Jargon ‘yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin’ terus terngiang di kuping Joko Widodo (Jokowi) sejak dirinya memimpin negeri mulai 2014 lalu. Kalimat tersebut memang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, untuk tidak menyebut sejak awal kemerdekaan pada 1945 silam.
Untuk itu, sejak tahun lalu Jokowi mengingatkan para pembantunya di tim ekonomi untuk tidak hanya mengedepankan pertumbuhan semata. Namun, juga menemukan terobosan untuk membuat pertumbuhan tersebut berkualitas dan turut dirasakan masyarakat papa. Menurut data resmi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat ketimpangan yang diukur dengan indeks Gini memang turun dalam dua tahun terakhir. Angka terburuk terjadi selama 2011-2014 sebesar 0,41. Pada 2015 turun menjadi 0,40 dan setahun kemudian turun menjadi 0,396.
BPS mengkategorikan angka indeks Gini di bawah 0,4 masuk dalam kategori ketimpangan rendah, 0,4-0,5 kategori ketimpangan sedang, dan di atas 0,5 kategori ketimpangan tinggi. Namun, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengingatkan bahwa perhitungan yang dibuat BPS berdasarkan data pengeluaran, bukan pendapatan atau kekayaan.
Jadi menurut Faisal, indeks Gini versi BPS sebatas mengukur ketimpangan pengeluaran, bukan ketimpangan pendapatan (income inequality) atau ketimpangan kekayaan (wealth inequality). “Tentu saja perhitungan berdasarkan pengeluaran menghasilkan angka ketimpangan jauh lebih rendah ketimbang berdasarkan pendapatan dan kekayaan,” kata Faisal, dikutip dari risetnya, Senin (20/3).
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas mencatat, data distribusi pengeluaran masyarakat Indonesia menunjukkan penurunan porsi kelompok 20 persen berpengeluaran tertinggi (top-20) selama tiga tahun terakhir. Sebaliknya, pada kurun yang sama, porsi kelompok 40 persen berpengeluaran menengah (mid-40) naik. Sedangkan kelompok 40 persen berpengeluaran terendah (bottom-40) cenderung stagnan di kisaran 17 persen, bahkan turun pada 2016. “Artinya, indeks Gini menurun bukan karena perbaikan nasib masyarakat miskin, melainkan lebih disebabkan pergeseran berlawanan arah antara yang super kaya dan yang menengah,” jelas Faisal.
Salah satu penyebab melebarnya kesenjangan ini adalah ekonomi biaya tinggi model baru yaitu penerapan proteksi dalam bentuk penetapan tarif bawah dan tarif atas dengan nama perlindungan konsumen yang lebih banyak menguntungkan pengusaha super kaya karena tidak ada batas bawah dan atas dari gaji karyawan atau pekerja kreatif
Data yang dilansir BPS sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan penurunan kesejahteraan masyarakat miskin di Indonesia. Pertama, indeks nilai tukar petani merosot dalam dua tahun terakhir. Kemerosotan tajam harga gabah kering di tingkat petani hingga mencapai Rp2 ribu per kilogram belakangan ini disebutnya semakin memperkuat pembuktian tersebut.
Selain itu, upah riil buruh tani juga merosot. Petani dan buruh tani menurutnya adalah profesi mayoritas masyarakat miskin di Indonesia. Kedua, upah riil buruh mengalami penurunan secara persisten. Ketiga, jam kerja buruh turun dari sekitar 40 jam per minggu menjadi di bawah 25 jam per minggu.
“Keempat, mendapatkan pekerjaan lebih lama, dari yang sebelumnya tidak sampai enam bulan menjadi rata-rata lebih dari satu tahun,” kata Faisal tanpa menyebut sumber data tersebut. Imbas tekanan ekonomi tersebut, membuat anggota keluarga yang tadinya tidak bekerja ikut menyemut di pasar kerja, sehingga tingkat partisipasi angkatan kerja naik cukup tajam dari di bawah 60 persen menjadi di atas 66 persen dalam dua tahun terkahir.
“Selain itu, mereka harus bekerja lebih keras dan lebih lama. Menurut data Organisasi Buruh Internasional (ILO), 26,3 persen buruh Indonesia bekerja lebih dari 49 jam seminggu. Angka itu terbanyak ketiga setelah Korea Selatan dan Hong Kong,” imbuhnya. Sementara, untuk menjelaskan berkurangnya pengeluaran orang kaya dan super kaya di Indonesia, Faisal mengkorelasikannya dengan kemerosotan harga komoditas seperti batu bara dan hasil tambang lainnya, serta minyak sawit yang didominasi segelintir pebisnis besar.
