Monday, October 4, 2010

Karena Pemerintah Tidak Bisa Mengatasi Kini Konsumen Diharapkan Tidak Membeli Kayu Illega

Konsumen di seluruh dunia harus berhenti membeli kayu tropis yang tidak jelas asalnya untuk mendukung pemberantasan pembalakan liar. Program pemberantasan pembalakan liar bakal sia-sia selama pasar masih menyerap kayu tropis ilegal.

Demikian disampaikan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Jakarta, Senin (4/10).

”Kami mewajibkan pengelolaan hutan dan industri perkayuan menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk memastikan legalitas produk. Kami juga meminta negara lain memiliki komitmen yang sama untuk memberantas pembalakan liar dengan tidak menampung kayu yang tidak jelas asal-usulnya dan jangan cuma bisa mengkritik Indonesia,” ujar Zulkifli.

Ketika melakukan kunjungan kerja ke China bulan lalu, ujar Menhut, pihaknya menemukan masih ada perusahaan yang mengimpor kayu merbau bulat dari Malaysia dan Singapura.

Temuan ini sungguh mengejutkan karena Malaysia dan Singapura tidak memproduksi kayu merbau.

”(Kayu) merbau hanya ada di Papua. Bagaimana bisa kedua negara itu mengekspor kayu merbau gelondongan?” keluh Menhut.

Sejak 1 September 2010, SVLK efektif berlaku sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/2009 dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor P.6/2009.

Semua pemangku kepentingan kehutanan, terutama pengusaha pengolahan kayu, wajib menerapkan SVLK untuk menjamin legalitas produk yang lestari. Industri yang mendapat sertifikat SVLK dari Menhut adalah PD Sinar Agung (Tangerang), PT Karya Guna Ekatama (Pasuruan), dan PT Tanjung Timberindo Industry (Deli Serdang).

Ketua Badan Revitalisasi Industri Kehutanan Soewarni mengatakan, akuntabilitas dan transparansi SVLK bisa meningkatkan kepercayaan konsumen.

Pada tahun 2010, ekspor kayu pertukangan dan kayu lapis bisa mencapai 2 miliar dollar AS. ”SVLK dapat membuktikan tuduhan organisasi asing bahwa industri kayu nasional sebagian besar menggunakan bahan baku kayu ilegal tidak benar,” ujarnya.

Cagar karbon

Di tempat terpisah, produsen pulp terbesar Indonesia, Asia Pulp and Paper (APP), meluncurkan cagar karbon Kampar seluas 15.640 hektar di Kabupaten Pelalawan, Riau.

Areal itu adalah konsesi hutan tanaman industri PT Putra Riau Perkasa (PRP), yang berafiliasi ke APP, di Semenanjung Kampar.

Acara ini dihadiri antara lain Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim Rachmat Witoelar, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar, dan Gubernur Riau Rusli Zaenal.

Rachmat berharap cagar karbon Kampar bisa menjawab organisasi nonpemerintah, seperti WWF, Greenomics Indonesia, dan Greenpeace, yang kritis mendesak perlindungan hutan.

Direktur Kelestarian APP Aida Greenbury menegaskan, APP menciptakan program investasi komunitas yang diarahkan pada akar masalah lingkungan.

Chief Executive Officer Carbon Conservation, pelaksana cagar karbon Kampar, Dorjee Sun mengatakan, ini proyek pertama yang dilaksanakan swasta.

Namun, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mempertanyakan proyek ini. Menurut dia, secara legal izin hutan tanaman industri adalah pembangunan hutan tanaman.

”Jika pemegang izin tak membangun HTI, dia harus mengembalikan lahan kepada pemerintah,” ujar Elfian.

No comments:

Post a Comment