Monday, February 1, 2016

Chevron Pacific Indonesia Pangkas 1.200 Karyawan

PT Chevron Pacific Indonesia berencana memangkas 1.200 karyawannya. Pemangkasan ini dampak dari terus merosotnya harga minyak dunia hingga di bawah level US$ 30/barel. Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi mengungkapkan, saat ini, perusahaan migas tersebut sudah mengajukan sejumlah angka untuk mengurangi karyawannya. Sebelumnya, perusahaan migas British Petroleum (BP) Indonesia juga telah melakukan pemangkasan karyawan, namun jumlahnya tidak besar.

"So far yang sudah selesainya tahun lalu itu BP (Indonesia). Nggak ribut karena jumlahnya kecil. Nah, yang besar ini Chevron, itu sudah mengajukan 1.200 orang," ujar Amin saat ditemui di Istana Negara, Jakarta, Senin (1/2/2016). Ia menjelaskan, pemangkasan karyawan ini dilakukan melalui beberapa mekanisme, di antaranya mengundurkan diri secara sukarela dan pensiun dini. Pemangkasan dilakukan secara bertahap mulai tahun 2015.

"Bertahap. Jadi tahapnya gini, ditawarkan sukarela, nah nanti dihitung lagi berapa banyak yang mundur, tahap kedua pensiun dini dipermudah, ini kan tahap kedua nih, sudah cukup apa belum, nanti ditawarkan lagi. Jadi kalau ditanya seberapa lama, aku belum tahu," katanya. Amin menjelaskan, penurunan harga minyak telah menekan kinerja perusahaan migas. Tak hanya memangkas belanja modal maupun operasional, namun hingga berujung pada pemangkasan para karyawan.

"Karena harga minyak jatuh, penyebabnya jelas. Belanja capex, opex ditekan. Salah satunya untuk eksplorasi dikurangi," sebut dia. Sebagai informasi, Chevron Pacific Indonesia (CPI) adalah anak perusahaan dari Chevron yang bertugas mengeksplorasi minyak yang ada di Riau. Sebelum diambil alih oleh Chevron, perusahaan ini bernama Caltex Pacific Indonesia. Para karyawan CPI ditempatkan di 4 kota di Riau yaitu Dumai, Duri, Minas dan Rumbai. CPI juga merupakan perusahaan minyak kontraktor terbesar di Indonesia, dengan produksi sudah mencapai 2 miliar barrel.

Merosotnya harga minyak dunia sudah mulai mengikis kinerja perusahaan minyak. Sebuah analisis Big Crunch menyebutkan, satu dari 5 perusahaan energi kehabisan uang, dalam waktu kurang dari 6 bulan sejak merosotnya harga minyak dunia, sementara 1 dari 3 perusahaan energi tengah diambang kebangkrutan dalam waktu kurang dari setahun.

Menurut perhitungan Big Crunch, secara keseluruhan aset perusahaan energi mencapai US$ 284 miliar, namun lebih dari 80% aset tersebut hanya dimiliki oleh 25 perusahaan energi besar saja. Arus kas mereka cenderung positif. Perusahaan yang masih mencatatkan kas negatif, setidaknya masih akan bisa bertahan dalam 2 tahun ke depan. Namun, perusahaan-perusahaan energi skala kecil, yang namanya tidak dikenal seperti ExxonMobil, BP atau Chevron, mereka tidak beruntung.

Menurut Kantor Firma Haynes dan Boones, puluhan perusahaan energi skala kecil sudah mengajukan kebangkrutan pada bulan Desember 2015, karena punya utang hingga US$ 13 miliar. Banyak lagi yang akan menyusul kebangkrutan tersebut di tahun depan lantaran harga minyak dunia yang terus merosot. Selain itu, sepertiga dari perusahaan minyak dan gas AS diambang kebangkrutan sejauh harga minyak tidak segera pulih.

Inilah gambaran secara keseluruhan perusahaan-perusahaan energi di dunia, termasuk kinerja saham-saham perusahaan energi. Arus kinerja mereka belum menunjukkan arus kas yang positif dan kurang dari setahun, mencatatkan rapor merah. Perusahaan energi skala besar seperti Chevron, ConocoPhillips, dan perusahaan multinasional minyak dan gas Italia, Eni, bahkan mencatatkan arus kas negatif. Mereka menderita kerugian besar.

