Wednesday, June 2, 2010

Ekspor Indonesia Masih Positif dan Inflasi Bulan Mei 2010 Sebesar 0,29 Persen

Badan Pusat Statistik melaporkan krisis di Yunani belum berdampak besar untuk nilai ekspor Indonesia. Kondisi tersebut belum akan merisaukan bagi perdagangan Indonesia selama ekspor ke Jerman, Perancis, dan Inggris masih baik.

Demikian dikatakan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan, Selasa (1/6), dalam jumpa pers mengenai perkembangan ekspor dan impor Indonesia bulan April 2010.

Secara umum, nilai ekspor nonmigas ke negara-negara Uni Eropa pada Januari-April 2010 5,06 miliar dollar AS. Jumlah itu naik dibandingkan nilai ekspor nonmigas ke negara Uni Eropa pada Januari-April 2009 sebesar 3,82 miliar dollar AS.

Namun, nilai ekspor nonmigas ke Uni Eropa April 2010 sebenarnya turun daripada Maret 2010. Pada Maret 2010, nilai ekspornya 1,4 miliar dollar AS, sedangkan nilai ekspor April 2010 sebesar 1,07 miliar dollar AS.

Adapun nilai total ekspor nonmigas April 2010 mencapai 9,85 miliar dollar AS, naik 36,79 persen dibandingkan ekspor April 2009. Sementara total impor nonmigas Indonesia pada April 2010 sebesar 8,77 miliar dollar AS.

Rusman mengatakan, memang ada tendensi penurunan nilai ekspor yang dibarengi dengan peningkatan impor. ”Namun, impor yang meningkat tak selalu negatif asal memasukkan barang modal,” kata dia.

Akan tetapi, Rusman masih mencoba menjelaskan bahwa nilai ekspor Indonesia sebenarnya dalam posisi nyaman. ”Asal penurunan nilai ekspor tidak terhadap Amerika, China, Jepang, dan Korea,” kata dia.

Nilai ekspor nonmigas Indonesia bulan April 2010 ke Jepang sebesar 1,24 miliar dollar AS. Jumlah itu masih lebih besar ke seluruh negara Uni Eropa senilai 1,07 miliar dollar AS.

Ini belum termasuk nilai ekspor nonmigas menuju Amerika sebesar 1,06 miliar AS dan Korea Selatan 0,64 miliar dollar AS pada April 2010.

”Perdagangan kita dengan Amerika, Korea, dan juga Taiwan memang selalu surplus,” ujar Rusman. Akan tetapi, dia menegaskan pentingnya untuk melihat pangsa pasar baru.

”Dalam jangka panjang kita harus beralih, misalnya, ke Timur Tengah yang belum digarap, padahal dapat dijadikan pintu masuk regional lainnya, seperti ke daratan Afrika,” tutur Rusman.

Menurut Rusman, pekerjaan rumah pemerintah adalah bagaimana cara menekan defisit perdagangan dengan China, Australia, bahkan dengan Singapura.

”Dengan Australia, misalnya, kita langganan defisit karena faktanya kita banyak impor gandum, daging sapi, bahkan garam,” papar Rusman.

Rusman menginformasikan, inflasi Mei 2010 sebesar 0,29 persen. Sementara laju inflasi tahun kalender (Januari-Mei) 2010 sebesar 1,44 persen dan laju inflasi year on year (Mei 2010 terhadap Mei 2009) sebesar 4,16 persen.

Sumbangan inflasi terbesar pada kelompok bahan makanan (0,49 persen), kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (0,34 persen), kelompok air, listrik, gas, dan bahan bakar (0,09 persen), serta kelompok sandang (1,19 persen).

Jika dicermati, subkelompok dengan inflasi tertinggi adalah bumbu-bumbuan sebesar 4,66 persen, diikuti subkelompok barang pribadi dan sandang lain sebesar 3,21 persen, kemudian subkelompok tembakau dan minuman beralkohol sebesar 0,45 persen. Sebaliknya, subkelompok dengan deflasi tertinggi adalah telur dan susu sebesar 1,17 persen.

BPS melaporkan, dari 66 kota yang dipantau, sebanyak 58 kota mengalami inflasi, sedangkan delapan kota mengalami deflasi pada Mei 2010. Inflasi tertinggi terjadi di Maumere, Flores, dengan nilai 1,51 persen dengan indeks harga konsumen (IHK) 130,75 dan terendah di Jambi senilai 0,01 persen dengan IHK 119,33.

Sementara deflasi tertinggi di Manokwari, Papua, senilai 1,61 persen dengan IHK 131,87 dan deflasi terendah di Banda Aceh dan Ambon dengan masing-masing sebesar 0,07 persen, di mana IHK masing-masing sebesar 117,36 dan 120,52.

Aksi ambil untung di bursa

Keluarnya pengumuman BPS soal inflasi Mei 2010 sebesar 0,29 persen, yang sedikit lebih baik dari perkiraan, tidak mampu menahan aksi ambil untung investor di pasar modal.

Kondisi bursa regional dan global yang masih belum menentu menyusul krisis utang Eropa, ditambah turunnya tingkat pertumbuhan manufaktur di China, mendorong pelaku pasar modal di dalam negeri melakukan aksi ambil untung.

Aksi ini kembali menekan indeks harga saham dalam negeri cukup dalam. Namun, koreksi itu dinilai cukup wajar setelah beberapa hari sebelumnya harga saham dalam negeri naik tajam.

Pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa (1/6), Indeks Harga Saham Gabungan turun tajam 72,3 poin atau 2,59 persen ke level 2.724,6.

Indeks LQ-45 merosot lebih dalam, yaitu sebesar 3,01 persen menjadi 527,2, dan Indeks Kompas100 turun 2,89 persen ke level 655,8.

Sementara itu, nilai tukar rupiah melemah 30 poin dari Rp 9.180 pada penutupan Senin lalu menjadi Rp 9.210 per dollar AS.

Equity Head First Asia Capital Ivan Kurniawan mengatakan, kondisi bursa global yang kurang kondusif dimanfaatkan investor BEI untuk merealisasikan keuntungan terlebih dahulu.

Bagi investor jangka pendek, tindakan ini cukup wajar dan kerap dilakukan karena tidak ada sinyal positif yang dapat dijadikan pegangan untuk menahan saham lebih lama.

Ivan menyarankan agar investor sebaiknya tidak memberikan reaksi yang berlebihan terhadap kondisi yang kurang baik dari bursa ataupun perekonomian global.

Sebab, pada akhirnya, nilai saham akan lebih banyak dipengaruhi faktor fundamental dari emiten sekalipun pengaruh makroekonomi global tidak bisa dikesampingkan.

”Kami memperkirakan, secara umum emiten di BEI akan mencatatkan pertumbuhan kinerja. Indikatornya antara lain harga-harga komoditas yang lebih tinggi disertai tingkat penjualan yang lebih baik,” ungkap Ivan Kurniawan.

No comments:

Post a Comment