Rendahnya rata-rata tarif bea masuk Indonesia yang hanya 6,8% terkait perdagangan bebas semakin memukul sektor industri dalam negeri. Hanya beberapa produk Indonesia yang mampu bersaing dengan produk negara mitra seperti China, itu pun harganya
Menteri Perindustrian MS. Hidayat mengatakan dibandingkan negara lain seperti China dan India, Indonesia lebih rendah dalam penerapan tarif bea masuk. Misalnya China menerapkan tarif bea masuk sebesar rata-rata 9,6% dan India 13% dan Brazil hanya 13,7%.
Dampak langsung dari rendahnya bea masuk Indonesia adalah memberatkan sektor industri karena berkompetisi dengan barang impor yang harganya lebih murah. Dengan konsumsi daya beli masyarakat yang besar, banyak negara lain yang mengincar Indonesia sebagai partner dalam perdagangan internasional.
"Selain tarif bea masuk rendah, kita juga masih terkendala dengan belum optimal. Dari segi infrastruktur, logistik, serta sumber daya manusia," kata MS Hidayat di Kantor Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kamis (5/4/2012).
Hidayat menambahkan saat ini sedikitnya ada sepuluh perundingan liberalisasi perdagangan antara dengan negara mitra. Beberapa perundingan tersebut antara lain Indonesia-Iran, Indonesia-Pakistan, Indonesia-India dan Indonesia-EFTA. Dengan liberalisasi perdangan ini, Indonesia berpeluang membuka akses pasar produk karya lokal di negara-negara mitra.
"Pemberlakukan free trade agreement (FTA) tidak selamanya berdampak positif. Seperti penerapan perjanjian kerjasama Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) yang sontak memukul sektor industri dalam negeri. Idealnya tarif bea masuk kita sudah rendah, jangan diturunkan lagi," ujarnya.
Terkait dampak ACFTA terhadap industri dalam negeri, Kemenperin melakukan kajian antara lain diketahui penyebab rendahnya daya saing terhadap produk China adalah tingginya bahan baku, rendahnya pasokan komponen, ketidakstabilan dan tingginya harga energi, serta faktor permodalan yang sulit.
Pemerintah juga belum mampu meningkatkan daya saing produk Indonesia terutama dalam penyediaan infrastruktur dan pembiayaan. Selain itu, perusahaan cabang industri yang diteliti mengalami penurunan di bidang produksi, penjualan, dan keuangan.
"Meski demikian ada beberapa cabang industri yang mampu bersaing dengan produk asal China. Walaupun, produk yang dihasilkan memiliki harga lebih tinggi," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kerjasama Industri Internasional Kemenperin, Agus Tjahajana Wirakusumah menambahkan belum berhasilnya perundingan multilateral khususnya akses pasar untuk mencapai kesepakatan telah menimbulkan agresifitas yang tinggi dari negara-negara maju untuk membuka pasar di negara berkembang. Ia menambahkan Indonesia memiliki tantangan untuk pengembangan industri di dalam negeri.
Menurutnya, posisi tarif bea masuk Indonesia masih rendah dibandingkan tujuh negara anggota G-20. Dengan rata-rata tarif bea masuk hanya 6,8 persen, Indonesia kalah dibandingkan negara maju lain yang memiliki rata-rata tarif bea masuk lebih tinggi.
"Pertumbuhan industri dalam sepuluh tahun terakhir masih di bawah pertumbuhan ekonomi. Kontribusi sektor industri saat ini hanya 24% dari pertumbuhan ekonomi," paparnya.
No comments:
Post a Comment