Wednesday, October 12, 2016

Industri Properti Indonesia Masih Lesu

Tingkat permintaan ruang perkantoran dinilai masih rendah hingga tahun 2020. Kendati demikian, beberapa perusahaan properti tak bergeming dan tetap melanjutkan proyek perkantoran.
Sebelumnya, lembaga konsultan properti Jones Lang LaSalle (JLL) mencatat, permintaan ruang perkantoran hingga kuartal III 2016 melemah, dan akan membaik pasca 2020. Lembaga tersebut mencatat tingkat okupansi kuartal III menurun menjadi 84 persen jika dibandingkan dengan tingkat okupansi sepanjang tahun 2015 sebesar 90 persen.

Direktur Keuangan PT Greenwood Sejahtera Tbk, Bambang Dwi Yanto mengatakan, saat ini perusahaan tengah fokus membangun dua proyek yang sudah dimulai sejak awal tahun, yakni tower II TCC Batavia dan proyek mixed-used Capital Square di Surabaya.  Kedua proyek ini, lanjut Bambang, sudah masuk dalam proses perizinan konstruksi dan tender. Sehingga, pihaknya menargetkan pembangunan keduanya dapat selesai dan mulai beroperasi pada tahun 2019.

"Untuk tahap pertama kayak pondasinya sudah, kami sekarang ke tahap berikutnya pengurusan perizinan untuk konstruksi dan nanti tinggal menyerahkan ke tender konstruksinya," ujar Bambang  Gedung kantor tower II TCC Batavia ini akan dibangun dengan jumlah 52 lantai. Sementara, proyek mixed-used di Surabaya akan terdiri dari apartemen dengan 28 lantai, loft 28 lantai, dan perkantoran 30 lantai. Kemudian, nantinya proyek mixed-used ini juga akan dilengkapi dengan tempat perbelanjaan atau ritel dua lantai.

"Nah di bawahnya nanti ada ritel, untuk men-support agar orang yang tinggal di sana dapat berkegiatan lain misalnya ada hiburan dan lain-lain," terangnya. Kedua proyek ini menelan investasi kurang lebih Rp2,8 triliun, di mana masing-masing proyek senilai Rp1,4 triliun. Nantinya, semua jenis properti yang dibangun dalam mixed-used tersebut akan dijual 100 persen. Hingga saat ini, total pra penjualan (marketing sales) telah mencapai Rp160 miliar, kecuali gedung perkantoran.

"Kami tahan penjualan perkantoran karena kan sama-sama tahu hingga tiga tahun belakangan ekonomi melambat, jadi karena barangnya juga belum jadi ya kami belum jual dulu," kata Bambang. Kendati demikian, perusahaan tak akan menahan pembangunan gedung perkantoran yang sudah menjadi rencana sejak awal. Hal ini karena meski permintaan masih turun terhadap gedung perkantoran, tetapi gedung tower I TCC Batavia diakui perusahaan laris.

"Secara umum memang perkantoran sedang turun permintaannya tapi untuk area tertentu, area di sini masih diminati, tower I penuh," imbuhnya. Dengan kata lain, perusahaan masih optimis dengan perlambatan ekonomi yang tengah terjadi. Bambang menyatakan, perusahaan mengakali permintaan yang murah ini dengan memberikan service charge yang murah terhadap tenant, yakni hanya Rp20 ribu.

"Jadi kami investasi mahal tapi bagus, dan operation cost murah," jelasnya. Adapun, perusahaan akan menyewakan sebanyak 60 persen unit di gedung tower II TCC Batavia untuk menambah pendapatan berulang (recurring income) terhadap perusahaan. Sementara, 40 persen unitnya akan dijual. Hal ini karena perusahaan tengah menggalakkan pendapatan berulang agar pendapatan perusahaan dapat bertambah ketika tidak ada proyek existing yang dapat dijual.

