Silvia mengatakan dengan mengintip data transaksi kartu kredit, Ditjen Pajak juga dinilai mampu melacak daftar kekayaan nasabah tanpa izin. Kecuali nasabah tersebut melakukan pelanggaran tindak pidana maupun perdata yang merugikan. Untuk hal tersebut ia merelakan data pribadinya dikulik oleh pihak berwenang seperti PPATK maupun KPK. "Dan seharusnya dibuka oleh harus otoritasnya. Kalau begini Ditjen Pajak sudah over power ketimbang UU. Masa Ditjen Pajak melanggar Undang-Undang," katanya.
Kekhawatiran lainnya diungkapkan oleh nasabah kartu kredit lainnya Yosi Winosa (26). Yosi merasa khawatir dengan ancaman kejahatan cyber berupa pembocoran data ke pihak luar. "Itu bisa berpotensi ada fraud, kalau datanya bocor dan disebarkan ke pihak lain, memangnya ada jaminan?," ujar pengusaha muda tersebut.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan sebanyak 23 bank penerbit kartu kredit untuk melaporkan setiap data dan transaksi kartu kredit kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kewajiban tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Aturan tersebut ditetapkan sejak 22 Maret dan telah berlaku sejak PMK tersebut diundangkan.
Dalam beleid itu disebutkan, bank atau lembaga penerbit kartu kredit diwajibkan melaporkan data transaksi nasabah kartu kredit yang bersumber daribilling statement yang memuat data-data berupa nama bank penerbit kartu kredit, nomor rekening kartu kredit, nomor ID dan nama merchant (pedagang), nama pemilik kartu, alamat pemilik kartu, NIK/Nomor paspor pemilik kartu, NPWP pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi dalam rupiah serta limit atau batas nilai kredit yang diberikan untuk setiap kartu.
Kementerian Keuangan telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan bank atau lembaga jasa keuangan penerbit kartu kredit untuk melaporkan setiap data dan transaksi kartu kredit kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kewajiban tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Beleid tersebut merupakan perubahan kelima atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2013 tentang rincian jenis data dan informasi serta tat cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
Aturan tersebut ditetapkan sejak 22 Maret dan telah berlaku sejak PMK tersebut diundangkan.
Dalam beleid itu disebutkan, bank atau lembaga penerbit kartu kredit diwajibkan melaporkan data transaksi nasabah kartu kredit yang bersumber dari billing statementyag memuat data-data berupa nama bank penerbit kartu kredit, nomor rekening kartu kredit, nomor ID dan nama merchant (pedagang), nama pemilik kartu, alamat pemilik kartu, NIK/Nomor paspor pemilik kartu, NPWP pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi dalam rupiah serta limit atau batas nilai kredit yang diberikan untuk setiap kartu.
Data tersebut harus segera dilaporkan dalam bentuk langsung ke Direktorat Jenderal Pajak maupun secara elektronik (online) paling lambat 31 Mei 2016. Adapun bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit yang diwajibkan melapor antara lain:
- Pan Indonesia Bank Ltd Tbk
- PT Bank Bukopin, Tbk
- PT Bank Central Asia Tbk
- PT Bank CIMB Niaga Tbk
- PT Bank Danamon Indonesia Tbk
- PT Bank MNC Internasional
- PT Bank ICBC Indonesia
- PT Bank Maybank Indonesia Tbk
- PT Bank Mandiri (Persero) Tbk
- PT Bank Mega Tbk
- PT Bank Negara Indonesia 1946 (Persero) Tbk
- PT Bank Negara Indonesia Syariah
- PT Bank OCBC NISP Tbk
- PT Bank Permata Tbk
- PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk
- PT Bank Sinarmas
- PT Bank UOB Indonesia
- Standard Chartered Bank
- The Hongkong & Shanghai Banking Corp.
- PT Bank QNB Indonesia
- Citibank N.A
- PT AEON Credit Services
- PT Bank ANZ Indonesia
Pasalnya saat ini mengakses data sektor perbankan masih sulit dilakukan mengingat saat ini sektor tersebut dilindungi oleh Undang-undang Perbankan yang menjamin kerahasiaan data para nasabah. Padahal, menurut Bambang sektor tersebut merupakan yang paling potensial dijadikan objek pajak.
