Pemerintah memberikan sinyal kuat bahwa pajak pertambahan nilai (PPN) tetap naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.
Sinyal kuat disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia sudah memastikan kenaikan PPN tersebut akan diumumkan pada pekan depan.
"Nanti diumumkan minggu depan, disimulasikan dulu," ujar dia ditemui di Kantor Kemenko Bidang Perekonomian, Selasa (3/12), melansir detikfinance.
Ia menyatakan pengumuman tak hanya soal PPN, namun juga kebijakan insentif fiskal untuk 2024. Sebelum itu, pihaknya akan melaporkan hasil kajian dan simulasi kebijakan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk memperoleh persetujuan.
Selain Airlangga, kepastian juga diungkap Kemenkeu. Dalam kesempatan berbeda, Kemenkeu menyatakan kenaikan PPN akan tetap berlaku mulai 1 Januari 2025.
Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Kemenkeu Parjiono mengatakan kendati PPN naik, pemerintah tetap memprioritaskan daya beli.
"Jadi kita masih dalam proses ke sana, artinya akan berlanjut. Namun, untuk menjaga daya beli masyarakat, pengecualian atau exception-nya sudah jelas untuk masyarakat miskin, kesehatan, pendidikan, dan sektor terkait lainnya," kata Parjiono dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia yang digelar oleh INDEF di Jakarta,.
Ia menegaskan penerapan PPN 12 persen akan tetap diiringi dengan penguatan subsidi sebagai jaring pengaman sosial untuk kelompok rentan. Sementara itu, insentif perpajakan akan difokuskan kepada kelas menengah dan atas.
Rencana kenaikan itu pun memicu reaksi keras dari sejumlah kalangan. Meskipun itu didalihkan sudah menjadi amanat undang-undang, mereka memandang bahwa kenaikan PPN berpotensi mencekik masyarakat yang sekarang tengah tercekik daya belinya.
Reaksi keras salah satunya disuarakan oleh kalangan buruh. Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam akan mogok kerja apabila kebijakan yang menyengsarakan rakyat itu tidak dibatalkan.
"Jika pemerintah tetap melanjutkan kenaikan PPN menjadi 12 persen dan tidak menaikkan upah minimum sesuai dengan tuntutan, KSPI bersama serikat buruh lainnya akan menggelar mogok nasional yang melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia," kata Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal.
Said Iqbal menilai rencana pemerintah menaikkan PPN akan memperparah kondisi ekonomi masyarakat kecil. Buruh memprediksi kenaikan PPN akan menurunkan daya beli secara signifikan dan mengakibatkan kesenjangan sosial yang lebih dalam. Selain itu juga menjauhkan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 8 persen.
Said Iqbal berpendapat kenaikan PPN menjadi 12 persen juga akan berdampak langsung pada kenaikan harga barang dan jasa. Sementara itu, kata dia, kenaikan upah minimum tidak cukup untuk menutup kebutuhan dasar masyarakat.
"Bagi Partai Buruh dan KSPI, kebijakan ini mirip dengan gaya kolonial yang membebani rakyat kecil demi keuntungan segelintir pihak," tegas dia.
Tak hanya buruh, pengusaha turut keberatan kalau PPN 12 tetap berlaku. Mereka mengungkap dampak ngeri apabila PPN naik menjadi 12 persen.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan meski PPN hanya naik 1 persen, dampaknya bisa langsung terasa ke harga makanan dan minuman.
Harga makanan dan minuman bisa naik 2-3 persen.
"Dampaknya besar sekali karena kenaikan 1 persen itu akan dirasakan oleh konsumen. Apalagi FMCG (fast moving consumer goods) pangan itu price sensitif. Picu kenaikan harga 2 sampai 3 persen yang harus dibayar konsumen," ungkap Adhi
Hal sama juga disuarakan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Mereka juga sudah meminta pemerintah menunda kenaikan PPN mulai tahun depan tersebut. Ketua DPD Sultan Bachtiar Najamuddin khawatir jika PPN naik, maka tingkat inflasi juga ikut terkerek.
