Pemerintah dan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipastikan telah menyepakati Rancangan Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) yang akan disahkan dalam sidang paripurna DPR sore nanti, Kamis (17/3). "Setelah sekian lama akhirnya Indonesia memiliki produk UU yang memberikan payung hukum kepada para pengambil kebijakan untuk menghadapi krisis," ujar Bambang usai rapat kerja di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (17/3).
Menanggapi keputusan ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mengaku akan tancap gas guna menyusun beleid turunan dari UU PPSK.
Kepala Eksekutif OJK Nelson Tampubolon mengatakan, untuk mewadahi penerapan UU yang membutuhkan spesifikasi lebih jauh pihaknya akan mengeluarkan sedikitnya tiga peraturan OJK (POJK). "Ada tiga P-OJK dan peraturan LPS yang harus segera dirumuskan tahun ini. Salah satunya mengenai spesifikasi dan tata cara bail in," ujar Nelson. Sebagaimana diketahui, skema bail in mencuat dalam sejumlah rapat kerja pembahasan RUU PPKSK di DPR.
Skema ini muncul seiring dengan reaksi penolakan para anggota dewan terhadap penggunaan uang negara melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membantu likuiditas bank yang terindikasi krisis. Nelson mengungkapkan, sehubungan dengan subtansi tadi P-OJK yang mengatur skemabail in akan dikeluarkan dalam waktu dekat. OJK juga berencana segera membuat daftar bank yang masuk dalam kategori sistemik atau Domestic Systematicly Important Bank (DSIB).
Hal ini dimaksudkan guna mengelompokkan bank yang bisa berdampak terhadap stabilitas sistem keuangan. Di mana daftar tersebut merupakan amanat dari RUU PPSK dan OJK harus menyelesaikan daftar dalam kurun waktu 3 bulan. "Begitu disahkan, kita akan bicara dengan Bank Indonesia. Kan sudah ada kriterianya, kita akan koordinasi dengan BI untuk menentukan bank mana saja yang masuk bank sistemi, kemudian kita bawa ke rapat Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK)," imbuhnya.
Nelson menjelaskan, berdasarkan identifikasi tahap awal terdapat kurang dari 30 bank di Indonesia yang masuk kategori sistemik. Jika nantinya terindikasi sistemik, kata dia berdasarkan RUU PPKSK maka bank tersebut diharuskan melakukan langkah-langkah pencegahan krisis seperti penambahan rasio modal dan dilakukan restrukturisasi perbankan melalui LPS. "Kalau nanti LPS melihat misalnya ada bank kecil tapi ada dampak besar di masyarakat, LPS bisa mengatakan kalau ini dampaknya sangat signifikan terhadap ekonomi sehingga perlu diselamatkan sesuai dengan pembahasan di KSSK," tuturnya.
Meski begitu, dia bilang penyelamatan oleh LPS pun diharamkan mengutip dana negara melalui APBN. Untuk membantu likuiditas perbankan, LPS diperkenankan menerbitkan surat utang (obligasi) guna mencari dana tambahan demi melakukan penyelamatan (resolusi) kegagalan bank sistemik. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memiliki tiga opsi dalam melakukan penyelamatan bank yang ditetapkan gagal oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan menjelaskan opsi-opsi tersebut secara sah tertuang dalam langkah-langkah penyelamatan bank gagal yang diatur dalam Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) yang baru disahkan dalam rapat paripurna, kemarin.
Langkah pertama yaitu LPS diperkenankan melakukan skema purchase and assumption. Melalui skema ini, nantinya jika ditetapkan ada bank yang gagal dan diputuskan harus diselamatkan, maka aset dan kewajiban dengan status hukum yang paling kuat milik bank tersebut harus dikeluarkan dari bank yang gagal tersebut. "Lalu aset dan kewajiban tersebut akan dilelang ke investor atau ke bank lainnya," jelas Fauzi. Namun jika nantinya aset tersebut sepi pembeli akibat kondisi pasar keuangan tidak dalam kondisi yang baik, maka aset dan kewajiban milik bank gagal tersebut akan ditampung sementara oleh bank perantara (bridge bank) yang dikelola oleh LPS. Pembentukan bank perantara tersebut nantinya akan diatur dalam bentuk peraturan turunan berupa peraturan LPS.
"Aset tersebut nantinya bisa dilelang ke investor jika sewaktu-waktu keadaan pasar finansial membaik," ujar Fauzi. Langkah ketiga, LPS diperkenankan menerbitkan surat utang (obligasi) yang dananya bisa digunakan untuk menginjeksi permodalan bank yang dianggap tidak mampu melakukan bail in. "Jadi dalam prinsip bail in kerugian bank sistemik harus di upshort dulu oleh pertama yaitu pemilik bank, kedua yakni investor, dan ketiga pemegang obligasi yang convertible," katanya.
Dengan sistem bail in, bank sistemik diwajibkan untuk memiliki atau menerbitkanconvertible bond yang sewaktu-waktu bisa diubah menjadi ekuitas saham pada saat dalam keadaan krisis. "Dengan bail in, rata-rata rasio kecukupan modal bisa di kisaran 20 persen. Jadi bantalan itu seharusnya cukup untuk memastikan bahwa kalau ada krisis keuangan dan perbankan bank sistemik tidak akan terpuruk cepat," katanya. Namun apabila ternyata bantalan modal tersebut tidak cukup, maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan melimpahkan bank gagal itu ke LPS.
