Jauh sebelum kewalahan menghadapi pembengkakan subsidi bahan bakar minyak, pakar ekonomi Prof Dr Jusuf Panglaykim atau Jusuf Elka Pangestu menyatakan, era ekspor minyak akan berakhir dan Indonesia harus meningkatkan ekspor komoditas nonmigas. Indonesia yang kaya sumber daya alam juga harus menjadi negeri niaga yang dibutuhkan semua negara karena memiliki keunggulan-keunggulan komparatif.
Demikian benang merah bedah buku Prinsip-prinsip Kemajuan Ekonomi karya Jusuf Panglaykim (1922-1986) yang dibahas oleh Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Firmanzah dan ekonom Universitas Airlangga, Surabaya, Tjuk Kasturi Sukiadi, dengan moderator ekonom Prasetiya Mulya Business School, Djisman Simanjuntak, di Jakarta, Selasa (2/8/2011). Peluncuran buku dihadiri Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, ekonom senior, dan para pengusaha.
Menperdag, anak Panglaykim, mengungkapkan, buku ini berisi karangan almarhum yang pernah dimuat di sejumlah media massa. Mari memaparkan dua alasan penerbitan buku, yakni Panglaykim memiliki cakrawala pemikiran yang luas hasil pengamatannya sebagai akademisi dan praktisi usaha serta pesan-pesan yang ditulis lebih dari seperempat abad lalu masih relevan dengan kondisi saat ini. ”Salah satu tulisan, misalnya, beliau membahas tentang cara meningkatkan industrialisasi melalui rekayasa keunggulan komparatif,” ujarnya.
Menurut Djisman, Panglaykim memimpikan Indonesia menjadi negeri niaga yang mampu menghasilkan banyak produk, termasuk karya manusia, yang dibutuhkan negara lain. ”Bukan negeri saudagar semata,” ujarnya.
Kepakaran akademis yang diperkuat pengalaman lapangan sebagai pengusaha membuat Panglaykim mampu membangun jembatan pemikiran antara makro dan mikro. Hal ini yang membuat peraih gelar doktor ekonomi UI tahun 1963 tersebut merancang konsep Indonesia Incorporated pada tahun 1980-an demi memajukan perekonomian nasional.
”Masalah inefisiensi birokrat ternyata sudah menjadi masalah sejak lama. Panglaykim menekankan pentingnya peralihan otoriteratif birokrat menjadi kreatif birokrat,” ujarnya.
Kekayaan alam Indonesia semestinya tidak melenakan semua pihak. Menurut salah seorang murid Panglaykim, Tjuk Kasturi, Panglaykim sangat mengagumi Jepang dan Korea Selatan yang mampu membangun perekonomian berbasis keunggulan sumber daya manusia.
”Oleh karena itu, dia selalu menginginkan agar proses pengolahan sumber daya alam dengan teknologi industri untuk penciptaan nilai tambah terjadi di Indonesia, bukan di luar negeri,” ujarnya.
Tjuk Kasturi menceritakan, dalam sebuah seminar di Surabaya, seorang pembicara asal Korea Selatan mengimbau Indonesia cukup mengekspor kayu bulat dan proses pengolahannya dikerjakan di Korea Selatan.
Saat itu, Panglaykim langsung naik pitam dan meminta agar pembicara tersebut tidak membodohi rakyat Indonesia seraya menyatakan, harus ada alih teknologi untuk penciptaan nilai tambah produk kayu asal Indonesia
No comments:
Post a Comment