Kalau saja Winiar Ratana Kamdanu (35) tak mendengar petuah teman-teman dan kerabatnya waktu itu, tentu saat ini dia bukanlah pengusaha bawang goreng yang cukup sukses. Hidup dalam lingkungan dan keluarga besar yang umumnya birokrat sempat membuat ibu tiga anak ini berminat juga menjadi pegawai negeri sipil.
Namun, keinginan memiliki usaha sendiri membuatnya urung meneruskan minatnya itu. Terlebih keluarga dan kerabat juga mendukung agar dia tidak jadi PNS seperti profesi yang dipilih sebagian besar keluarganya.
”Akhirnya saya diskusi dengan suami untuk mencari tahu usaha apa yang bisa dilakukan, yang modalnya tidak besar dan bisa melibatkan orang lain sebagai pekerja. Pilihan akhirnya jatuh pada usaha bawang goreng. Pilihan ini diambil karena di samping Palu memang sudah terkenal dengan oleh-oleh khas bawang goreng, juga modalnya tidak terlalu besar dan lebih mudah kerjanya,” kata Winiar.
Sadar tidak punya pengalaman menekuni usaha sendiri, Winiar mendaftar ke Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Perindagkop) Kota Palu untuk diikutkan dalam program binaan bersama orang-orang lain yang juga berminat membuka usaha.
Dari beberapa kelompok dan orang yang menjadi binaan Dinas Perindagkop Kota Palu, usaha Winiar tetap eksis. Bahkan, melihat kesuksesan usahanya, dia diminta membina kelompok usaha lain dan berhimpun dalam sebuah koperasi yang didirikan bersama.
Koperasi yang beranggotakan ibu-ibu rumah tangga ini memiliki berbagai usaha, di antaranya makanan dan camilan kemasan khas Palu.
Berbekal pendidikan dan latihan dari Dinas Perindagkop, Winiar memberanikan menjalankan usahanya. Awalnya, dia mencoba-coba dengan membeli 100 kg bawang mentah yang saat itu harganya Rp 7.000-
”Saat mau dipasarkan, saya bingung mencari nama. Pikiran saya saat itu bagaimana menggunakan nama yang mudah diingat, masih berbahasa Kaili (bahasa daerah etnis Kaili di Sulteng), sekaligus punya nilai jual. Akhirnya saya memilih madika. Enak didengar, mudah diingat, dan ini bahasa Kaili. Maka, saya cetak di kertas sederhana dan ditempelkan dalam kemasan bawang,” katanya sembari menjelaskan Madika yang berarti ningrat, bangsawan,
Bersaing dengan usaha sejenis yang sudah lebih dulu ada tak membuat Winiar kecil hati. Berbekal relasi, dia melakukan promosi dari mulut ke mulut.
Tidak sedikit pameran yang diikutinya ke sejumlah kota hanya untuk mempromosikan bawang gorengnya dan memperluas jaringan serta pembeli.
Usahanya tak sia-sia. Sejak memulai tahun 2004, hingga kini usahanya tetap jalan. Kalau pada awalnya dia hanya mempekerjakan lima orang, saat ini sudah ada 20 orang yang bekerja secara tetap, tidak termasuk puluhan pekerja lain yang dipanggil bila pesanan banyak.
Pekerja ini, baik yang tetap maupun yang tidak tetap, umumnya adalah ibu-ibu rumah tangga yang awalnya tidak punya penghasilan. Kalau awalnya bawang goreng hanya diolah di sebuah dapur kecil di belakang rumah, saat ini Winiar sudah punya dapur besar.
Sebuah ruko dua lantai juga dibeli untuk jadi ruang pajang dan tempat menjual produknya. Bawang goreng yang diolah juga besar jumlahnya. Kalau awalnya hanya 100 kg per bulan, saat ini sudah 2 ton per bulan.
Omzetnya saat ini berkisar Rp 100 juta per bulan. Ini dengan hitung-hitungan 1 ton bawang mentah menghasilkan 350 kg bawang goreng. Dengan harga bawang goreng Rp 150.000 per kg, berarti dari 2 ton hasilnya Rp 105 juta.
Adapun pembelinya yang sebelumnya hanya orang dekat, keluarga, atau yang kebetulan berkunjung ke Palu, saat ini sudah banyak pelanggan tetap yang bermukim di kota lain.
Tidak sedikit pelanggan lamanya yang ikut menjual produk Winiar. Bahkan, yang bermukim di luar negeri pun tetap memesan dalam jumlah banyak setiap kali pulang ke Tanah Air.
”Setiap kali pulang ke Indonesia, mereka menelepon minta dikirimkan dalam jumlah banyak. Yang saya tahu ada yang dibawa ke Kanada, Korea, dan beberapa negara lain,” katanya.
Menjalani usaha bawang goreng bukan berarti Winiar tak mengalami jatuh bangun. Serangan hama bawang yang parah tahun 2007, yang membuat panen bawang gagal dan menyebabkan banyak pengusaha bawang beralih ke usaha lain atau gulung tikar, tak membuat Winiar kehilangan semangat.
Bahkan, Winiar juga tak patah arang dengan pengalaman beberapa kali mengalami kerugian karena ditipu. ”Beberapa kali saya dibawakan bawang yang bercampur. Kami sudah kerjakan sehari semalam, kupas, goreng, pas pagi hari mau dikemas bawangnya sudah lembek dan berminyak. Terpaksa tak jadi dijual dan rugi,” ujar Winiar.
Tak jarang pemasok bawang membawa bawang yang jumlahnya tidak sesuai dengan yang dibayar. Pengalaman lain adalah tatkala permintaan besar dan bahan baku kurang yang akhirnya membuat harga jual bawang menjadi tinggi.
Namun, pengalaman demi pengalaman ini tidak membuatnya patah semangat. Hal itu justru membuat Winiar kian ingin mengetahui lebih jauh seluk-beluk bawang. Dia pun terjun langsung ke petani bawang yang tersebar di beberapa desa di Kabupaten Sigi.
Bertemu langsung petani dan mengetahui sedikit demi sedikit soal bawang membuat Winiar melakukan pendekatan dan pembinaan pada kelompok-kelompok tani. Dia juga melakukan pendekatan dan membangun hubungan dengan petugas penyuluh lapangan.
Dalam hal pembelian, terutama pada masa-masa permintaan kurang, Winiar juga mengatur jadwal bergilir di setiap kelompok tani agar ada pemerataan. Panen bawang setiap dua bulan memungkinkan Winiar melakukan ini dan tidak membuat petani menunggu lama.
Saat ini, dengan apa yang sudah diraihnya, Winiar tidak lagi terlalu berkeinginan muluk untuk lebih memperbesar usahanya. Sebaliknya, bersama ibu- ibu lainnya, Winiar membantu menghidupkan koperasi Beringin Jaya yang dibentuk atas saran Dinas Perindagkop Kota Palu.
Produksi ibu-ibu rumah tangga, seperti abon ikan, daging, berbagai camilan, dan oleh-oleh khas Palu lainnya, ikut dipasarkan bersama bawang goreng Madika di ruko milik Winiar.
”Tidak ada masalah dengan itu. Toh, pada awalnya membangun usaha, salah satu tujuannya juga memberdayakan orang lain. Kalau di usaha bawang sudah cukup menampung pekerja, apa salahnya ikut membantu mengembangkan usaha ibu-ibu lain. Kan, ini juga bagian dari pemberdayaan,” katanya.
No comments:
Post a Comment