Indonesia dinilai memiliki peluang besar menjadi pasar untuk industri farmasi meski industri dalam negeri masih sangat tergantung pada bahan baku impor. “Indonesia masih mengimpor lebih dari 95 persen bahan baku dari India, Cina, dan Eropa,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, Kendrariadi Suhanda, Kamis, 12 April 2012.
Kesulitan bahan baku ini, kata dia, karena belum adanya dukungan dari pemerintah. Salah satu negara yang industri farmasinya maju adalah Cina.
Cina menjadi kuat karena mendapat dukungan penuh dari pemerintah setempat. Salah satu bentuk dukungan itu adalah pemberian subsidi dalam bentuk pajak. “Jika sudah kompetitif, pelan-pelan subsidi itu dicabut oleh pemerintah,” ucap Ketua Umum Pharma Materials Management Club ini.
Kendrariadi menyatakan pada 2010 total nilai industri farmasi di Indonesia mencapai US$ 3,7 miliar. Tahun ini angka itu diperkirakan meningkat menjadi US$ 4,7 miliar.
Rata-rata industri farmasi tumbuh 13,4 persen per tahun. Kalangan pengusaha memperkirakan pada tahun 2014 angka tersebut naik menjadi US$ 6,1 miliar. “Dari total nilai itu 25 persen untuk keperluan bahan baku,” ucapnya.
Untuk menemukan dan membentuk molekul butuh biaya besar. Biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan satu molekul bahan baku diperkirakan mencapai US$ 1 miliar.
Ketua Bendahara GP Farmasi DKI Jakarta, Teddy Iman Soewahjo, menuturkan keinginan kuat pemerintah diperlukan karena tingginya biaya ini. “Salah satunya untuk keperluan riset,” kata Teddy.
Menurut dia, jika tetap dipaksakan dibuat di dalam negeri dengan biaya seperti itu harga keluaran produk farmasi itu tidak memiliki daya saing dengan produk impor seperti Cina dan India. Di kedua negara itu material dasar untuk pembuatan bahan baku industri farmasi sudah tersedia. “Mereka sudah punya bahan dasar kimia,” ucapnya.
No comments:
Post a Comment