Monday, December 16, 2024

Ancaman Pertumbuhan Ekonomi Dibalik PPN Naik 12 Persen

 Pemerintah Indonesia tetap menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Dalihnya adalah kenaikan ini menjadi amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Insentif Rp265,6 triliun pun digelontorkan untuk meredam jerit rakyat.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani kompak menenangkan masyarakat yang gelisah. Keduanya menyebut barang pokok macam daging, telur, ikan, dan susu bakal bebas dari pungutan jumbo itu.

"Maka pemerintah yang membayar, biayanya diestimasi Rp265,6 triliun agar masyarakat terbebas dari PPN untuk barang-barang yang dibutuhkan tersebut," kata Sri Mulyani dalam Konferensi Pers di Kemenko Perekonomian, Jakarta Pusat

Jasa pendidikan, kesehatan, keuangan, tenaga kerja, asuransi, dan pemakaian air juga dibebaskan dari PPN 12 persen.

Kendati, tepung terigu, gula industri, dan Minyakita tetap dipungut pajak dengan selisih kenaikan 1 persennya ditanggung pemerintah.

Cukup banyak paket stimulus ekonomi yang ditawarkan pemerintah. Contoh lainnya, yaitu insentif pembebasan pajak penghasilan (PPh) yang mencapai Rp144,7 triliun serta jenis pajak lain senilai Rp35,2 triliun.

"Jadi, kalau kita lihat tahun depan Rp265,6 triliun untuk pembebasan PPN saja itu kenaikannya cukup tajam dibandingkan dua tahun terakhir atau bahkan lima tahun terakhir. Berbagai program pemerintah sebetulnya dalam hal ini dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat," klaim Sri Mulyani.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (PK-TRI) Prianto Budi Saptono menjelaskan konsep yang ditawarkan adalah PPN ditanggung pemerintah (PPN DTP). Transaksi barang dan jasa tahun depan tetap terutang PPN, tapi dana untuk membayarnya diambil dari pos belanja negara sektor pajak.

Menurutnya, insentif ini tergolong dalam indirect government spending policy. Pemerintah sebenarnya masih bisa menambah skema lain berupa direct government spending policy jika paket stimulus ini dirasa kurang.

"Bentuknya berupa bantuan langsung tunai atau bantuan sejenis lainnya untuk masyarakat yang terdampak," kata Prianto kepada CNNIndonesia.com.

Skema PPN DTP dianggap bisa membuat masyarakat punya dana lebih. Ini terjadi karena uang yang seharusnya dipakai membayar pajak bisa dialokasikan untuk menambah konsumsi di dalam negeri.

Prianto mengatakan kebijakan ini seharusnya bisa meredam dampak kenaikan PPN, yakni dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Akan tetapi, dirinya mewanti-wanti bahaya yang bakal dirasakan dua sektor utama.

Pertama, sektor properti yang diprediksi bakal terdampak kuat kenaikan pajak ini. Kedua, industri otomotif yang juga berpotensi terpukul cukup dalam pada tahun depan.

"Secara umum, pembeli kedua sektor tersebut merupakan konsumen akhir. Dengan demikian, mereka menjadi penanggung PPN," tegasnya.

"Ketika daya beli masyarakat turun, kedua sektor tersebut (properti dan otomotif) akan terdampak langsung karena penjualannya dapat menurun. Efek domino dapat terjadi di ekosistem dari kedua sektor tersebut sehingga dampaknya akan lebih luas lagi," wanti-wanti Prianto.

Ia lalu memberikan contoh hitungan sederhana dampak yang bakal dirasakan masyarakat dengan naiknya PPN menjadi 12 persen. Prianto menggunakan pemisalan pembelian barang yang tetap dipungut pajak.

Contohnya, seseorang bernama Badu mempunyai uang Rp1 juta. Ia ingin membeli produk yang harganya Rp100 ribu per unit.

