Kapasitas fiskal pemerintah meningkat dengan masuknya uang tebusan amnesti pajak sebesar Rp92 triliun dalam tiga bulan terakhir, yang merupakan periode pertama kebijakan pengampuan pidana pajak. Penerimaan perpajakan pun terdongkrak naik dan sejauh ini berhasil menekan potensi defisit tahun ini, yang dibatasi sebesar Rp296,7 triliun atau 2,35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016.
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, defisit fiskal per 30 September 2016 sebesar Rp224,3 triliun atau 1,79 persen PDB. Realisasi ini lebih baik dibandingkan dengan posisi defisit periode yang sama tahun lalu, yang sebesar Rp258,7 triliun atau 2,24 persen PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di hadapan Komisi XI Depan Perwakilan Rakyat (DPR) mengatakan, keberhasilan program amnesti pajak periode pertama menjadi faktor utama yang meningkatkan kesehatan fiskal. Hal itu tercermin dari realisasi penerimaan perpajakan sembilan bulan terakhir, yang membukukan nilai Rp896,1 triliun atau 58,2 persen dari target total Rp1.539,2 triliun. Secara nominal terjadi peningkatan Rp95 triliun dibandingkan dengan realiassi penerimaan perpajakan Januari-September 2015 yang sebesar Rp800,9 triliun.
"Kalau dibandingkan realiasi tahun lalu yang sebesar 53,8 persen dari target, realisasi penerimaan perpajakan (hingga September 2016) ini agak lebih baik sedikit," tutur Sri Mulyani di Gedung DPR, Rabu (12/10). Khusus yang bersumber dari penerimaan non pajak, secara nominal realisasinya mengalami penurunan sesuai dengan targetnya yang lebih rendah. Tercatat realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) per September 2016 sebesar Rp183,8 triliun, turun dibandingkan dengan perolehan periode yang sama tahun lalu Rp188,3 triliun. Kendati demikian, secara persentase pencapaian target terjadi peningkatan, dari 70 persen menjadi 75 persen.
Akumulasi keduanya membuat realisasi penerimaan negara naik, dari Rp990,3 triliun (56,2 persen) pada akhir September 2015 menjadi Rp1.081,2 triliun (60,5 persen).
Sementara dari sisi penyerapan anggaran belanja negara, eksekusi belanja tak seagresif penerimaan yang masuk. Hingga periode yang sama, tercatat realisasi belanja negara sebesar Rp1.305,5 triliun atau 62,7 persen dari total pagu Rp2.082,9 triliun. Sementara per September tahun lalu, realisasi belanja negara sebesar Rp1.249 triliun atau 62,9 persen dari total alokasi dana Rp1.984,1 triliun. Dengan jatah anggaran yang dinaikan signifikan, persentase pencapaiannya menjadi kurang maksimal meski secara nominal meningkat.
Berdasarkan pos belanja, penyerapan anggaran daerah yang turun menjadi penyebab utama. Sri Mulyani menilai wajar dengan adanya penundaan peyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) ke sejumlah daerah. Realisasi transfer ke daerah dan dana desa tercatat sebesar Rp537,8 triliun hingga bulan ke sembilan atau 69,27 persen dari pagu Rp776,3 triliun. Sementara per September tahun lalu, daerah mampu menyerap jatah anggarannya sebesar Rp664,6 triliun atau 76,9 persen dari target .
"Ini bisa dimengerti karena untuk transfer ke daerah ini termasuk Dana Alokasi Umum ada yang kita tunda untuk empat bulan mulai bulan September, " jelas Sri Mulyani. Untuk belanja pemerintah pusat, realisasinya tercacat sebesar Rp1.305,5 triliun atau 62,7 persen dari pagu anggarannya. Sedikit naik dibandingkan capaian September tahun lalu yang sebesar 92,7 persen, berkat eksekusi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) yang mengalami peningkatan.
K/L hingga September lalu telah menghabiskan anggaran sebesar Rp428,6 triliun atau 55,8 persen dari pagu Rp767, 8 triliun. Capaian ini lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu, Rp384,7 triliun atau 48,4 persen dari target. Sri Mulyani mengklaim, hal itu berkat keberhasilan pemerintah mempercepat absorbsi anggaran belanja K/L. Sebaliknya pada pos belanja non K/L, penyerapan anggarannya turun dari Rp353 triliun (67,4 persen) menjadi Rp339,1 triliun (62,9 persen).