"Tapi kami tidak pada posisi eksekutif. Kita hanya merekomendasikan coba dipikir ulang, dipikir ulang, ditinjau ulang (kenaikan PPN)," katanya di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta.
Tapi pemerintah hingga kini terlihat belum mendengarkan suara-suara keberatan itu. Mereka beralasan kenaikan tarif PPN dibutuhkan untuk menjaga kesehatan keuangan negara.
Maklum, secara umum, PPN atau pajak konsumsi memang menjadi salah satu kontributor penerimaan utama negara selain pajak penghasilan (PPh). Adapun PPN menyumbang sekitar 17 persen hingga 29 persen dari total pendapatan.
Lantas, apa sebenarnya faktor di balik 'kengototan' pemerintah untuk menaikkan PPN 1 persen di 2025?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira curiga pemerintah ngotot mengerek PPN menjadi 12 persen karena mereka tahu rasio pajak menurun pada 2025.
Pasalnya, pemerintah juga melakukan banyak hal lain seperti menurunkan PPh Badan dari 22 persen ke 20 persen hingga menerapkan pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III.
Menurut Bhima, kebijakan-kebijakan ini justru bisa berpotensi menurunkan rasio pajak karena membuat tingkat kepatuhan wajib pajak semakin rendah.
"Belum lagi insentif-insentif fiskal yang jumlahnya terus menggelontor tanpa terkendali. Dan ini juga akan menjadi beban berat bagi rasio pajak," ujar dia
Bhima mengatakan sejatinya pemerintah punya opsi lain; mengenakan pajak karbon.
Namun menurutnya, pemerintah sendiri juga belum berani menerapkan alternatif pajak karbon, yang tidak mengganggu daya beli. Pemerintah katanya, lebih memilih jalan mudah dengan menaikkan tarif PPN dari 11 persen ke 12 persen dengan alasan mematuhi undang-undang.
Padahal, Bhima menilai kenaikan ini akan berefek cukup luas. Hampir semua kalangan masyarakat bisa tersengat efek kenaikan PPN ini.
"Kalau pemerintah ngotot karena ingin mengejar kenaikan rasio pajak yang lebih tinggi, itu akan mendistorsi ekonomi dan bahkan pertumbuhan ekonomi bisa jatuh di kisaran 4 persen tahun 2025, makin jauh dari target ekonomi tumbuh 8 persen," imbuh Bhima lebih lanjut.
Selain itu, dirinya juga menduga kengototan dipicu analisis bahwa defisit APBN semakin melebar, bahkan hampir menyentuh level 3 persen imbas program 'populis' pemerintahan Prabowo, seperti; makan bergizi gratis (MBG), swasembada pangan, hingga 3 juta rumah per tahun.
Program-program ini ia nilai memiliki kontribusi terhadap kenaikan dari belanja pemerintah yang berakibat pelebaran defisit anggaran. Apalagi ada pula utang jatuh tempo pemerintah yang tembus Rp800 triliun pada 2025 mendatang.
Ia berpendapat utang ini menjadi salah satu hal yang paling krusial. Sebab, utang jatuh tempo ditambah bunga utang memiliki total sekitar Rp1.350 triliun yang harus pemerintah bayar dan cari uang dari berbagai sumber, salah satunya pajak.
Bhima meminta pemerintah untuk tidak bersikap egois terkait hal ini.
"Jangan hanya karena melihat dari sisi kebutuhan fiskal, tapi juga kenaikan tarif ini pastinya menyedot likuiditas dari masyarakat dan mengganggu perekonomian, bahkan konsumsi rumah tangga yang terganggu justru akan blunder kepada pendapatan pajak-pajak lainnya," jelasnya.
"Jadi mau mengejar kenaikan tarif, konsumsi rumah tangga terdampak, kelas menengahnya lebih banyak berhemat, lebih banyak mengurangi konsumsi," imbuh Bhima.
