Saturday, July 30, 2011

Strategi Untuk Membuat Toko Buku Tidak Bangkrut dan Tetap Ramai Dikunjungi Pelanggan

KABAR buruk itu akhirnya datang juga ke kantor pusat Borders di Phoenix Drive, Ann Arbor, Negara Bagian Michigan. Setelah lima bulan berusaha mati-matian menyelamatkan usaha, Mike Edwards, Presiden Borders Group, mengerek bendera putih.

Pada umurnya yang 40 tahun, salah satu jaringan toko buku terbesar di Amerika Serikat itu bangkrut. Semua toko yang tersisa, 399 gerai, akan ditutup dan dijual. “Selama bertahun-tahun, Borders selalu menjadi tujuan mereka yang mencari ilmu pengetahuan, hiburan, dan pencerahan,” Edwards menulis dalam memo terakhirnya kepada karyawan Borders, Senin pekan lalu. “Dan kita sudah bertarung dengan berani, tapi kita tetap gagal mengatasi tekanan dari luar.”

Pada masa jayanya, Borders menjual buku lebih dari US$ 3 miliar atau Rp 25 triliun per tahun, memiliki 567 toko buku besar di Amerika Serikat serta beberapa negara, seperti Singapura dan Australia. Namun, kata Edwards, angin perubahan di industri buku dan krisis ekonomi di negeri itu menjungkirbalikkan bisnis Borders.

Internet dan toko online lah yang telah “membunuh” Borders. Sejak 2006, menurut data Asosiasi Penerbit Amerika Serikat, penjualan buku digital (e-book) lewat Internet terus berlipat. Pada Februari lalu, total penjualan buku digital di negeri ini menembus US$ 90,3 juta atau sekitar Rp 780 miliar. Pada April tahun lalu, penjualan buku digital baru sebesar US$ 28,3 juta atau Rp 240 miliar. Inilah pertama kalinya penjualan buku digital di Internet melampaui buku kertas.

Rupanya manajemen Borders salah membaca tanda-tanda perubahan itu. Mereka membuat blunder besar kala menyerahkan penjualan buku lewat Internet kepada Amazon.com pada 2001. Setiap pembelian buku lewat laman Borders.com langsung diteruskan ke Amazon. Borders seolah-olah hanya menjadi anak toko bagi Amazon.

“Saya masih ingat hal paling aneh yang kami lakukan waktu itu, yakni bersukaria dengan menenggak sampanye yang dibeli oleh Jeff Bezos,” Manish Vyas, mantan manajer toko Internet Borders, mengenang. Bezos merupakan pemilik dan pendiri Amazon, toko buku online Internet terbesar di dunia.

Bisnis buku Borders terus mengkerut dan merugi, sedangkan Amazon semakin menggelembung. “Seperti kata orang, Internet ibarat komet yang memusnahkan dinosaurus ribuan tahun lalu. Saya khawatir Borders (dan toko buku lain) adalah dinosaurus itu,” kata David Dykhouse, mantan manajer di toko Borders, kepadaBloomberg.

DI Indonesia memang belum ada toko buku yang tutup buku gara-gara Internet. Buku digital masih sangat jauh untuk menggantikan buku cetak. “Perkakas pembaca (e-book reader) harganya masih mahal dan kurang nyaman,” kata Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia Lucya Andam Dewi pekan lalu. Perkakas iRiver Cover Story EB05, misalnya, masih dibanderol Rp 2,2 juta.

Sekarang paling tidak baru ada toko Papataka.com dan Gramedia.com yang menjual format buku digital. “Lapak” online Papataka mulai digelar dua tahun lalu oleh tiga sekawan, An Sonny Kaliman, Anson Lesmana, dan Roy Kurniawan. Masih sedikit sekali buku digital dari penerbit ataupun penulis lokal. BukuTablet, toko buku digital milik perusahaan teknologi informasi asal Yogyakarta, Informotics Digital Persada, baru akan diluncurkan pertengahan Agustus nanti. Informotics bekerja sama dengan 40 penerbit di Kota Gudeg dan Solo.

Jaringan toko buku terbesar di negeri ini, Gramedia, pun baru awal Juli lalu mulai menggarap pasar buku digital. Mereka meluncurkan aplikasi Gramedia for iPad dan aplikasi pembaca buku digital untuk tablet Samsung Galaxy Tab. Aplikasi untuk sistem operasi Android segera menyusul. Walaupun tak banyak gembar-gembor, aplikasi untuk Apple iPad dan Samsung Galaxy itu sudah diunduh lebih dari 1.500 kali.


“Sebenarnya persiapannya sejak tiga tahun lalu,” kata Rio Eka Putra, Manajer Riset dan Teknologi Informasi di Kelompok Penerbit Gramedia. Sudah ada 250 judul buku digital dari perusahaan penerbit Kelompok Gramedia yang bisa diunduh di toko Gramedia.com. “Sudah kami siapkan 1.000 judul. Tinggal diunggah saja.”

Yang makan banyak waktu, menurut Rio, adalah meyakinkan penulis buku dan penerbit lain supaya bersedia menjual buku dalam format buku digital. “Hantu” bagi penulis dan penerbit itu bernama pembajakan. “Kami masih belum yakin akan keamanan aplikasi buku digital,” kata Husni Syawie, Sekretaris Umum Ikatan Penerbit Indonesia. Walaupun sudah dipasang aplikasi antipembajakan atau Digital Rights Management, menurut Direktur Serambi Ilmu Semesta ini, dokumen buku masih mungkin dijebol dan dibajak.

Pembajakan memang bukan hanya musuh bagi perusahaan film, musik, atau peranti lunak, tapi juga para juragan buku. Walaupun sebenarnya tak peduli cetak atau versi digital, buku tetap bisa dibajak. “Makanya, daripada capek, saya tak terlalu pusing dengan aplikasi antipembajakan. Semakin dilarang, mereka semakin melawan,” ujar bos Informotics, Ardiansyah.

Kunci melawan pembajak ini barangkali bukanlah rupa-rupa aplikasi, melainkan soal harga. Tanpa ongkos cetak, harga buku digital bisa dipangkas. Jika harga buku digital sudah murah, para pembajak bakal susah mengail untung dari menjual buku aspal alias asli tapi palsu ini.

Walaupun sebagian penerbit masih berhitung cermat dengan risiko pembajakan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, tren buku digital sepertinya tak bisa ditahan lagi. “Kami pasti akan masuk ke sana,” kata Lucya Andam Dewi, Direktur Utama Penerbit Bumi Aksara. Siapa tahu, kata Husni, buku digital, yang lebih gampang ditenteng-tenteng ke mana pun, bisa menggugah selera baca. Walhasil, ujung-ujungnya malah jadi berkah baru bagi penerbit.


Karena jumlah transaksinya masih kelewat kecil, buku digital bukan ancaman bagi toko buku online besar, seperti Gramedia. Namun sepuluh atau lima belas tahun lagi, kios Internet seperti Papataka bisa menjadi “pembunuh” toko buku. Ketika Amazon didirikan Jeff Bezos pada 1994, siapa yang menyangka dia bisa membuat Borders tumbang. Makanya, meskipun tak menyumbang keuntungan, Gramedia sudah bersiap. “Siapa tahu model bisnis buku di Indonesia berubah,” kata Rio. Tentu Gramedia tak ingin mengulang sejarah Borders

No comments:

Post a Comment