Wednesday, December 11, 2024

Ancaman PHK Dibalik Kenaikan UMP 6,5 Persen

 Pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen. Besaran kenaikan upah pekerja ini dipukul rata bagi seluruh provinsi di Indonesia.

Penetapan kenaikan sebesar 6,5 persen itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum 2025.

Atas kenaikan ini, sejumlah pihak mengkhawatirkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Salah satunya datang dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani merasa kenaikan UMP 6,5 persen terlalu tinggi. Kebijakan tersebut dinilai akan berdampak langsung terhadap biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional, terutama di sektor padat karya.

"Hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru," ujar dia dalam keterangan resmi.

Kenaikan UMP memang selalu menjadi polemik antara buruh dan kalangan pengusaha.

Di sisi lain, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai angka kenaikan 6,5 persen adalah keputusan moderat yang tak hanya mempertimbangkan kemampuan pengusaha, namun juga memberikan ruang bagi peningkatan kesejahteraan buruh.

"Kenaikan upah minimum ini bukan hanya soal angka, tetapi juga menyangkut keadilan dan kesejahteraan pekerja. Kami mengapresiasi keberanian Presiden Prabowo dalam memihak rakyat pekerja," tegas Presiden KSPI Said Iqbal melalui keterangan resmi.

Merespon kekhawatiran pengusaha, pemerintah bahkan berencana untuk membentuk Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK) usai menetapkan kenaikan UMP 6,5 persen.

"Pemerintah akan membuat satgas terkait dengan PHK," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto di sela-sela Rapimnas Kadin 2024 di Jakarta, Minggu (1/12), melansir Antara.

Dalam kesempatan berbeda, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli pun membeberkan skema khusus bagi pengusaha yang tak mampu bayar kenaikan 6,5 persen UMP di 2025. Ia menegaskan langkah yang ini bukan berbentuk Satgas PHK.

"Memang beda. Kalau Satgas PHK itu kita masih perlu matangkan karena itu lebih besar lagi, perlu melibatkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan seterusnya," ujar Yassierli dalam konferensi pers di Kemnaker, Jakarta Selatan, Rabu (4/12).

"Kalau ini lebih spesifik treatment untuk pelaku usaha yang saat ini kesulitan finansial. Sehingga kalau penerapan UMP (2025) itu sekarang, bisa jadi mereka tidak mampu," imbuhnya.

Yassierli mengungkapkan ia bersama Airlangga bakal berkomunikasi dengan pengusaha untuk mencari jalan keluar. Ia yakin ada banyak opsi yang bisa ditempuh bagi perusahaan yang sulit membayar besaran UMP 2025.

Lantas, benarkah kenaikan UMP 6,5 persen berisiko pada PHK massal seperti yang ditakutkan para pengusaha?

Analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI) Ronny P. Sasmita berpendapat usulan kenaikan UMP sebesar 6,5 persen sudah cukup moderat, di mana angka itu tidak terlalu tinggi dan cukup pro terhadap pekerja.

Bahkan, kenaikan UMP dinilai seharusnya lebih tinggi dari 6,5 persen, seperti di atas 7 persen-8 persen. Menurut Ronny, kenaikan besaran UMP yang lebih tinggi diperlukan karena kondisi daya beli masyarakat yang terus menurun.

"Nah, ini cuma masalah perang narasi aja antara pihak pemerintah, pengusaha, dan pihak pekerja. Ini dalam hemat saya, yang diusulkan oleh pemerintahan (Presiden) Prabowo 6,5 itu sudah cukup moderat. Tidak terlalu tinggi dan cukup pro juga terhadap pekerja," ujar Ronny

"Karena Prabowo juga ingin ada kebijakan untuk menetralisasi itu. Seperti rencana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai), pencabutan subsidi BBM dan lain-lain. Jadi mungkin ada risiko itu (PHK)," imbuhnya.

Ronny menilai risiko tersebut akan semakin berpengaruh terhadap daya beli masyarakat, juga terhadap performa dan kinerja perusahaan itu sendiri. Semakin perusahaan meminta kenaikan UMP tidak terlalu tinggi, maka daya beli masyarakat juga akan terpengaruh, terutama para pekerja, yang pada akhirnya mempengaruhi performa perusahaan.