Chevron membukukan kerugian 31 sen per saham pada perdagangan Jumat (29/1/2016), kerugian kuartalan pertama paling dalam sejak 13 tahun terakhir, imbasnya, belanja modal dipangkas secara besar-besaran. Pembagian dividen juga dikesampingkan. Di samping itu, perusahaan-perusahaan energi skala kecil menjadi yang paling berisiko menghadapi penurunan harga minyak dunia. Beberapa perusahaan sudah mulai mengambil tindakan dalam menghadapi penurunan arus kas mereka. Perusahaan-perusahaan ini mencoba memangkas margin dan menekan biaya operasional perusahaan agar mampu bertahan di tengah pelemahan harga minyak.

Continental Resources, produsen minyak terbesar kedua di Dakota Utara mengumumkan, pekan ini mereka akan memotong anggaran 2016 sebesar 66% dalam upaya untuk menjaga arus kas mereka. Mereka memperkirakan, harga minyak dunia akan berada di kisaran US$ 37 per barel. Menambah kesuraman, Hess dan Noble Energy juga telah mengumumkan pemotongan anggaran, awal bulan ini. Lembaga pemeringkat kredit Moody's menyebutkan, ada 120 perusahaan energi yang akan ditinjau untuk diturunkan peringkat (downgrade) utangnya.

"Harga minyak yang lebih rendah akan melemahkan arus kas perusahaan minyak dan gas secara terintegrasi. Hal ini akan menyebabkan tekanan lebih jauh terhadap rasio keuangan mereka, arus kas bisa menjadi lebih negatif," sebut Moody's. Anjloknya harga minyak dunia hingga ke kisaran US$ 30/barel membuat perusahaan-perusahaan minyak mengetatkan anggaran. Salah satu langkah efisiensi yang dilakukan adalah pengurangan karyawan, alias Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Menteri ESDM, Sudirman Said, mengaku paham dengan kesulitan yang dialami perusahaan-perusahaan migas ini. Pihaknya bersama dengan SKK Migas terus berkomunikasi dengan perusahaan-perusahaan yang menjadi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), untuk mengetahui masalah-masalah yang terjadi. "Kita paham situasi sulit. Pak Amien (Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas) dan Pak Wirat (Wiratmaja Puja, Dirjen Migas Kementerian ESDM) terus komunikasi dengan KKKS," kata Sudirman, saat ditemui di Badiklat ESDM, Jakarta, Rabu (27/1/2016).

Pihaknya berupaya membantu perusahaan-perusahaan migas yang beroperasi sebagai KKKS di Indonesia dengan menyiapkan insentif. Penurunan harga minyak dunia, sambungnya, dapat berlanjut hingga bertahun-tahun lagi sehingga perlu ada kebijakan dari pemerintah untuk membantu para KKKS. "Kami sedang lihat seluruh regulasi, feeling saya dengan harga rendah ini tetap akan banyak perusahaan yang berpikir ulang (untuk investasi baru) dan sudah mulai terasa (dampak penurunan harga minyak)," ucapnya.

Namun, sampai saat ini belum ada kebijakan yang diputuskan pemerintah untuk membantu industri migas nasional. Sudirman sendiri mengusulkan agar pendapatan bagian KKKS dalam Production Sharing Contract (PSC/kontrak bagi hasil) diperbesar selama harga minyak masih rendah. "Ini respons yang tidak bisa diberikan secara instan. Karena kalau pun diberikan kebijakan maka proses akan panjang. Kita akan antisipasi namun juga belum ada keputusan untuk berikan insentif. Dan bayangan saya split seperti apa sedang disiapkan," cetusnya.

Sampai saat ini, produksi minyak nasional belum begitu terpengaruh oleh merosotnya harga minyak dunia. Dampak signifikan dari penurunan harga minyak ini kemungkinan baru akan mulai dirasakan Indonesia pada tahun depan akibat minimnya investasi baru untuk eksplorasi migas pada tahun ini."Tahun ini mungkin pengaruhnya (penurunan harga minyak) sedikit. Karena itu rencana yang sudah diset. Mungkin impact-nya baru tahun depan," tutup Sudirman.

No comments:

Post a Comment