Bisnis Sawit yang terus tumbuh dan memberikan keuntungan yang menggiurkan membuat banyak pihak tergiur untuk berinvestasi hingga ratusan miliar rupiah. Tetapi karena ketidaktahuan investor, banyak yang tertipu karena langsung tergiur membeli perkebunan sawit yang telah berbuah.
"Kalau pihak-pihak tidak tahu tentang sawit itu sering terjebak atau tertipu," kata Dirut PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) Ismed Hasan Putro kepada detikFinance, Minggu (8/4/2012).
Menurut Ismed, itu disebabkan karena perusahaan yang menjual perkebunan sawit telah gagal menjamin kualitas dan pohon sawit yang tertanam sehingga berdampak terhadap rendahnya produktivitas pohon sawit yang tidak sesuai target sehingga mereka lantas menjualnya.
"Dampaknya kalau salah dan rusak, 25-30 tahun menderitanya. Beda dengan tebu atau padi. Kalau setiap 3 bulan bisa diganti. Kalau sawit kan nggak bisa," katanya.
Salah satu alternatif untuk mengindari itu, para investor dapat belajar berinvestasi melalui perkebunan plasma sawit. Melalui skema ini risiko rendah dan pengelolaannya dipegang oleh perusahaan yang mengeluarkan program plasma sawit itu.
"Pertama plasma itu mendapatkan subsidi bunga 6%, yang kedua dia tidak perlu repot-repot membuka lahan, yang ketiga dia tidak perlu repot-repot membeli bibit yang tidak tahu kualitasnya karena kualitas bibit sawit yang rendah dampaknya bisa 25-30 tahun menderitanya," katanya.
Menurut Ismed, investasi yang dibutuhkan untuk perkebunan plasma sawit per hektarnya mencapai Rp 8 juta sampai Rp 10 juta. Sementara untuk pengembalian investasinya, tahun bisa didapat pada tahun ke-8 atau ke-9 sudah balik, dengan kata lain 2-3 tahun setelah panen dia sudah balik modal.
"Minimal 2 juta per bulan bersih yang diterima pertani per hektar. Misalkan saja per orang bisa punya 4 hektar, dia bisa terima Rp 8 juta bersih per bulan. Kemudian mereka bisa punya aset yang nilainya bisa mencapai Rp 125 juta/hektar atau Rp 500 juta/4 hektar plus penghasilan," tutupnya.
No comments:
Post a Comment