Ia menjelaskan sebagian pekerja adalah konsumen dari perusahaan. Sehingga menurutnya, kenaikan UMP hingga 7 persen-8 persen sebenarnya justru malah akan membantu perusahaan. Sebab, hal itu akan membantu mendongkrak daya beli pekerja hingga keluarganya, yang kemudian digunakan untuk mengkonsumsi produk dari perusahaan itu sendiri.

"Mulai dari produk tekstil, produk manufaktur yang lain, produk jasa, dan lain-lain, akan dipakai juga ke situ," tuturnya.

Menurut Ronny, ancaman PHK untuk saat ini hanya berbentuk narasi. Ia melihat pengusaha kemungkinan akan berpikir juga untuk melakukan PHK ke pekerja dalam jumlah besar, karena pasti akan mempengaruhi terhadap produksinya.

Hal itu tentu menjadi risiko bagi perusahaan. Sebab, jika produksi berkurang, Ronny mengatakan berarti bisnis para pengusaha akan mengecil.

"Dan ini kan harus dipikirkan oleh pengusaha. Sehingga dalam jangka panjang menurut saya narasi yang paling pas bahwa kenaikan UMP yang cukup tinggi menurut pengusaha, walaupun menurut saya itu sangat moderat bahkan rendah, itu akan mempengaruhi pada ujungnya kepada performa perusahaan, karena akan membantu daya beli pekerja," jelasnya.

Maka itu, Ronny menilai seharusnya kenaikan UMP bisa mencapai 7 persen-8 persen untuk mengembalikan daya beli masyarakat, menyesuaikan dengan pendapatan mereka. Ditambah dengan inflasi yang sudah bertubi-tubi terjadi dalam dua tahun terakhir.

"Banyak biaya hidup bertambah tanpa diikuti oleh kenaikan pendapatan secara signifikan. Sehingga naik 6,5 pun ya cukup membantu. Karena kalau daya beli masyarakat membaik, itu pasti bagus buat perusahaan. Bagus buat investasi dan lain-lain," pungkasnya.

Senada, pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menganggap kenaikan UMP 2025 menjadi 6,5 persen sudah cukup memadai.

Menurutnya, rumus kenaikan UMP menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan masih tetap berlaku karena undang-undang baru belum diundangkan. Sehingga, seluruh lapisan masyarakat, termasuk pengusaha dan pekerja sudah bisa mengantisipasi kenaikan upah 2025.

Ia pun melihat kenaikan UMP berada di level 6,5 persen dilatarbelakangi oleh inflasi yang berada di sekitar 4 persen-5 persen dan pertumbuhan ekonomi per provinsi di level 4 persen-6 persen.

"Sekarang ini dunia usaha memang mengalami tekanan berat dengan produktivitas dan daya saing yang rendah, tidak mampu bersaing dengan barang-barang impor," ujarnya.

"Namun dengan kenaikan UMP 6,5 persen itu, pengusaha selayaknya dapat menyesuaikan diri, tidak perlu melakukan PHK," imbuh Payaman.

Selain itu, Payaman menilai tidak perlu juga untuk menetapkan Upah Minimum Padat Karya dam Upah Minimum Padat Modal.

"Untuk usaha padat modal tidak perlu diatur, silahkan serikat pekerja dan pengusaha merundingkan upah terendah di perusahaan masing-masing. Karena sudah ditetapkan oleh MK. Upah Minimum Sektoral boleh dilanjutkan seperti di masa lampau," ujar dia.

Setali tiga uang, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menuturkan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen bisa mendorong konsumsi masyarakat sehingga diharapkan dapat meningkatkan permintaan agregat. Dunia usaha malah bisa terdampak positif dari kenaikan permintaan agregat ini.

"Jadi saya rasa tidak ada PHK seperti yang disampaikan oleh pengusaha. Kecuali, ya usahanya memang sudah tidak bisa bersaing sehingga tidak mampu memanfaatkan permintaan agregat," ucap Nailul.

Bahkan, ia merasa pemerintah tidak perlu sampai membentuk Satgas PHK. Menurutnya, hal tersebut justru bisa menjadi landasan pengusaha melakukan pemecatan terhadap pekerjanya.

"Pemerintah seharusnya membuat penyehatan dengan perlindungan dunia usaha seperti pembatasan impor. Bukan malah memberikan pertumbuhan upah minimum yang rendah atau membentuk Satgas PHK," ujarnya.

No comments:

Post a Comment