1. Jika tarif PPN tetap 11 persen, Badu bisa membeli 9 unit produk tersebut.

(Rp100 ribu+Rp11 ribu) X 9 unit= Rp999 ribu

Badu pun masih punya uang kembalian Rp1.000

2. Sedangkan ketika PPN naik menjadi 12 persen, Badu cuma bisa membeli produk incarannya sebanyak 8 unit.

(Rp100 ribu+Rp12 ribu) X 8 unit= Rp896 ribu

Uang Rp1 juta miliknya memang masih tersisa Rp104 ribu, tapi tak bisa dipakai membeli 1 unit produk lagi seharga Rp112 ribu yang sudah termasuk PPN 12 persen.

Kontradiksi Sikap Negara

Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritik keras pernyataan jajaran anak buah Presiden Prabowo Subianto. UU Nomor 42 Tahun 2009 dijadikan landasan untuk membantah dalih pemerintah tersebut.

Celios menegaskan klaim pemerintah membebaskan PPN untuk bahan pokok sudah lama diatur dalam uu tersebut. Apa yang ditunjukkan di publik saat ini dianggap hanya manuver politik demi meredam kritik, kenyataannya tarif PPN tetap dinaikkan serta menyasar sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah.

"Kenaikan PPN menjadi 12 persen menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan, memperburuk kondisi ekonomi mereka," kata Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar dalam rilis resminya.

"Sementara itu, kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan. Hal ini akan memperburuk fenomena penurunan kelas menengah menjadi kelas menengah rentan," tegasnya.

Media menegaskan Sri Mulyani hanya bermain kata, seakan-akan pemerintah hadir mendukung kebijakan progresif dengan mengecualikan semua barang pokok dari pungutan pajak. Padahal, kebijakan semacam itu sudah ada sejak 2009 lalu.

Celios juga menekankan kenaikan pajak ini berdampak luas bagi banyak barang yang dikonsumsi masyarakat, termasuk peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor. Di lain sisi, pemerintah malah memberikan insentif PPN DTP 3 persen untuk pembelian kendaraan hybrid.

Langkah tersebut menunjukkan kontradiksi sikap negara. Ini mempertegas bahwa Kabinet Merah Putih pro-orang kaya dengan memaksa kelas menengah membeli mobil hybrid di saat ekonomi melambat.

Peneliti Next Policy Dwi Raihan juga mewanti-wanti ancaman perlambatan ekonomi. Ia menegaskan ini terjadi karena pengecualian PPN bukanlah barang baru, sedangkan di sisi lain pemerintah memungut pajak dari konsumsi harian masyarakat.

Ia mencontohkan PPN 12 persen dikenakan untuk kebutuhan fesyen hingga jasa hiburan, di mana ini merupakan konsumsi warga Indonesia sehari-hari. Di saat yang sama, daya beli masyarakat mengalami pelemahan.

"Selain itu, dengan adanya kenaikan PPN juga berpotensi memicu inflasi lebih tinggi," kata Dwi.

"Pada dasarnya, industri yang menggunakan bahan baku terkena PPN akan terdampak biaya dan pendapatannya. Meskipun pemerintah menerapkan PPN 12 persen secara selektif, nyatanya banyak bahan baku atau bahan setengah jadi yang terkena PPN," bebernya.

Ia dengan tegas menyatakan bahwa aksi pemerintah ini menyasar kelas atas dan kelas menengah. Dwi mengakui bahwa kelas atas tak terlalu terpengaruh kenaikan PPN.

Akan tetapi, kelas menengah amat terdampak kebijakan ini. Ia mengatakan barang dan jasa yang dikonsumsi kelompok ini tetap dipungut PPN 12 persen yang berpotensi menggerus konsumsi, sedangkan di lain sisi pendapatan kaum menengah mandek.

"Memang insentif yang diberikan cukup banyak. Namun, masalah saat ini adalah daya beli yang sangat lemah," ucapnya.

"Insentif tersebut hanya menetralisir kenaikan PPN 12 persen. Jika insentif tersebut tidak efektif, pemerintah perlu memikirkan ulang terkait insentif atau menunda penerapan PPN 12 persen tersebut," tegas Dwi.



No comments:

Post a Comment