Monday, February 1, 2016

Suami Istri Dengan NPWP Terpisah Akan Bayar Pajak Lebih Banyak

Suami-istri memiliki dua pilihan dalam melaksanakan kewajiban sebagai wajib pajak (WP). Pertama adalah suami dan istri sebagai satu kesatuan yang berarti memiliki satu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kedua, yaitu terpisah yang berarti memiliki dua NPWP. Lalu pilihan mana yang menguntungkan dan merugikan? Center for Indonesia Taxation Analysin (CITA) membuat simulasi dari kedua skema tersebut.

Kasusnya adalah, suami dan istri merupakan karyawan. Kedua pasangan baru saja menikah dan belum memiliki anak. Penghasilan netto suami Rp 400.000.000/tahun dan penghasilan netto istri Rp 200.000.000/tahun.

1. Istri karyawati ikut suami (1 NPWP)
Penghasilan netto suami = 400.000.000
PTKP atau penghasilan tidak kena pajak (K/3) = 48.000.000
Penghasilan kena pajak = 352.000.000

PPh Terutang
5% X 50.000.000 = 2.500.000
15% X 200.000.000 = 30.000.000
25% X 102.000.000 = 25.500.000
Jumlah = 58.000.000

Penghasilan netto istri = 200.000.000
PTKP (K) = 36.000.000
Penghasilan kena pajak = 164.000.000

PPh Terutang
5% X 50.000.000 = 2.500.000
15% X 114.000.000 = 17.100.000
Jumlah = 19.600.000

Total beban pajak keluarga = 77.600.000

2. Istri karyawati dengan NPWP sendiri (2 NPWP)

Perhitungan pajak saat mengisi SPT

Penghasilan netto suami = Rp 400.000.000
Penghasilan netto istri = Rp 200.000.000
Jumlah = 600.000.000

PTKP (K/I/3) = 84.000.000
Penghasilan kena pajak = 516.000.000

PPh terutang
5% X 50.000.000 = 2.500.000
15% X 200.000.000 = 30.000.000
25% X 250.000.000 = 62.500.000
30% X 16.000.000 = 4.800.000
Jumlah = 99.800.000

Beban PPh suami
Penghasilan netto suami dibagi penghasilan netto gabungan dikali PPh terutang = 66.533.333

Beban PPh istri
Penghasilan netto istri dibagi penghasilan netto gabungan dikali PPh terutang = 33.266.666

Jadi akibat penghitungan gabungan, maka keluarga akan menanggung beban pajak lebih besar.
Selisih rumah tangga = 22.200.000
Selisih beban pajak istri = 13.666.666

Direktur Eksekutif CITA, Yustinus Prastowo menjelaskan, ketika istri juga ikut memiliki NPWP yang terpisah, maka ada dua beban yang harus diterima, yakni beban keluarga dan istri. Di samping juga kerumitan administrasi.

"Penyelesaian terbaik sebenarnya peraturan Dirjen Pajak menegaskan khusus istri sebagai karyawati yang telah dipotong pemberi kerja, berlaku seperti istri yang ber-NPWP ikut suami dianggap final," ujarnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan fasilitas untuk wajib pajak (WP) dengan status suami istri. Yaitu dengan menggabungkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Artinya, mulai dari penghitungan penghasilan, pembayaran pajak, hingga pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) hanya dilakukan satu kali, melalui suami sebagai kepala keluarga. Bila istri juga memiliki penghasilan, maka pilihan ini tentu tidak akan merepotkan. Penghasilan istri cukup dilaporkan di bagian lampiran SPT 1770 S, tanpa harus menggabungkan penghasilan netto suami. Artinya, SPT tahunan PPh suami nihil dan juga tidak perlu membayar angsuran PPh 25.

"Akibatnya banyak yang lebih menyukai pelaporan satu kali dengan satu NPWP," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Mekar Satria Utami.Di samping itu, pilihan ini akan lebih menguntungkan WP, sebab perhitungan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) lebih besar. Pembayaran pajak tentunya akan lebih kecil dibandingkan dengan masing-masing harus memiliki NPWP.

"Biasanya bendahara perusahaan menggunakan fasilitas PTKP secara penuh baik di suami dan istri. Jadi karena mendapat double benefit PTKP pada waktu digabungkan," terangnya. Di antara pasangan suami dan istri di Indonesia dalam memenuhi kewajiban pajak, ternyata cukup banyak yang menggunakan skema Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terpisah. Artinya baik suami dan istri, masing-masing memiliki NPWP.

Padahal dengan menggunakan skema ini, wajib pajak (WP) bisa dikenakan pajak berlipat. Karena, masing-masing harus menghitung besaran pajak sendiri, begitu juga saat pembayaran dan pelaporan. "Jadi wanita kawin yang gajinya sama, bisa membayar pajak lebih besar karena berdiri sendiri," ungkap Yustinus Prastowo, Pengamat Pajak CITA.

