Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membongkar motif sebanyak 2.000 perusahaan multinasional atau asing yang teridentifikasi mengemplang pajak. Rata-rata perusahaan tersebut menunggak pajak jenis Pajak Penghasilan (PPh) Badan pasal 25 dan 29. "Yang dimakud tidak membayar pajak adalah mereka tidak membayar pajak PPh pasal 25 dan 29 karena alasan merugi terus menerus, padahal perusahaannya masih ada. Ini perlu kita teliti lebih dalam lagi, apakah memang benar," kata Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi di kantor pusat DJP, Jakarta, Senin (28/3).
Menurut Direktur Pelayanan dan Penyuluhan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) DJP Mekar Satria Utama, rata-rata 2.000 perusahaan asing tersebut menggunakan modustransfer pricing. Transfer pricing merupakan transaksi barang dan jasa antara beberapa divisi pada suatu kelompok usaha dengan harga yang tidak wajar, bisa dengan menaikkan (mark up) atau menurunkan harga (mark down), kebanyakan dilakukan oleh perusahaan global (Multi-National Enterprise).
Tujuannya, pertama, untuk mengakali jumlah profit sehingga pembayaran pajak dan pembagian dividen menjadi rendah. Kedua, menggelembungkan profit untuk memoles (window-dressing) laporan keuangan. Dari praktik ini negara dirugikan triliunan rupiah karena praktek transfer pricing perusahaan asing di Indonesia. "Perusahaan ini merupakan perusahaan afiliasi dengan induknya yang ada di luar negeri, sehingga sangat rawan untuk proses transfer pricing. Seperti biasanya pembayaran royalti," ujar Satria.
Untuk menanggulangi praktik tersebut, DJP sendiri saat ini telah memiliki unit khusus yang menangani praktik transfer pricing. Sejak tahun 2014 lalu, Satria mengklaim telah memiliki data potensi hingga triliunan rupiah yang dijadikan dasar pemeriksaan. "Sejak tahun 2014 lalu dan 2015 lalu sudah menghasilkan data-data transfer pricing cukup signifikan. Hampir puluhan triliun yang menjadi dasar koreksinya," ungkapnya.
Modus kedua yakni biasanya para perusahaan asing tersebut memanfaatkan fasilitas fiskal, seperti pengurangan pajak (tax allowance), untuk menghindari pembayaran pajak usai masa tax allowance habis. "Pada waktu mereka mengajukan pelaporan, mereka suka meninggikan biaya-biaya pemberian barang modalnya, sehingga pada saat habis masa tax allowance sudah terakumulasi pembelian barang modal yang sangat tinggi sehingga menyebabkan tingginya biaya penyusutan," katanya.
Usai mendapatakan fasilitas tax allowance, sejumlah perusahaan tersebut diduga melakukan perubahan nama sehingga bisa mengajukan diri kembali sebagai penerima fasilitas tax allowance. "Kemudian mereka mengajukan kembali untuk mendapatkan fasilitas yang sama. Sehingga kembali lagi mereka mendapatkan fasilitas tersebut dan kembali lagi memanipulasi menjadi rugi," katanya.
Oleh sebab itu, Satria mengatakan DJP akan melakukan koordinasi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk melacak identitas para perusahaan tersebut. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menambah jumlah petugas pemeriksa pajak untuk melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak (WP) yang terindikasi tidak membayar maupun menunggak pajak tahun ini.
Dirktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan saat ini DJP memiliki petugas pemeriksa pajak sebanyak 4.551 orang. Jumlah tersebut tidak sebanding dengan jumlah WP orang pribadi (OP) yang saat ini mencapai 27 juta jiwa.
Namun dengan keterbatasan sumber daya tersebut, Ken masih meyakini bahwa semangat fiskus untuk melakukan pemeriksaan WP tidak akan kendor. "Pemeriksa kita masih militan, jadi kalau ada yang mengatakan petugas pemeriksa kita masih bermain, saya katakan tidak. Mereka tidak akan main-main melakukan pekerjaannya dan tidak akan pandang bulu," ujar Ken dalam konferensi pers usai melantik 643 petugas pemeriksa di kantor pusat DJP, Jakarta, Senin (28/3).
Para petugas pemeriksa yang baru dilantik tersebut merupakan petugas fungsional pemeriksa pajak yang akan masuk ke Jakarta guna memenuhi pekerjaan dalam rangka tahun penegakan hukum dan ekstensifikasi. Ken mengatakan agar lebih efektif dan efisien, pemeriksaan pun difokuskan kepada WP OP yang dianggap potensial. "Pemeriksaan dilakukan kepada siapapun juga dan dimana pun juga. Jadi mereka (WP) akan kita kejar sampai ke luar negeri," katanya.
Kendati demikian, DJP juga tidak menutup mata dengan adanya risiko kriminalisasi yang dihadapi oleh para fiskus. Ken menyadari upaya DJP dalam mengutip pajak dari para WP kerap kali dijegal dengan bermacam upaya. Lebih lanjut ia mengatakan, upaya yang dilakukan oleh para petugas pemeriksa pajak sudah dilindungi oleh payung hukum berupa Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Menurutnya, UU tersebut memberikan kewenangan untuk melaksanakan pemeriksaan oleh selain pejabat fungsional pemeriksa pajak. Namun bukan berarti para fiskus kebal hukum terhadap segala dugaan tindak pidana. "Memang, orang bayar pajak tidak ada yang menyenangkan. Oleh karena itu kita melakukan penegakan hukum (law enforcement)," katanya.
No comments:
Post a Comment