Nilai tukar rupiah berada dalam tren penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada beberapa hari terakhir. Level terbaik yang pernah dicapai adalah Rp 13.300/US$. Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyebutkan, penguatan rupiah dipengaruhi dua faktor. Di mana sebelumnya bermasalah dan membuat rupiah tertekan, sekarang justru berbalik arah.
Faktor pertama adalah sisi eksternal, yang meliputi ekspektasi kenaikan terhadap suku bunga acuan bank sentral AS the Federal Reserve (the Fed) dan sisi internal yaitu inflasi yang tinggi dan defisit ekspor-impor yang cukup lebar. "Ini yang kemudian membuat rupiah melemah. Sekarang rupiah menguat, karena dua faktor itu berbalik arah," ujarnya, di Danau Kelimutu, Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), Minggu (14/2/2016).
Suku bunga acuan AS tadinya diproyeksi mengalami kenaikan bertahap pada tahun ini, yang bisa diartikan sebanyak empat kali. Namun, Bank Sentral AS the Federal Reserve (The Fed) pekan lalu memberikan sinyal bahwa hal tersebut sulit diwujudkan dengan pertimbangan perekonomian global.
"Sekarang sudah naik dan ternyata kenaikan keduanya itu terjadi masih lama, bukan Maret, bahkan mungkin bukan Juni atau September. Sehingga spekulasi di seluruh dunia mulai kurangi dolar," papar Mirza. Pada sisi domestik, tampak ada perbaikan yang cukup signifikan. Inflasi terkendali dengan capaian 3,35% pada 2015. Defisit ekspor-impor juga terus menyempit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
"Ya modal masuk lagi kita lihat lelang SBN pemerintah over subscribe. Orang yang tadinya bingung untuk bayar impor di depan, sekarang nggak harus cepat-cepat, nggak perlu menumpuk dolar, bahkan dolarnya dijualin. Eksportir yang tadinya nggak mau jual dolar, sekarang dijual. Jadi rupiah menguat dan stabil," terangnya.
BI selalu berada di pasar untuk menjaga rupiah tetap stabil. Hal ini yang dapat mendorong perekonomian dalam negeri berjalan lebih baik lagi ke depan. "Yang penting rupiah stabil dan itu akan membuat orang berusaha lagi. Kalau rupiahnya berfluktuasi, produksi kertas mahal, impor kita jadinya. Produksi yang perlu bahan impor mahal, akhirnya berhenti," ujar Mirza.
Meski demikian, posisi rupiah masih dalam kategori undervalue, artinya level rupiah berada di bawah fundamental yang seharusnya. Posisi ini memang sering disebut sebagai pendorong ekspor suatu negara, karena membuat harga barang menjadi lebih kompetitif. Akan tetapi, sayangnya tidak berlaku besar untuk Indonesia. Dikarenakan selama ini ekspor masih bergantung pada komoditas mentah, khususnya produk pertambangan dan perkebunan.
"Jadi kurs yang kompetitif itu bermanfaat, kalau yang pertama, bukan untuk komoditas mentah," tegas Mirza. Persoalan kedua adalah ekonomi negara mitra dagang utama Indonesia masih sulit tumbuh tinggi, seperti Eropa, Jepang dan China. Amerika Serikat (AS) mulai tumbuh, tapi tidak memberikan dampak yang signifikan.
"Kurs undervalue itu bermanfaat pada waktu saat permintaan ada. Permintaan itu ada pada waktu negara tujuan ekspor mengalami pertumbuhan ekonomi, bukan resesi. Kalau resesi walaupun ekspor kompetitif, tapi ekonomi turun, dia nggak beli banyak kan," jelasnya.
No comments:
Post a Comment