Sejalan dengan membaiknya harga sejumlah komoditas sejak pertengahan 2016, porsi top-20 diperkirakan kembali meningkat. Adapun kenaikan porsi mid-40 bisa dijelaskan oleh pertumbuhan tinggi sektor jasa modern, seperti informasi dan komunikasi, perbankan dan asuransi, kesehatan, pendidikan, serta jasa usaha (konsultan, akuntan, pengacara) yang banyak digeluti oleh kalangan profesional berpendidikan tinggi (lulusan diploma ke atas) yang jumlahnya hanya 14,5 persen dari keseluruhan penduduk bekerja
Berdasarkan gambaran di atas, agaknya amat sulit menyimpulkan bahwa perbaikan indeks Gini versi BPS disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Apalagi gambaran kondisi ketimpangan jauh lebih parah jika menggunakan data pendapatan dan kekayaan. Merujuk pada data global yang rutin dipublikasikan oleh Credit Suisse, ketimpangan kekayaan di Indonesia tertinggi keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand.
Publikasi terbaru keluaran 2016 dari lembaga keuangan Swiss ini menunjukkan 1 persen penduduk terkaya Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional, sedangkan 10 persen terkaya menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. Menurut majalah Economist, dua pertiga kekayaan dari penduduk terkaya (billionaires) Indonesia didapat dari sektor kroni yang sarat dengan praktek bisnis pemburuan rente.
“Berdasarkan indeks kapitalisme-kroni (crony-capitalism index) versi Economist, Indonesia berada di urutan ke-tujuh terburuk dari 22 negara yang disurvei pada 2016. Angka itu memburuk dibandingkan tahun 2007 pada posisi ke-18 dan 2014 di posisi ke-delapan,” urainya.
Mengutip hasil kajian Thomas Piketty dalam buku Capital in the Twenty-First Century, Faisal menyebut ketimpangan pendapatan di Indonesia memburuk dan lebih buruk ketimbang India dan China. Ketimpangan sudah menjadi persoalan dunia, di negara berkembang ataupun negara maju. Indonesia menghadapi masalah yang relatif lebih parah karena penduduk miskinnya masih ralatif banyak. Dari 27,76 juta orang miskin pada September 2016, hampir dua pertiganya berada di perdesaan. Mayoritas mereka adalah petani dan buruh tani.
Masalah Transformasi Struktural EkonomiFaisal berpendapat, ada yang tidak beres dalam proses transformasi struktural di Indonesia. Penurunan peran sektor pertanian dalam produk domestik bruto relatif jauh lebih cepat ketimbang perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian, sehingga produktivitas sektor pertanian paling rendah.
Sejak 1997, transaksi perdagangan luar negeri produk pertanian mengalami defisit, artinya impor lebih besar daripada ekspor. Penyumbang defisit terbesar adalah komoditas pangan. Nilai ekspor produk pertanian terjun bebas dari US$5,8 miliar pada 2014 menjadi US$ 3,4 miliar pada 2016.
Sementara, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang mengucur deras ke sektor pertanian tidak sebanding dengan peningkatan produksi pertanian. “Harga-harga pangan hampir selalu menjadi penyumbang inflasi terbesar. Alih-alih berkontribusi mengangkat bottom-40, sebaliknya sektor pertanian justru kontraproduktif dalam memerangi ketimpangan dan kemiskinan,” kata Faisal.
Untuk membenahi total sektor pertanian, Faisal menilai pemerintah perlu menggalakkan industrialisasi di perdesaan dengan teknologi tepat guna agar pendapatan keluarga tani meningkat lebih cepat. “Rantai pasokan ditata dengan menghimpun kekuatan petani menghadapi kaum kapitalis kota yang selama ini menguasai mata rantai perdagangan hasil pertanian. Petani didorong untuk membangun syarikat dagang rakyat sebagai salah satu dari tiga pilar pemberdayaan petani,” jelasnya.
Senjata ampuh yang tak kalah penting untuk memerangi ketimpangan menurut Faisal, adalah dengan mengakselerasi industrialisasi sekaligus mengoreksi transformasi struktural yang kebablasan. Bagaimana mungkin negara yang pendapatan per kapitanya masih rendah—pendapatan nasional bruto per kapita Indonesia tahun 2015 baru mencapai US$ 3.440—telah menjelma sebagai perekonomian jasa.
Sejak 2010, peranan sektor jasa mulai melebihi separuh produk domestik bruto dan terus naik hingga mencapai 59 persen pada 2016. “Bandingkan dengan China, yang peranan sektor jasanya masih 50 persen pada 2015. Peran industrialisasi sangat besar untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif dan pembentuk lapisan kelas menengah yang tangguh,” tutupnya.
No comments:
Post a Comment