Sunday, March 27, 2016

OJK Akan Batasi Penarikan Dana Nasabah Jumbo Saat Krisis Ekonomi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memilih menggunakan cara-cara persuasif dalam memitigasi risiko krisis perbankan dengan menganjurkan perbankan menambah modal dan menghimbau deposan besar tidak menarik dana. Namun, OJK menghormati dan mempertimbangkan anjuran Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Darmin Nasution, yang menganjurkan dibuatnya peraturan khusus untuk membatasi penarikan simpanan nasabah dalam jumlah besar ketika terjadi krisis keuangan.

"Sebetulnya ketika ada bank yang mengalami permasalahan, pengawas itu kan sudah masuk ke sana untuk menginfokan apa ang boleh dan tidak boleh dilakukan. Salah satunya diupayakan agar deposan yang besar-besar tidak menarik dananya. Tapi itu persuasif, karena ketentuannya belum ada," ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II OJK Boedi Armanto kepada CNNIndonesia.com di kantornya, Rabu (23/3).

Sebelumnya, Darmin Nasution mengusulkan pembuatan aturan khusus yang membatasi penarikan simpanan nasabah di bank ketika terjadi gejolak.  Boedi menyambut baik usulan dari Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu dan akan mempertimbangkannya, meski menurutnya ada risiko yang bisa muncul dari penerapan kebijakan itu. Namun, ia mengaku sejauh ini belum ada pembicaraan khusus antara OJK dengan pemerintah terkait wacana pembatasan penarikan dana nasabah.

"Tentu (usulan Darmin Nasution) itu baik, tapi ada risikonya juga. Kalau deposan yang besar-besar tarik dananya pasti bank akan ambruk,” katanya  “Nasabah juga pasti akan bertanya-tanya dan secara psikologis justru akan mendorong mereka mengalihkan dananya ke bank yang lebih sehat. Istilahnya flight to quality," imbuh Boedi.

Berdasarkan pengalamannya sebagai pengawas perbankan di BI dan OJK, Boedi mengatakan biasanya ketika ada bank yang mengalami permasalahan likuiditas, pengawas pasti meminta bank melakukan pendekatan persuasif kepada para nasabahnya untuk tidak menarik simpanannya dulu hingga situasi normal.  "Itu lebih bersifat anjuran, istilahnya professional management," katanya.  Boedi Armanto menilai Indonesia saat ini sudah semakin siap menghadapi gejolak di pasar uang menyusul disahkannya Undang-Undang tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK).

Menurutnya, manajemen protokol krisis setiap negara berbeda-beda dan Indonesia dianggap salah satu negara yang lebih maju karena sudah memiliki payung hukum yang jelas berupa UU PPKSK.  Dalam beleid tersebut, ada ketentuan bail in, di mana pemilik bank wajib menambah modal hingga level tertentu ketika terjadi masalah likuditas pada banknya. Kebijakan ini akan diutamakan sebelum Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) turun tangan membantu.

Boedi Armanto mengatakan, ketentuan bail in ini sebenarnya sudah sejak Januari 2016 diwajibkan bagi bank yang masuk kategori berdampak sistemik atau domestic systematically important bank (DSIB) guna memenuhi ketentuan Basel III.  Hal itu tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum yang terbit pada 29 Januari 2016. Beleid ini isinya hampir sama dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.

Selain mewajibkan penyediaan modal minimum atau Capital Adequacy Ratio (CAR) 8 persen dari aset tertimbang menurut risiko (ATMR), OJK maupun BI mengharuskan bank menambah modal sebagai penyangga (buffer), yakni berupa Capital Conservation Buffer, Countercyclical Buffer, dan Capital Surcharge.  Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga jika bank merugi pada periode krisis. Capital Conservation Buffer ditetapkan sebesar 2,5 persen dari ATMR.

Selanjutnya Countercyclical Buffer, yakni tambahan modal yang berfungsi untuk mengantisipasi kerugian jika pertumbuhan kredit perbankan berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Adapun besar Countercyclical Buffer ditetapkan mulai dari 0 persen hingga 2,5 persen dari ATMR.  Terakhir adalah Capital Surcharge khusus DSIB, yakni tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian jika terjadi kegagalan Bank yang berdampak sistemik.

Tambahan modal ini telah diatur lebih dahulu dalam Peraturan OJK NOmor 46/POJK.03/2015 tentang Penetapan Systemically Important Bank (SIB) dan Capital Surcharge. Dalam beleid tersebut Capital Surcharge ditetapkan mulai dari 1 persen hingga 3,5 persen dari ATMR, tergantung dari bobot risiko dan kelompok (bucket) profil bank.  "Sebenarnya ada lagi tambahan modal berdasarkan risk profile. Profil risiko ini tergantung pengawas bank masing-masing, bisa 1 persen hingga 3 persen dari ATMR. Ini wajib, tapi diskresi pengawas," jelas Boedi Armanto

No comments:

Post a Comment