Bendahara negara berjanji tidak akan melakukan pemangkasan anggaran kementerian/lembaga (k/l) atau menunda pencairan Dana Alokasi Umum (DAU) pemerintah daerah, dengan catatan program pengampunan pajak sampai akhir Maret 2017 sukses mendatangkan ratusan triliun dana segar bagi negara. Sampai pukul 09.33 WIB, Selasa (11/10) pagi ini, jumlah uang tebusan yang diterima pemerintah tercatat sebesar Rp93,4 triliun. Angka ini menutupi 56,6 persen target uang tebusan yang dipatok pemerintah yaitu Rp165 triliun.
Namun, duit milik wajib pajak (WP) peserta tax amnesty yang ditarik kembali ke dalam negeri tercatat masih jauh dari target Rp1.000 triliun yang diidamkan pemerintah. Dari Rp3.821 triliun jumlah harta yang dideklarasikan WP, yang berstatus duit repatriasi baru sebesar Rp143 triliun, alias 14,3 persen dari target.
Namun, Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto berharap sampai akhir masa berlakunya program amnesti pajak, jumlah uang yang masuk ke kas negara bisa lebih banyak. Hadiyanto mengakui, pemerintah juga memperoleh tambahan pemasukan dari uang tebusan. Dengan demikian, berbagai program pemerintah yang selama ini tertunda karena keterbatasan dana dapat segera direalisasikan.
“Mudah-mudahan dengan Tax Amnesty, penerimaan dapat meningkat, tidak ada lagi pemotongan atau penundaan (anggaran) atau self blocking,” kata Hadiyanto, dikutip dari laman Kementerian Keuangan, Selasa (11/10). Pria yang sejak 2006 memimpin Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan berpendapat, dengan semakin banyak WP yang ikut tax amnesty maka realibilitas database perpajakan pemerintah semakin meningkat.
“Dengan program tax amnesty, banyak yang ikut declare. Banyak yang membantu meningkatkan reliability database, sehingga perencanaan penganggaran kita lebih kredibel,” jelasnya. Ia berharap, dengan modal perolehan dana tax amnesty maka roda perekonomian nasional dapat berputar dengan lebih baik. Sebagai tindak lanjut dari masuknya dana segar tersebut, Hadiyanto meminta aset tersebut dapat dikelola dalam berbagai instrumen investasi yang baik, yang telah disiapkan oleh pemerintah, bank persepsi, dan perusahaan-perusahaan properti sampai infrastruktur.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada awal Agustus 2016 mengungkapkan pemerintah bakal memangkas anggaran belanja negara untuk kedua kalinya pada tahun ini, yang kali ini direncanakan sebesar Rp133,8 triliun. Langkah ini diambil guna meredam pelebaran defisit menyusul tidak tercapainya target penerimaan perpajakan. Ketika itu, ia memperkirakan realisasi penerimaan perpajakan 2016 akan meleset sekitar Rp219 triliun dari target Rp1.539,2 triliun dalam APBNP 2016. Untuk menjaga kredibilitas APBN, ia mengusulkan agar anggaran belanja k/l serta transfer ke daerah dikurangi.
"Langkah yang tadi disampaikan dalam sidang kabinet adalah mengurangi belanja Rp65 triliun milik k/l dan transfer ke daerah Rp68,8 triliun," jelas Sri Mulyani. Tidak hanya menyunat anggaran, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia juga menunda penyaluran DAU tahun ini sebesar Rp19,4 triliun, yang merupakan jatah dari 169 pemerintah daerah. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 125/PMK.07/2016 Tentang Penundaan Penyaluran Sebagian Dana Alokasi umum Tahun Anggaran 2016, yang diteken oleh Sri Mulyani pada 16 Agustus 2016.
Ada tiga hal yang menjadi pertimbangan Kemenkeu dalam menunda penyaluran DAU, yakni perkiraan kapasitas fiskal, kebutuhan belanja dan perkiraan posisi saldo kas di daerah pada akhir tahun. Adapun daerah-daerah yang DAU-nya ditunda penyalurannya adalah yang proyeksi saldo kas akhir tahunnya masuk kategori sangat tinggi, cukup tinggi, dan sedang. Menurut Sri Mulyani, sebagian DAU yang ditunda penyalurannya dapat dicairkan kembali pada sisa tahun ini jika realisasi penerimaan negara mencukupi
No comments:
Post a Comment