Sementara, perusahaan lainnya yang juga memiliki proyek perkantoran yakni PT Intiland Development Tbk. Menurut sekertaris perusahaan, Theresia Rustandi, Intiland Tower di Jakarta masih dapat mempertahankan tingkat okupansinya pada angka di atas 50 persen. Theresia merinci, tingkat okupansi di Intiland Tower Jakarta masih bertahan, yakni 95 persen, sedangkan Intiland Tower di Surabaya sebesar 85 persen. Sementara, South Quarter di TB Simatupang 85 persen dan Spazio di Surabay sebesar 54 persen.

Meski begitu, Theresia tak menampik jika kebutuhan atau permintaan terhadap perkantoran memang masih stagnan. Namun, ia optimistis kondisi akan membaik seiring dengan pertumbuhan perekonomian nasional dan kebijakan amnesti pajak. "Kontraksi yang terjadi pada tingkat hunian maupun pasar sewa perkantoran hanya bersifat sementara dan kami yakin akan berangsur-angsur membaik," katanya.

Untuk harga sewanya sendiri, perusahaan akan terus menyesuaikan dengan kondisi pasar agar tak kehilangan tenant yang ada. Saat ini harga sewa yang ditetapkan perusahaan yakni Rp233.000 per meter persegi untuk Intiland Tower Jakarta, sedangkan Intiland Tower Surabaya sebesar Rp176.000 per meter persegi, South Quarter Rp280.000 per meter persegi, dan Spazio Rp136.000 per meter persegi.

"Kami selalu menganalisa dan memperhatikan kondisi pasar dalam menentukan harga sewa. Sejauh ini, perusahaan belum menurunkan harga sewa," terangnya. Asal tahu saja, Intiland juga tengah mengembangkan proyek mixed-used yang juga menyediakan gedung perkantoran di Surabaya, yakni Praxis yang berlokasi di kawasan pusat bisnis Surabaya dan Spazio Tower yang menjadi pembangunan terbaru dari Spazio.

Nantinya, Praxis akan menyediakan 185 unit kantor dengan luas 21.568 meter persegi dan Spazio akan memiliki 232 unit ruang kantor dengan luas 24.111 meter persegi.  "Praxis ditargetkan beroperasi pada tahun depan, sedangkan Spazio ditargetkan selesai kuartal III tahun depan," pungkas Theresia. Pencapaian pendapatan pra penjualan (marketing sales) beberapa perusahaan properti per akhir September ini secara rerata hanya mampu memenuhi 48 persen dari target sepanjang tahun 2016.

Menurut analis Mandiri Sekuritas Liliana S Bambang, hanya ada lima perusahaan properti yang diprediksi mampu melebihi setengah dari target marketing sales tahun ini. Perusahaan yang paling mendekati target yakni PT Jaya Real Property Tbk (JRPT) yang telah memenuhi Rp1,68 triliun atau 70 persen dari target marketing sales Rp2,42 triliun.

Proyek teranyar dari Jaya Real Property adalah pembangunan rumah susun milik (rusunami) yang diperuntukkan bagi masyarakat berpengahasilan rendah (MBR) di Tangerang Selatan. Di mana dalam tahap pertama, perusahaan akan membangun gedung pertama dengan jumlah 600 unit.

Emiten selanjutnya yakni PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) yang berhasil mengantongimarketing sales sebesar Rp2,26 triliun atau 65 persen dari target Rp3,5 triliun. Summarecon saat ini tengah mengembangkan empat proyek kota mandiri, yaitu Summarecon Serpong, Summarecon Bekasi, Summarecon Bandung, dan Summarecon Karawang.

Selain itu, Summarecon juga mengembangkan proyek di Jimbaran, Bali Selatan yang memiliki konsep lifestyle village. Asal tahu saja, ini pertama kalinya perusahaan mengembangkan proyek di luar Pulau Jawa. Nantinya, proyek yang dinamakan Samasta Lifestyle ini akan dibangun diatas lahan seluas 3,3 hektare (ha).

Untuk marketing sales PT Ciputra Surya Tbk (CTRS) mencapai 1,93 triliun atau 63 persen dari target Rp3 triliun. Salah satu proyek Ciputra Surya yakni small office home officekedua di Ciputra World Surabaya. Di mana dalam proyek tersebut terdiri dari 320 unit dan ditargetkan serah terima dapat dilakukan pada 2020 mendatang.

