Sore itu Usman (40) sedang menumbuk setengah ember ikan ruca-ruca untuk pakan lele. Ia dan tiga orang temannya memiliki 30 kolam ikan lele.
Setiap hari, mereka membutuhkan 1,5 kilogram pakan lele. Harga sekilogram ikan ruca-ruca Rp 1.000, sedangkan harga pelet sekilogram, Rp 8000. "Banyak yang bisa kami hemat untuk pakan lele dengan membeli ikan ruca-ruca, atau kepala ikan lainnya yang terbuang dari rumah produksi ikan pindang," tutur Usman.
Setiap empat bulan, Usman dan ketiga temannya bisa memanen ikan lele sebanyak 100 kilogram. Harga setiap kilogram lele Rp 13.000. Dengan demikian, setiap empat bulan mereka mendapat Rp 1 juta setelah dipotong biaya pemeliharaan. Dengan kata lain, setiap bulan mereka mendapat Rp 250.000. Itu artinya, setiap orang, setiap bulan mendapat uang hasil panen lele sebesar Rp 62.500.
Sebelum tahun 1990, Usman dan sebagian warga Kampung Apung mencari nafkah dengan menyewakan rumah mereka.
Orangtua Usman, misalnya, memiliki dua rumah. Satu di antaranya mereka jadikan rumah kos yang memiliki 11 pintu. "Kala itu, dengan menyewakan rumah saja, hidup kami sekeluarga sudah layak," tutur Usman. Tetapi setelah tahun 1990, Usman dan sebagian warga mencari nafkah dengan beternak lele. Mengapa?
Korban kebijakan pemprov
Sebelum tahun 1990, permukaan tanah di kawasan RW 01 Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, seluas enam hektar itu, tertinggi dibandingkan dengan lokasi di sekitarnya yang sebagian masih berupa bentangan sawah. Tak heran saat banjir datang, Kampung Apung menjadi penampungan pengungsi.
Karena tak tahan lagi setiap tahun harus mengungsi ke Kampung Apung, para pengungsi menjual tanah dan rumahnya ke para pengusaha dengan harga murah.
Para pengusaha lalu menguruk tanah hingga permukaannya jauh lebih tinggi dari permukaan tanah di Kampung Apung. Di atas tanah tersebut didirikan gudang-gudang dan jadilah kawasan ini menjadi menjadi kawasan industri baru. Saluran-saluran air pembuangan pun dibangun, dengan tinggi dasar saluran melebihi permukaan tanah Kampung Apung.
Hasilnya? Seluruh air kotor dari saluran di kawasan industri, mengalir ke Kampung Apung. Air kotor itu juga membawa sampah ke sana. Karena kini permukaan tanah di Kampung Apung lebih rendah dari lokasi di sekitarnya, maka ketika hujan datang, Kampung Apung banjir.
Tahun demi tahun, banjir yang semakin tinggi membawa sampah yang semakin banyak pula. Kampung Apung pun menjadi rawa tempat pembuangan sampah. Lalat, nyamuk dan ular suka bersarang di sana.
"Rumah yang tinggal kelihatan atapnya itu dulu rumah kos-kosan orangtua saya," kata Usman.
"Rumah kos orangtua saya yang memiliki 15 kamar sudah tenggelam semua. Tenggelam bersama 3.810 makam," sela Ketua RW 01, Djuhri (54) saat ditemui di rumahnya Jumat lalu.
Sebagian warga yang ingin tetap bertahan di sana terpaksa menaikkan bangunan hinga dua sampai tiga kali tinggi bangunan lama. Mereka yang kurang mampu, membuat rumah berkaki tong tertutup. Dengan demikian, saat banjir datang, bangunan di atas tong-tong itu ikut naik.
Tak ingin lahannya sia-sia, sebagian besar warga lalu membuat peternakan lele. Jumlah kolam lele di sana saat ini mencapai 100 kolam. Hasilnya memang masih jauh dari cukup seperti ketika mereka bisa menyewakan rumah-rumah mereka.
"Sebenarnya pasar lele kami masih membutuhkan 300 kilogram lele setiap hari. Yang bisa kami penuhi baru 30 kilogram lele setiap hari. Maklum, modal kami terbatas," ucap Usman.
Begitulah kawasan pemukiman yang dulu menjadi salah satu sentra rumah kos di Kapuk, berubah menjadi tempat peternakan lele.
Tak sebanding
KamisPada (23/3/2012) lalu, Wakil Wali Kota Jakbar, Sukarno, meresmikan rumah pompa yang memiliki tiga mesin pompa. Masing-masing mesin pompa mampu menyedot air 500 meter kubik per detik. Pembangunan rumah pompa ini bertujuan mengatasi banjir di Kampung Apung. Dana yang dihabiskan untuk membangun rumah pompa dan jaringan saluran kata Djuhri, mencapai Rp 14,750 miliar.
Anehnya, rumah pompa tersebut dibangun di lingkungan RW 04, dan bukan RW 01. Lagipula, jika rumah pompa tersebut dibangun di RW 01, panjang saluran air yang harus dibangun tidak lebih dari 300 meter menuju Kali Angke. Tetapi karena rumah pompa dibangun di lingkungan RW 04, saluran air yang dibangun bertambah panjang, sekitar satu kilometer.
"Ketika rumah pompa itu diresmikan, kami warga RW 01 tidak pernah diundang. Kami pun belum pernah merasakan dampak kehadiran rumah pompa tersebut," tegas Djuhri.
Menurut Sukarno, rumah pompa didirikan untuk menanggulangi banjir di RW 01, 02, 04, 05, dan 07 di atas lahan seluas 200 hektar. Tapi menurut Djuhri, hanya lingkungan RW 01 yang selalu kebagian banjir.
Sampai kini, pembangunan saluran air menuju rumah pompa belum juga selesai. Sebagian saluran yang berukuran lebar itu masih dibiarkan terbuka. "Sudah belasan pengemudi dan sepeda motornya jatuh ke saluran tersebut," kata Djuhri yang diamini sejumlah warga yang ditemui di sepanjang saluran.
Saat hujan mengguyur, Jalan Kapuk Raya tetap saja tergenang air hingga selutut orang dewasa. Padahal, di salah satu ruas jalan itulah berdiri rumah pompa.
Menurut Djuhri, "Persoalannya bukan sekadar rumah pompa, tetapi kebijakan pembangunan Pemprov yang membuat lingkungan kami rusak, masa depan kami menjadi suram."
Ia menegaskan, seluruh warga RW 01 memiliki surat tanah girik. "Jadi kami tinggal di Kampung Apung bukan tinggal di atas tanah negara. Kami juga tidak tinggal di atas tanah bantaran kali atau bantaran kereta api yang kami okupasi," ucap Djuhri kesal.
Kesalnya terobati setelah Gubernur DKI Joko Widodo menjanjikan rumah susun sederhana hak milik dan gedung sekolah bagi warga Kampung Apung. Padahal sebelumnya, warga sudah berniat melakukan gugatan class action terhadap Pemprov DKI.
No comments:
Post a Comment