Prastowo menjelaskan, misalnya suami dengan gaji Rp 300 juta per tahun dan istri dengan gaji Rp 200 juta per tahun. Ketika hanya dengan satu NPWP (NPWP istri ikut suami), maka istri cukup melaporkan ke suami dengan tarif 25%. Namun ketika masing-masing memiliki NPWP, maka harus dihitung secara terpisah. Caranya kedua penghasilan digabung, kemudian dibagi lagi berdasarkan masing-masing untuk pembayaran pajaknya. "Makanya muncul tarif PPh progresif, karena dimungkinkan akan kena tarif lebih tinggi," jelasnya.

Prastowo menambahkan, kebijakan pembayaran pajak secara terpisah ini muncul ketika adanya revisi Undang-undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) tahun 2008. Alasannya adalah kesetaraan gender. "Jadi karena kesetraan gender, kemudian ada revisi di 2008. Dengan masing-masing boleh memiliki NPWP cuma saat itu digabung dengan suami baru dibagi," kata Prastowo. Persoalan yang muncul, justru bukan pada kesetaraan gender, melainkan kerumitan administrasi dan memungkinkan pembayaran pajak yang lebih besar.

"Ini menjadikan berat. Kesetaraan gender tidak tercapai, tapi justru membuat masalah di administrasi. Lebih baiknya wanita kawin mencabut NPWP dan ikut suami," terangnya. Pasangan suami-istri bisa memilih menjadi satu kesatuan dalam kewajiban pajak atau sebagai satu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Bila sebelumnya istri sudah memiliki NPWP, maka harus dihapuskan dan dialihkan ke suami.

Bagaimana caranya?
Istri bisa langsung datang ke kantor pelayanan pajak berdasarkan lokasi suami. Istri disarankan agar membawa persayaratan umum sebagai administrasi. "Datang ke KPP berdasarkan lokasi KTP suami, bawa KTP Suami, KTP Istri dan Kartu Keluarga," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP Mekar Satria Utama.

Selain itu juga harus dibawa buku nikah. Bila suami sudah memiliki NPWP, maka juga harus disertakan ke dalam dokumen tersebut. "NPWP suami juga harus dibawa," imbuhnya. Mekar memastikan proses yang akan dilewati nantinya bisa cepat. Asalkan dokumen yang dibawa sudah memenuhi persyaratan yang ada. "Kalau syaratnya lengkap, KTP tidak bermasalah artinya alamat KTP dan tempat tinggal domisili juga sama, prosesnya cepat," tukasnya. Saat menjadi pasangan suami-istri, proses perhitungan, pembayaran hingga pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak berubah.

Bagaimana cara perhitungan pajaknya yang benar?
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah memberikan pilihan fasilitas untuk suami istri sebagai wajib pajak (WP). Pastinya, pilihan bisa disesuaikan dengan keinginan WP. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Mekar Satria Utama menjelaskan, pilihan pertama adalah, suami istri dianggap sebagai satu kesatuan ekonomi. Artinya penghasilan yang diperoleh masing-masing dijadikan satu, dengan penanggung jawab yaitu suami kepala keluarga.

"Dengan demikian penghasilan diperoleh suami, istri, dan anak -anak yang belum dewasa digabungkan menjadi satu penghasilan bersama," ujar Mekar. Sebagai satu penghasilan, maka juga diberlakukan satu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Namun agak sedikit berbeda dibandingkan NPWP pada umumnya, di bagian belakang kartu, ada kode khusus.

"Akan diberikan satu NPWP dengan pemberian kode seperti kode cabang, yaitu angka 001 di bagian belakang NPWP," jelasnya. Bila kemudian istri sudah memiliki NPWP, maka dengan pilihan tersebut, istri harus mengalihkan pajaknya melalui suami. NPWP milik istri dihapus dan mengajukan perpindahan kewajiban pajak kepada suami secara keseluruhan.

Pilihan kedua, adalah suami istri menjalani kewajiban pajak secara terpisah atau masing-masing. Akan tetapi ini harus diawali dengan pernyataan perjanjian pisah harta antara kedua belah pihak.  "Suami dan istri bisa memilih untuk memiliki NPWP terpisah dalam hal ada perjanjian pisah harta. Pemberian NPWP terpisah memudahkan karena pelaporan dilakukan masing-masing," terang Mekar.

"PTKP (penghasilan tidak kena pajak) dihitung sendiri sendiri. Biaya juga harus bisa dipisahkan bersumber dari penghasilan suami atau istri. Tidak bisa dua kali," pungkasnya.

No comments:

Post a Comment