saham selalu 2 kali lipat daripada kinerja IHSG baik dalam kondisi untung ataupun rugi. Jadi ibaratnya kalau IHSG turun 5 persen, maka kita harus siap-siap reksa dana saham ini turun 10 persen. Sebaliknya juga ketika naik.
Secara teori, semakin tinggi beta semakin besar pula risiko reksa dana dan sebaliknya. Berbeda dengan standar deviasi yang hanya bisa dipakai dengan membandingkannya dengan return atau standar deviasi reksa dana lain, angka beta sudah bisa dipakai sendiri tanpa harus membandingkan.
Angka beta di atas 1 menunjukkan risiko reksa dana saham lebih tinggi dibandingkan IHSG dan sebaliknya untuk angka beta di bawah 1. Selain berbasis saham, terdapat pula reksa dana yang dominan berbasis obligasi seperti reksa dana pendapatan tetap dan reksa dana pasar uang. Karena memiliki karakteristik yang berbeda dengan saham, maka metode pengukuran risikonya juga berbeda yaitu menggunakan analisa durasi. Seperti apa analisa tersebut?
Secara prinsip, yang paling membedakan antara saham dan obligasi adalah pada jatuh temponya. Saham tidak memiliki jatuh tempo sehingga harganya akan berfluktuasi dari waktu ke waktu. Di Indonesia, harga saham dapat turun ke batas bawah yang diperbolehkan dalam Bursa Efek Indonesia yaitu Rp 50 per lembar dan untuk kenaikannya tidak terbatas. Selama perusahaan terus menerus membukukan keuntungan, maka harganya akan terus naik.
Instrumen obligasi berbeda. Obligasi memiliki waktu jatuh tempo sehingga meskipun harganya juga dapat berfluktuasi, pada akhirnya pasti akan kembali ke nilai nominalnya. Di Indonesia, harga obligasi dinyatakan dalam persentase dan untuk harga nominal adalah sebesar 100 persen. Harga pasarnya adalah harga dalam persentase dikalikan dengan nominal transaksi. Misalkan investor membeli obligasi Rp 10 miliar dengan harga 102, maka transaksi yang terjadi adalah Rp 10,2 miliar (Rp 10 miliar x 102 persen).
Untuk harga obligasi yang ditransaksikan di atas 100 disebut harga premium sementara yang di bawah 100 disebut disebut harga diskonto. Dari saat dimiliki oleh investor hingga jatuh temponya, harga obligasi dapat naik dan turun. Bisa di atas 100 ataupun di bawah 100. Batas terbawah adalah 0 persen atau pada dasarnya obligasi tersebut bangkrut dan untuk batas atasnya tidak ada.
Namun berapapun harganya, pada dasarnya jika perusahaan tidak bangkrut maka harganya akan kembali 100 pada saat jatuh tempo, artinya pemegang obligasi akan dikembalikan sejumlah nilai pokok obligasi oleh perusahaan yang menerbitkannya. Harga obligasi hanya menjadi harga transaksi jika investor memperjual-belikannya satu sama lain.
Kemudian, perbedaan besar kedua adalah penyebab perubahan harga tersebut. Harga saham sangat ditentukan oleh fundamental atau kinerja perusahaan. Jika kinerja perusahaan baik maka harganya akan naik dan sebaliknya. Pengaruh fundamental perusahaan terhadap harga obligasi adalah ketika perusahaan tersebut mau bangkrut atau diprediksi akan gagal bayar. Ketika hal tersebut terjadi, harga obligasi bisa jadi 0. Namun jika hanya nilai penjualan dan laba bersih yang naik turun, hampir tidak ada pengaruhnya sama sekali terhadap harga obligasi.
Jadi perubahan harga obligasi dari hari ke hari lebih disebabkan karena perubahan suku bunga. Obligasi pada dasarnya adalah instrumen investasi yang memberikan pembayaran kupon yang tetap kepada investor, sama seperti deposito. Bedanya hanya jangka waktunya lebih panjang dan bunganya lebih besar.
Jika suku bunga deposito di bank naik atau bahkan lebih besar dibandingkan besaran kupon obligasi, supaya tetap menarik obligasi harus dijual pada harga diskon. Sebaliknya juga ketika suku bunga deposito turun, maka kupon obligasi bisa jadi sangat menarik sehingga ada investor yang bersedia membeli di harga premium.
Dengan kata lain, ketika suku bunga naik, maka harga obligasi akan turun. Begitu pula reksa dana yang berinvestasi pada obligasi ini. Sebaliknya ketika suku bunga turun, maka harga obligasi dan reksa dana berbasis obligasi akan mengalami kenaikan. Meskipun demikian, perubahan suku bunga dapat memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap perubahan harga obligasi tergantung pada jangka waktu jatuh tempo obligasi dan besaran suku bunganya.
Sebagai ilustrasi, obligasi dengan jatuh tempo yang lebih panjang akan memiliki persentase perubahan harga yang lebih besar dibandingkan obligasi dengan jatuh tempo yang lebih pendek. Misalkan ketika suku bunga naik 1 persen, maka harga obligasi jangka panjang bisa turun 5 persen sementara obligasi jangka pendek hanya 2 persen saja. Sebaliknya juga ketika suku bunga turun, kenaikan harga pada obligasi jangka panjang bisa lebih besar.
Hal ini bisa terjadi karena jika jatuh tempo obligasi lebih lama, maka ketidakpastian yang dialami lebih besar dibandingkan obligasi yang jatuh temponya lebih pendek. Selain suku bunga, faktor yang berpengaruh terhadap persentase perubahan obligasi adalah pada besaran kupon yang diberikan. Obligasi dengan kupon yang lebih tinggi akan memiliki risiko yang lebih kecil dibandingkan obligasi yang kuponnya lebih rendah.
Dalam bahasa akademis, obligasi dengan kupon yang rendah dan jatuh tempo panjang (Low Coupon Long Maturity) akan memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan dengan obligasi dengan kupon tinggi dan jatuh tempo yang pendek (High Coupon Short Maturity). Bagaimana jika ada obligasi yang jatuh temponya panjang, tapi kuponnya tinggi? Atau jatuh temponya pendek tapi kuponnya rendah? Untuk mengukur risiko tersebut digunakanlah istilah Modified Duration atau Durasi. Dalam beberapa fund fact sheetreksa dana pendapatan tetap dan campuran, kadang-kadang investor juga bisa menjumpai istilah ini.
Misalkan disebutkan Durasi suatu reksa dana adalah 3,5. Artinya jika saat ini suku bunga mengalami kenaikan 1 persen, maka diperkirakan harga reksa dana akan turun sebesar 3,5 persen dan sebaliknya jika suku bunga mengalami penurunan 1persen, maka harga reksa dana akan naik sebesar 3,5 persen.
Dengan membandingkan durasi antara reksa dana yang satu dengan yang lain, investor bisa mengetahui reksa dana mana yang lebih berisiko dan reksa dana mana yang tidak. Berapa besarnya Durasi yang wajar? Memang saat ini belum ada pedomannya. Namun sebagai gambaran, untuk yang berisiko rendah adalah antara 1 – 3, sedang 4 – 5 dan tinggi di atas 5. Ketentuan ini mungkin bisa berbeda di masing-masing tempat, tapi setidaknya bisa digunakan sebagai gambaran.
No comments:
Post a Comment