Thursday, October 28, 2010

Menggantungkan Hidup Pada Tanaman Jeruk Karo

Jeruk karo dan krisis finansial global. Dua hal yang sepertinya tidak berhubungan, tapi bagi Eta Ginting dan Pingkan Sembiring kedua hal itu sangat berhubungan. Suami-istri yang terkena pemutusan hubungan kerja saat krisis finansial global tahun 2008 itu terselamatkan oleh jeruk.

”Kami terkena pemutusan hubungan kerja tahun 1998. Perusahaan tempat kami bekerja di Cikarang, Kabupaten Bekasi, tutup karena krisis global itu,” kata Pingkan Sembiring mengawali kisahnya.

Setelah itu mereka berpikir untuk mencari cara agar bisa bertahan hidup bersama Firdaus, satu-satunya anak mereka. Bertahan terus di Cikarang sama dengan berspekulasi soal hidup mereka.

Mereka kemudian memutuskan kembali ke kampung halaman di Desa Kinepan, Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Mereka memilih untuk merawat tanaman jeruk yang dibeli dari hasil tabungan Pingkan.

”Sejak dua tahun lalu saya dan suami merawat 120 batang pohon jeruk. Saya telah memutuskan untuk hidup di sini dari pohon jeruk ini,” katanya. Selain menanam jeruk, mereka juga menjual jeruk di jalan raya yang menghubungkan Kabanjahe (Kabupaten Karo) dengan Kutacane (Kabupaten Aceh Tenggara).

Mereka pasrah akan masa depan mereka di tengah harga jeruk yang tidak stabil. Kadang bisa mencapai Rp 6.000 per kilogram, tapi kadang jatuh hingga Rp 1.000 per kilogram. Orang bisa membayangkan apa yang terjadi dengan mereka ketika kita mengetahui ongkos produksi jeruk sebesar Rp 2.000 per kilogram.

Kisah yang mirip dialami Jhon Ginting, warga Desa Begading, Kecamatan Simpang Empat. Ia yang lulus sekolah menegah atas tahun ini tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi karena ia tidak diterima pada seleksi tiga bulan lalu.

“Saya memilih menjadi petani jeruk untuk sementara. Selain dapat uang, saya juga bisa berlatih menjadi petani karena tahun depan saya ingin kuliah di jurusan pertanian,” kata Jhon yang berpenampilan anak baru gede itu.

Ia mengelola sekitar 200 pohon jeruk. Ia telah terampil merawat tanaman jeruk dari mulai menyemprot pestisida hingga memberi pupuk. Beberapa waktu lalu ia menjual jeruk hingga mendapat uang hingga lebih dari Rp 10 juta.

Sudah pasti banyak kisah lain di kalangan warga Karo yang bergantung hidup pada jeruk. Akan tetapi, sepertinya mereka bertanya-tanya soal keberlangsungan usaha pertanian jeruk yang semakin senja.

Jeruk impor yang masuk juga menjadikan nasib usaha tani jeruk tidak menentu. Mereka yang bergantung pada jeruk bisa makin tak menentu hidupnya. Untuk itulah sejumlah cara dicari dan diterapkan agar usaha tani jeruk ini terus berlangsung. Banyak persoalan di seputar usaha tani jeruk yang perlu diselesaikan.

Usaha tani

Untuk menanggulangi masalah di seputar usaha tani jeruk, petani perlu menerapkan budidaya jeruk model baru yang lebih ramah lingkungan. Pemerintah juga perlu memangkas rantai pemasaran jeruk untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Ketua Koperasi Serba Usaha Masyarakat Jeruk Indonesia Usaha Barus mengatakan jeruk jenis keprok baru sekitar 400 batang yang ditanam di Karo. Sejauh ini masih diteliti harga dan kecocokannya pada lahan di Karo. Selama ini petani menanam jeruk siam madu.

Usaha mengatakan pihaknya justru telah menemukan budidaya jeruk baru menggunakan metode semi organik. Budidaya dilakukan dengan meminimalkan penggunaan pupuk kimia hingga 50 persen dan menggunakan pupuk biologi sebanyak 50 persen.

Budidaya juga menggunakan irigasi tetes yang lebih murah. Irigasi ini telah diterapkan di banyak negara. Menurut Usaha, biaya produksi bisa ditekan hingga 50 persen meskipun biaya tenaga perawatan meningkat.

Jika dengan cara konvensional biaya produksi minimal Rp 2.000 per kilogram jeruk, dengan cara perawatan baru itu Usaha menjamin biaya produksi antara Rp 1.000 hingga Rp 1.250 per kilogram jeruk. Hasil produksi juga meningkat 25 hingga 30 persen per hektar. Namun, hasilnya baru bisa dilihat pada tahun kedua. Pada tahun pertama tanah perlu diremajakan sehingga biaya produksi mencapai Rp 2.500 per kilogram. ”Sampai sekarang sudah ada sekitar 1.000 hektar lahan jeruk yang menggunakan teknologi budidaya itu atau sekitar 10 persen petani di Karo,” tutur Usaha. Hingga akhir tahun 2010 diharapkan ada 2.000 hektar yang sudah menggunakan budidaya baru itu.

Usaha mengatakan dalam waktu dekat juga akan didirikan asosiasi pemasaran buah dan sayur-mayur untuk memutus rantai perdagangan buah dan sayur yang sangat panjang. Rantai yang panjang menjadikan harga di tingkat petani dan konsumen sangat timpang.

Ia memberi contoh ketika harga jeruk di tingkat petani hanya Rp 3.000 per kilogram, di tingkat konsumen di Medan dan Jakarta harga berlipat tiga hingga lima kali, antara Rp 10.000 hingga Rp 15.000 per kilogram.

Melihat situasi sekarang, saatnya warga Karo cerdik memikirkan cara dan strategi agar jeruk karo tetap bertahan. Banyak jalan bisa digunakan agar batang jeruk tetap bisa menjadi gantungan hidup warga Karo

No comments:

Post a Comment