"Dan LPS saat ini memiliki balance sheet nya atau neraca yang sekarang itu di kisaran Rp67 triliun. LPS memiliki neraca ini untuk melakukan penyelamatan. Jika dananya tidak cukup, otomatis LPS bisa menerbitkan obligasi," katanya. Sebelum menerbitkan obligasi, LPS haris melalui tahap akreditasi oleh lembaga rating kredit. Jika dalam keadaan krisis keuangan pasar obligasi terpuruk dan tidak memungkinkan LPS untuk menerbitkan obligasi, maka KSSK akan berkonsultasi dengan presiden dan meminta presiden untuk menggali sumber pendanaan lain.
Langkah-langkah ini berbeda dengan skema penyelamatan Bank Century yang pernah dilakukan oleh LPS tahun 2008 lalu. Pada saat itu, LPS secara langsung menyuntik dana segar sebesar Rp1,6 triliun kepada Bank Century menggunakan dana cadangan yang dimiliki oleh LPS berdasarkan persetujuan KKSK.
"Jadi ketika ada bank yang gagal dan harus diselamatkan, maka satu-satunya cara berdasarkan UU LPS adalah menyuntik modal segar. Tapi sekarang cara tersebut sudah ditinggalkan oleh LPS di negara lain," katanya. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mewaspadai risiko krisis keuangan sistemik yang selalu dan akan terus membayangi pergerakan ekonomi Indonesia. Karenanya, lembaga di bawah Kementerian Keuangan itu menuntut komitmen dari para pemegang saham di bank-bank sistemik untuk bersiap menambah modal jika sewaktu-waktu risiko yang tak diharapkan itu datang.
"Kami tidak berharap ada krisis, tetapi risiko itu selalu ada," ujar Basuki Purwadi, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) BKF. Menurutnya, risiko krisis ini yang kemudian melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang tentang Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Substansi utama dari beleid ini adalah pencegahan krisis dengan menitikberatkan pengawasan terhadap bank-bank yang masuk kategori sistemik.
Basuki menjelaskan, dalam UU PPKSK disebutkan beberapa indikator yang menjadikan sebuah bank masuk dalam kategori berdampak sistemik. Pertama, dinilai dari ukuran aset, modal, dan kewajiban bank. Lalu dilihat pula dari luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain yang dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan.
"Untuk itu bank harus memenuhi kecukupan modal, rasio likuiditas, dan dia harus buat rencana aksi recovery plan. Dituntut kesanggupan pemegang saham untuk menambah modal, serta mengonversi utang-utang kreditur menjadi saham bank, dan sebagainya," jelasnya. Dia menegaskan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap pengawasan bank-bank sistemik. Namun, UU PPKSK mewajibkan OJK secara berkala menyusun daftar bank sistemik dan melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, serta Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) untuk menetapkan langkah-langkah mitigasi risiko.
"Untuk daftar bank sitemik itu ranahnya OJK. Terakhir mereka mengatakan kurang lebih 30 bank (berdampak sistemik)," tutur BAsuki. Sebelum UU PPKSK terbit, kata Basuki, tidak jelas pembagian tugas antar-lembaga terkait ketika krisis keuangan terjadi. Saat ini, lanjutnya, setiap anggota dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) yakni Ketua Dewan Komisioner OJK, Gubernur BI, Menteri Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner LPS, "masing-masing sudah tahu siapa melakukan apa".
Basuki menegaskan dalam UU PPSKS tidak disebutkan skema bantuan dana talangan yang bersumber dari APBN (bailout). Menurutnya, upaya pencegahan krisis di saat kondisi normal harus diutamakan antara lain dengan mewajibkan pemegang saham memperkuat modal banknya secara swadaya (bail in). "Kalaupun dimungkinkan bailout, itu adalah solusi terakhir," katanya.
Namun, pada pasal 20 UU PPKSK disebutkan, bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dapat mengajukan permohonan pinjaman jangka pendek dari BI dengan syarat memiliki agunan berupa surat berharga atau aset kredit . Apabila kondisi solvabilitas bank memburuk, maka OJK dapat meminta LPS untuk melakukan langkah pengamanan, mulai memfasilitasi pemasaran hingga pengalihan sebagian atau seluruh aset dan kewajiban bank sistemik kepada bank penerima atau bank perantara.
LPS sesuai UU Nomor 7 Tahun 2009 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan, juga menjamin simpanan nasabah di bank maksimal Rp100 juta per nasabah. Namun besar penjaminan bisa diturunkan menjadi kurang dari 90 persen jika terjadi ancaman krisis, atau terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan (rush), dan/atau inflasi melonjak tinggi dalam beberapa tahun.
Akan tetapi, dalam kondisi krisis keuangan, KKSK dapat merekomendasikan program restrukturisasi perbankan, yang dapat diterima atau ditolak oleh presiden. Program ini memungkinkan tambahan modal ke bank sistemik, yang bisa berasal dari pemegang saham, hasil pengelolaan aset, kontribusi atau premi penjaminan industri perbankan, dan/atau pinjaman yang diperoleh LPS.
Apabila terapat selisih lebih dari hasil pelaksanaan program restrukturisasi perbankan, maka akan menjadi tambahan kekayaan negara. Sebaliknya, jika terjadi defisit maka akan diperhitungkan ke dalam modal LPS yang akan ditutup dari kontribusi iuran premi penjaminan dana nasabah yang disetor perbankan.