Sementara, PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) meraih 56 persen atau Rp1,72 triliun dari target Rp6,86 triliun. Saat ini Pakuwon Jati tengah membangun gedung perkantoran di Kota Kasablanka untuk dijual seluas 49.000 meter persegi dan untuk disewa seluas 33.000 meter persegi.

Kemudian, PT Bumi Serpong Damai (BSDE) Tbk mendapatkan marketing sales sebesar Rp3,92 triliun atau memenuhi 57 persen dari target Rp6,86 triliun hingga kuartal III ini. Rencananya, Bumi Serpong akan merilis dua apartemen mewah di Jakarta Selatan dan Jakarta Barat akhir tahun ini demi memanfaatkan momentum program amnesti pajak. Selain itu, perusahaan juga akan terus mengembangkan kompleks perumahan di BSD City hingga selesai.

Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang menuturkan, ada beberapa hal yang membuat properti masih melambat hingga kuartal III 2016 ini. Salah satunya yakni, belum kembalinya investor properti untuk belanja properti lagi. Hal ini karena ada dua jenis pembeli dalam properti, yakni orang yang ingin menggunakan properti tersebut dan orang yang hanya ingin berinvestasi.

"Nah yang belum kembali yang untuk investasi. Walaupun sudah banyak stimulus yang diberikan, tampaknya mereka memang masih menahan dulu karena pertumbuhan ekonomi belum dirasa tinggi, mereka takut," ungkap Edwin. Beberapa stimulus seperti kebijakan Loan to Value (LTV) dan penurunan tingkat suku bunga yang diperkirakan dapat mendongkrak penjualan properti nyatanya belum sepenuhnya berhasil. Hal ini, lanjut Edwin, dikarenakan masih banyak perbankan yang belum menurunkan suku bunganya.

"Untuk tingkat bunga, terutama KPR masih banyak bank yang belum menurunkan apalagi prosesnya berbelit-belit dalam mendapatkan kredit tersebut," paparnya. Untuk menyikapi hal itu, akhirnya beberapa perusahaan properti memutuskan untuk melakukan pembiayaan sendiri dengan memberikan fasilitas pembiayaan terhadap konsumennya demi mendorong penjualan dan memenuhi targetmarketing sales.

Sayangnya, Edwin enggan menyebutkan beberapa perusahaan tersebut. Yang pasti, lanjutnya, mereka yang melakukan hal tersebut merupakan perusahaan yang dalam kondisi stabil dan kuat. "Enggak semua yang diberikan bank itu menolong konsumen. Jadi perusahaan memberikan pembiayaan bagi yang kesulitan. Jadi perusahaan itu jual tapi juga menyiapkan pembiayaan seperti pinjaman terhadap konsumennya. Perusahaan itu yang modalnya kuat dan sistemnya sudah bagus," jelasnya.

Edwin berpandangan, sebagian perusahaan properti akan sulit mencapai target marketing sales sehingga ia meramalkan perusahaan properti akan menurunkan target mereka secara lebih realistis dengan melihat kondisi saat ini.  Seperti diketahui, Summarecon telah menurunkan target marketing sales-nya dari Rp4,5 triliun menjadi Rp3,5 triliun.

Kendati secara keseluruhan properti lesu, tetapi jenis properti dengan segmen kelas menengah ke bawah masih dapat dikatakan memiliki pasar saat ini. Sebagian besar pasar melirik properti dengan harga dibawah Rp1 miliar. Edwin memprediksi properti masih terus lesu hingga kuartal pertama tahun depan. Sementara, kebangkitan dimulai pada kuartal II 2017 seiring dengan mengalirnya dana repatriasi amnesti pajak.

"Menurut saya, dana repatriasi amnesti pajak tidak sebesar yang ditargetkan pemerintah, jadi dampaknya ke properti mungkin tidak signifikan. Ya menurut saya kuartal II tahun depan baru akan bangkit," pungkas Edwin.

No comments:

Post a Comment