"Perbankan tidak harus rekeningnya. Pemakaian kartu kredit, misalkan. Itu kan sesuatu yang bisa kita akses sebenarnya," jelasnya. Kekhawatiran yang menyelimuti nasabah kartu kredit bank tampaknya tidak berlaku bagi pemegang kartu kredit milik PT Bank Mandiri Tbk. Kebijakan Kementerian Keuangan yang memperbolehkan Direktorat Jenderal Pajak mengintip data-data dalam setiap transaksi kartu kredit nasabah, disebut manajemen Bank Mandiri tidak membuat resah nasabahnya.
Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo mengakui belum menerima keberatan yang diajukan secara langsung oleh nasabah bank tempatnya bekerja. Ia juga enggan menanggapi lebih jauh mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan pada 22 Maret lalu.
"So far belum ada respon. Customer masih oke-oke saja," ujar pria yang akrab disapa Tiko, kemarin. Namun guna menanggapi kemungkinan keberatan bank atas kewajiban tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, semestinya ada diskusi lebih lanjut antara Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas keuangan dengan perbankan. Diskusi tersebut diharapkan mampu menghasilkan solusi yang tepat guna menyeimbangkan kebijakan fiskal dengan kondisi perbankan.
“Sebenarnya bisa bicara dengan BI saja. Surat edaran BI kan ada, jadi pasti adalah jalan keluarnya,” kata Darmin di kantornya, tadi malam. Sebelumnya Menteri Keuangan telah mengeluarkan aturan Nomor 39/PMK.03/2016 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Aturan tersebut mewajibkan 23 bank penerbit kartu kredit untuk melaporkan setiap data pribadi pemilik kartu kredit hingga detil transaksinya kepada Direktorat Jenderal Pajak sebelum 31 Mei tahun ini.
Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) menilai pembukaan data transaksi kartu kredit kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak bisa dilakukan kepada nasabah secara umum, tetapi hanya untuk yang bermasalah. Ketua Perbanas Sigit Pramono menjelaskan, bank tidak bisa dipaksa memberikan data transaksi kartu kredit nasabah karena terikat pada aturan kerahasian bank dalam Undang-undang Perbankan. Apabila bank sembarangan memberikan data itu, bank bisa dituntut karena melanggar undang-undang.
“Sebetulnya segala informasi mengenai dana di perbankan itu menyangkut kerahasian bank,” ujarnya. Sigit mengaku belum membicarakan lebih lanjut soal kewajiban bank penerbit (issuer) kartu kredit untuk melaporkan setiap data dan transaksi kartu kredit kepada DJP dengan seluruh anggota Perbanas. Namun, menurut Sigit, pembukaan data transaksi kartu kredit oleh petugas pajak tidak bisa diberlakukan pada nasabah secara umum. Pembukaan data transaksi hanya diperuntukkan bagi nasabah yang memang diduga kuat telah melakukan pengemplangan pajak.
“Intinya selama tidak melanggar kerahasian perbankan kami tidak ada persoalan,” ujarnya. Di sisi lain, Sigit menyatakan akan kooperatif dengan DJP terkait data transaksi kartu kredit nasabah selama petugas pajak terkait mengantongi surat rekomendasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Bank Indonesia (BI). “Kalau ada permintaan (membuka data) kita akan kooperatif selama dilakukan dengan prosedur yang benar dalam hal ini ada surat dari otoritas,” tuturnya.
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan 23 bank penerbit kartu kredit untuk melaporkan setiap data dan transaksi kartu kredit kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Kewajiban tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2016 tentang rincian jenis data dan informasi serta tata cara penyampaian data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Aturan tersebut ditetapkan sejak 22 Maret dan telah berlaku sejak PMK tersebut diundangkan.
Dalam beleid tersebut, bank atau lembaga penerbit kartu kredit diwajibkan melaporkan data transaksi nasabah kartu kredit yang bersumber dari billing statement yang memuat data-data berupa nama bank penerbit kartu kredit, nomor rekening kartu kredit, nomor ID dan nama merchant (pedagang), nama pemilik kartu, alamat pemilik kartu, NIK/Nomor paspor pemilik kartu, NPWP pemilik kartu, bulan tagihan, tanggal transaksi, rincian transaksi, nilai transaksi dalam rupiah serta limit atau batas nilai kredit yang diberikan untuk setiap kartu.
No comments:
Post a Comment