Tuesday, November 20, 2012

Bank Di Indonesia Kejar Keuntungan Dengan Margin Bunga Bersih Daripada Efisiensi

 Bank-bank di Indonesia dinilai terlalu mengejar keuntungan melalui perbesaran margin bunga bersih (Net Interest Money/NIM) daripada melakukan efisiensi. Hal ini menyebabkan penurunan peran perbankan terhadap pembangunan ekonomi nasional. 

"NIM bank saat ini sangat tinggi. Hal ini merugikan," tegas Rektor Institute Bisnis dan Informatika Kwik Kian Gie, Anthony Budiawan dalam Seminar Nasional bertajuk Inefficiency of Banking Sector In Indonesia's Economic Development : Whose Responsibilty di Jakarta, Selasa (20/11). 

Sesuai data dari International Monetary Fund (IMF), NIM bank di Indonesia secara konsisten sejak tahun 2003 sampai Agustus 2012 di atas 5%, bahkan pada Januari 2012 sempat naik melebihi 6%. 

NIM tersebut merupakan tertinggi dari 11 negara di Asia, seperti Bangladesh, India, Thailand, China, Malaysia, Taiwan, Hong Kong, Filipina, Vietnam, dan Singapura. 

Dengan NIM tersebut, bank di Indonesia berhasil membukukan penghasilan tinggi. Dia mencontohkan, NIM bank BRI pada kuartal III 2012 mencapai 8,43%. NIM tersebut menghasilkan rasio pengembalian (ROA/return on assets) sebesar 4,87%. Kemudian Bank BCA memiliki NIM 5,42% dengan ROA 3,44%. 

Bandingkan dengan Bank OCBC Singapura, NIM hanya sebesar 1,79%. Dengan NIM tersebut, OCBC menghasilkan ROA sebesar 1,23%. 

Sedangkan rasio pinjaman terhadap deposito (LDR/loan to deposit ratio) masih rendah. LDR perbankan hingga Agustus 2012 baru mencapai 83,70%. Padahal, perbankan dikategorikan efisien dan efektif apabila tingkat LDR mencapai 100%. Artinya, seluruh dana pihak ketiga mampu di-convert menjadi pinjaman 

"LDR cukup rendah. NIM cukup tinggi. Sangat jelas sekali perbankan nasional kita tertinggal jauh tingkat efisiensinya. Dan mencari keuntungan melalui peningkatan margin laba bersih," tambahnya. 

Bank seringkali beralasan, kata Anthony, besarnya tingkat suku bunga terkait dengan risiko kredit. Akan tetapi, data risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) bank justru relatif rendah yakni berada di level 2%. 

"Persoalan infrastruktur, transportasi, dan lainnya biasanya masuk dalam NPL. Dan ternyata NPL rendah," tegasnya. 

NIM yang tinggi berakibat pada menurunnya permintaan pinjaman. Penurunan pinjaman terjadi pada kredit investasi. "Masyarakat semakin kurang berminat melakukan investasi karena tingginya suku bunga tersebut," tandasnya.

No comments:

Post a Comment