Ia menegaskan hal ini ujungnya akan berimbas kepada penurunan PPh, penurunan bea cukai, hingga penerimaan-penerimaan pajak lainnya.
"Jadi kenaikan tarif PPN ini juga mengirim sinyal pemerintah ada arogansi dan egois ya, dari sisi mengamankan kantong pemerintah merugikan kantong masyarakat," tutur Bhima.
Sementara itu, analis senior Indonesia Strategic and Economic Action (ISEAI) Ronny P Sasmita menyebut kenaikan PPN tetap dilakukan pada 2025 karena pemerintah sudah merasa mengkompensasi daya beli masyarakat dengan beberapa kebijakan.
Kebijakan pertama, upah minimum provinsi (UMP) yang sudah diresmikan naik 6,5 persen pada 2025, dibandingkan tahun ini hanya 3 persenan.
Kedua, pemerintah sudah memberikan jaminan kenaikan gaji guru. Ketiga, pajak UMKM yang tidak naik.
"Jadi dengan begitu, pemerintah merasa sudah memberikan pengaman sosial untuk kelompok masyarakat yang diperkirakan penghasilannya akan tertekan karena kenaikan PPN," tutur Ronny.
Faktor lainnya, Ronny menilai pemerintah memerlukan kenaikan PPN untuk dapat mewujudkan kebijakan-kebijakan di atas. Menurutnya, secara umum hal itu agar terkesan impas atau neutralized.
Ia memperkirakan kenaikan PPN bisa mendatangkan penerimaan negara sekitar Rp80 triliun.
"Sehingga bisa berlebih, meskipun dipakai untuk kenaikan pendapatan guru. Sementara kenaikan UMP ditanggung pengusaha, tanpa membebani APBN," ucap dia.
Jadi pada intinya, kata Ronny, meskipun sudah ada kebijakan 'kompensasi' daya beli, pemerintah tetap akan 'menang banyak' alias akan mendapatkan tambahan penerimaan negara.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet berpendapat kengototan pemerintah menaikkan tarif PPN ke 12 persen tak hanya dipicu oleh undang-undang.
Menurutnya, kondisi APBN pada 2025 yang masih dihadapkan pada potensi kenaikan beban belanja menjadi alasannya.
Hal ini terjadi imbas ada beberapa pos belanja yang sifatnya masih bisa berubah, termasuk di dalamnya program prioritas pemerintah, seperti makan bergizi gratis, hingga utang jatuh tempo mulai 2025 hingga 2029 yang akan terjadi secara bertahap.
Dalam kondisi tersebut, Yusuf menilai pemerintah relatif sulit untuk tetap menjaga target defisit anggaran di angka 2,5 persen terhadap PDB jika tak ada langkah yang sifatnya bisa mendorong penerimaan secara lebih baik.
Namun, ia merasa bahwa alasan-alasan tersebut perlu dikritisi. Misalnya, terkait regulasi atau ketentuan undang-undang yang sudah ditetapkan sebelumnya.
"Menurut kami sebenarnya ketentuan dan regulasi tersebut sudah atau dapat ditunda sementara waktu, misalnya dalam bentuk peraturan pengganti undang-undang di mana nantinya pemerintah menetapkan penundaan tarif baru sampai dengan batas waktu yang akan disepakati nanti," ujar Yusuf.
Sementara untuk kepentingan belanja, menurutnya, sebenarnya pemerintah bisa melakukan beberapa cara. Pertama, melakukan realokasi anggaran pada pos-pos yang sebenarnya dapat dialokasikan atau ditunda sementara waktu untuk pos yang bersifat lebih urgent.
Kedua, upaya mendorong penerimaan juga dapat dilakukan melalui proses intensifikasi pemeriksaan.
"Di mana kita tahu pemerintah sebenarnya sudah punya administrasi perpajakan ini bangun dan kita juga paham di tahun depan ada sistem core tax administration yang saya kira bisa memberikan efek terhadap kemampuan peningkatan penerimaan pajak pada level tertentu," pungkasnya.
No comments:
Post a Comment