Bank Indonesia (BI) tidak mengikuti langkah Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin. Dewan Gubernur BI lebih memilih untuk mempertahankan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 4,75%. Keputusan BI berkaitan dengan upaya menjaga stabilitas makroekonomi di dalam negeri.
"Keputusan tersebut konsisten dengan upaya Bank Indonesia menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan di tengah semakin meningkatnya ketidakpastian global," ungkap Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Tirta Segara, di Kantor Pusat BI, Jakarta, Kamis (16/3/2017) Dari sisi global, risiko yang dimungkinkan muncul adalah kenaikan inflasi global, arah kebijakan ekonomi dan perdagangan AS, dan dampak lanjutan kenaikan suku bunga acuan AS berpotensi mendorong penguatan dolar AS.
Permasalahan Brexit dan risiko geopolitik di sejumlah negara Eropa terkait menguatnya gelombang populis serta risiko penyelesaian utang Yunani dapat meningkatkan ketidakpastian global. Sedangkan dalam negara ada risiko inflasi. "Risiko dari domestik yang tetap perlu dicermati terutama terkait dengan dampak penyesuaian administered prices terhadap inflasi," ujarnya. BI mengoptimalkan bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Di samping juga memperkuat koordinasi bersama pemerintah.
"Bank Indonesia terus melakukan penguatan koordinasi bersama Pemerintah dengan fokus pada pengendalian inflasi agar tetap berada pada kisaran sasaran dan kelanjutan program reformasi struktural untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan," ungkapnya
Suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) naik sebesar 25 basis poin. Hal ini ternyata tidak membuat gejolak di pasar keuangan. Bahkan nilai tukar rupiah justru menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dalam analisa Bank Indonesia (BI), keputusan Bank Sentral AS Federal Reserve sudah sesuai dengan ekspektasi investor. Dolar AS juga melemah terhadap banyak mata uang di dunia, khususnya Asia.
"Bisa dikatakan kenaikan FFR (Fed Fund Rate) semalam sudah di-price in dan dikalkulasi pelaku pasar. Rupiah menguat 0,12% sama dengan regional demikian di local currency bahkan IHSG naik 1,5% ke 5.500 sekian," kata Asisten Gubernur Kepala Departemen Ekonomi dan Moneter Dody Budi Waluyo dalam jumpa pers di Gedung Thamrin BI, Jakarta Pusat, Kamis (16/3/2017).
Kondisi dalam negeri juga memberikan sentimen positif kepada investor. Adalah surplus neraca perdagangan sebesar US$ 1,32 miliar pada Februari 2017. "Indonesia masih cukup dipandang positif dari sisi fundemental, return yang diterima surat berharga di domestik masih positif," tambahnya.
Nilai tukar rupiah tetap bergerak menguat pada hari ini. Padahal baru saja diumumkan kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) oleh Bank Sentral The Federal Reserve (The Fed) dan pemilihan umum (Pemilu) Belanda.
"Kurs rupiah nampaknya berpotensi relatif stabil dengan pola pergerakan granular yang lebih ditentukan oleh fundamental. Maknanya, mungkin rupiah akan tetap berada di kisaran yang kita lihat selama dua bulan terakhir," ungkap Adrian Panggabean, Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk dalam risetnya, Kamis (16/3/2017).
Adrian menjelaskan, ada dua sentimen eksternal yang mempengaruhi pasar keuangan global maupun dalam negeri. Adalah Pemilu Belanda yang dimenangkan oleh PM Mark Rutte. Cukup menarik di tahun ini karena tingkat partisipasi pemilih di Belanda mencapai di atas 80%, dan itulah yang antara lain menyebabkan tingginya hasil perolehan suara untuk Partai Liberal pimpinan PM Mark Rutte.
Dengan menilik episode perubahan angin politik di Eropa kontinental selama 15-20 tahun terakhir, analis politik cenderung melihat Belanda sebagai leading indicator dari arah perubahan angin politik di Eropa. Dan bila kita menganggap hasil pemilu Belanda, dimana kalahnya Wilders, sebagai pertanda preferensi politik masyarakat Eropa terhadap keterbukaan (alias politik non-populis) maka kita masih punya harapan bahwa politik keterbukaan mungkin akan juga menang di Perancis dan Jerman.
Harapan akan menangnya politik non-populis punya implikasi besar terhadap stabilitas sektor finansial, karena preferensi politik Belanda, Perancis dan Jerman (ketiganya dianggap sebagai Eurozone core countries) jelas punya pengaruh terhadap masa depan mata uang Euro, yang pada gilirannya akan berimplikasi luas terhadap konstelasi dan keseimbangan mata uang dunia. Termasuk di dalamnya adalah nasib rupiah. Artinya, kemenangan PM Mark Rutte di Belanda adalah berita baik untuk mata uang emerging market, termasuk rupiah.
Selanjutnya kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin. Menurut Adrian ini sudah diantisipasi oleh investor sejak dua pekan lalu. Kenaikan suku bunga juga diikuti oleh turunnya yield dari US Treasury dan naiknya indeks komoditi. Turunnya yield di US Treasury menyebabkan yield obligasi Indonesia menjadi relatif stabil pada kisaran 7,2 - 7,4%. Naiknya indeks komoditi, di sisi lain, jelas menguntungkan ekspor Indonesia dan menguntungkan mata uang negara-negara penghasil komoditi, termasuk Indonesia.
Dari dalam negeri, ada juga sentimen positif karena laporan surplus pada neraca perdagangan yang mencapai US$ 1,32 miliar. Dibandingkan bulan sebelumnya, memang ada sedikit penurunan, tapi secara umum masih menunjukkan bahwa ekspor netto masih akan berperan terhadap stabilitas neraca pembayaran, terhadap stabilitas rupiah, dan pertumbuhan ekonomi di 2017.
Adrian mengasumsikan pertumbuhan ekonomi 2017 mencapai 5,1%, dengan total surplus neraca perdagangan di 2017 akan mencapai US$ 7,5 miliar. Indikatornya adalah surplus neraca perdagangan yang sebesar US$ 2,5 miliar yang lebih tinggi dari ekspektasi. "Harus diakui, dengan melihat running-rate ekspor bulanan selama 5 bulan terakhir nampaknya kondisi eksternal memang masih belum mencapai tingkat dimana kita bisa berharap adanya pertumbuhan ekspor yang jauh lebih tinggi," ungkapnya.
Dengan kondisi tersebut, Adrian memproyeksikan rupiah akan bergerak pada kisaran 13.300-13.600/US$. Sementara itu, yield obligasi 10-tahun juga akan tetap berada di rentang 7,3 – 7,6%. "Ada kemungkinan turun ke arah 7,1% bila pada bulan Mei 2017 Indonesia dianugerahi dengan investment grade rating oleh S&P," tukasnya
No comments:
Post a Comment