Jumlah asetnya yang mencapai ribuan item memaksa pemerintah melakukan inventarisasi ulang atas aset KKKS itu.
”Ini masalah keyakinan BPK. Karena belum memenuhi kaidah akuntansi, sehingga tidak berarti aset tersebut menjadi tidak ada. Nanti setelah inventarisasi, masuk lagi ke neraca,” ungkap Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan, Hadiyanto di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurut dia, secara hukum, semua KKKS yang baru saja diimpor dan masuk ke dalam wilayah Indonesia akan langsung menjadi aset milik negara. Namun, pencatatan asetnya itu berbeda dengan pencatatan barang milik negara (BMN) lainnya.
Sebagai gambaran, jika kontraktor ingin mengganti mata bor, dia akan mengimpor dan mata bor yang lama langsung diganti (swap). Pencatatan mata bor baru dan penghapusan mata bor lama itu tidak mengikuti prosedur BMN. Jika mengikuti kaidah pencatatan BMN, mata bor yang diganti itu harus mengikuti proses penghapusan aset, butuh waktu lama. Konsep BMN ini tidak bisa digunakan di KKKS karena komponennya ribuan.
Pencatatan aset KKKS juga rumit karena ada proses penghitungan cost recovery-nya atau ongkos eksplorasi dan eksploitasi migas yang dibebankan operator kepada pemerintah. Masalahnya, pencatatan aset tersebut tersebar di kontraktor, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta di BP Migas.
Ketua BPK Hadi Poernomo menyebutkan, dalam neraca pemerintah pusat, total aset negara per akhir tahun 2009 mencapai Rp 2.122,89 triliun. Naik Rp 51,19 triliun dari total aset akhir tahun 2008, yakni Rp 2.071,7 triliun. Jumlah aset tersebut dipengaruhi kenaikan aset yang dibeli sebelum tahun 2004 dan sudah dinilai ulang sekitar Rp 305,66 triliun dan dikeluarkannya aset KKKS migas dari neraca sebesar Rp 281,2 triliun.
”Aset KKKS itu dikeluarkan dari neraca karena statusnya tidak jelas. Nanti, kalau status kepemilikannya jelas, maka boleh dimasukkan lagi ke dalam neraca pemerintah Pusat,” tuturnya.
BPK mencatat masih ada masalah pada pelaksanaan inventarisasi dan penilaian aset tetap (fixed asset) pemerintah. Itu antara lain, pertama ada aset senilai Rp 55,39 triliun yang belum dapat direkonsiliasi dengan data inventarisasi dan penilaian di kementerian dan lembaga. Kedua, aset tetap senilai Rp 11,51 triliun belum dibukukan sehingga neraca yang dibuat pemerintah tidak lengkap. Ketiga, ada aset tetap senilai Rp 6,63 triliun yang belum dilakukan inventarisasi dan penilaian sama sekali sehingga nilainya belum mencerminkan nilai sebenarnya.
Di sisi lain, pada neraca pemerintah pusat disebutkan bahwa total kewajiban pemerintah mencapai Rp 1.681,71 triliun. Antara lain terdiri atas utang jangka panjang Rp 1.493,87 triliun.
Secara terpisah, dalam laporan kepada DPR yang disampaikan 1 Juni 2010, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengatakan, kebijakan anggaran yang diatur saat ini tidak menjadikan penjualan aset sebagai salah satu sumber utama pembiayaan defisit APBN. Dengan demikian, privatisasi (penjualan saham pemerintah di BUMN kepada publik) atau penjualan aset negara lainnya semakin berkurang.
No comments:
Post a Comment