Institut Pertanian Bogor (IPB) merampungkan penelitiannya mengenai deforestasi atau berkurangnya luasan area hutan di Indonesia yang kerap dikaitkan dengan bertambahnya wilayah konsesi perusahaan sawit. Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto Santosa yang memimpin riset deforestasi tersebut menjelaskan, pada 2016 lalu timnya telah terjun langsung ke delapan kebun sawit milik perusahaan besar dan 16 kebun sawit rakyat sebagai sampel. Kebun-kebun tersebut berada di Kabupaten Kampar, Kuantan Singingi, Pelelawan, dan Kabupaten Siak di Provinsi Riau.
Dari hasil survei ke lapangan tersebut, Yanto berani memastikan bahwa sawit bukan merupakan penyebab deforestasi di Indonesia. Menurutnya, lahan perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan.
“Jadi hasil voting anggota Parlemen Eropa yang menyatakan sawit merupakan penyebab deforestasi itu keliru,” ujar Yanto, dikutip Senin (20/3).
Ia melanjutkan, dari penelitian yang dilakukan timnya diketahui bahwa lahan yang dijadikan kebun sawit tersebut, sudah tidak berstatus sebagai kawasan hutan. Yanto Santosa memaparkan saat izin usaha perkebunan sawit dan sertifikat hak guna usaha (HGU) diterbitkan, status lahan yang dikelola perusahaan besar sudah bukan merupakan kawasan hutan.
Jika dilihat berdasarkan areal perusahaan yang diamati seluas 46.372,38 hektare (ha), ia menyebut sebanyak 68,02 persen diantaranya berstatus lahan yang dialihfungsikan dari hutan produksi konversi/areal penggunaan lain (APL).
Lalu sebesar 30,01 persen lainnya berasal dari hutan produksi terbatas, dan 1,97 persen berasal dari hutan produksi.
Sementara status lahan pada kebun sawit rakyat yang diamati seluas 47,5 ha, sebanyak 91,76 persen berstatus bukan kawasan hutan saat areal tersebut dijadikan kebun kelapa sawit. “Hanya 8,24 persen saja yang masih berstatus kawasan hutan atau areal peruntukan kehutanan (APK),” ujar Yanto Santosa.
Sementara itu, menurut riwayat penggunaan lahan pada delapan lokasi sebelum PSB tersebut beroperasi ada sekitar 49,96 persen merupakan eks HGU perusahaan lain, 35,99 persen merupakan eks Hak Pengusahaan Hutan, serta 14,04 persen merupakan ladang masyarakat lokal dan eks transmigran.
Hal tersebut didukung dengan hasil penafsiran citra landsat mengenai perkembangan tutupan lahan areal konsesi 1 tahun sebelum PSB memperoleh izin usaha. Sebelumnya lahan tersebut sekitar 49,96 persen berupa perkebunan karet, 35,99 persen berupa hutan sekunder, 10,7 persen berupa tanah terbuka, 3,03 persen berupa semak belukar, serta 0,84 persen berupa pertanian lahan kering bercampur semak belukar.
“Kalau melihat data itu, di mana letak deforestasinya?,” tandas Yanto.Ia menilai, munculnya tudingan dari Eropa karena selama ini terjadi perbedaan terminologi definisi soal deforestasi. Menurut pemahaman orang Eropa dan LSM asing, deforestasi adalah membuka lahan yang memiliki tutupan pohon.
“Jadi yang namanya deforestasi, seandainya kita punya hutan atau tanaman berkayu banyak, kalau itu dibuka, itu mereka sebut deforestasi,” katanya. Sementara itu, sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia deforestasi itu merupakan alih fungsi atau perubahan fungsi dari kawasan hutan menjadi peruntukan non hutan.
“Ini kan beda sekali. Artinya tidak peduli walau itu hanya ilalang, kalau itu kawasan hutan ya itu namanya hutan. Dan kalau itu diubah menjadi kebun sawit atau usaha lain, itu baru namanya deforestasi,” paparnya. Jadi sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia, kata Yanto, perubahan status dari kawasan hutan menjadi peruntukan non hutan disebut deforestasi.
Sementara itu, Anggota Dewan Pakar Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (Persaki) Petrus Gunarso mengatakan berdasarkan penelitiannya, lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang saat ini mencapai sekitar 11 juta ha paling banyak berasal dari bekas kebun karet.
Konversi kebun karet menjadi kebun sawit terjadi karena harga getah karet dalam beberapa tahun terakhir anjlok, sementara harga tandan buah segar (TBS) sawit jauh lebih menguntungkan petani. “Makanya saat ini luas kebun karet kita menyusut tajam dan sekarang luasnya nomor empat di dunia karena banyak petani karet yang mengkonversi kebun karetnya ke sawit,” tutur Petrus.
Kebun sawit di Indonesia, kata Petrus, juga berasal dari hutan terdegradasi yang memang oleh pemerintah dialokasikan untuk kawasan non hutan. Asal usul kebun sawit lainnya berasal dari areal penggunaan lain (APL) alias areal bukan kawasan hutan yang semula masih berhutan.
Kawasan APL ini memang secara hukum di Indonesia diperbolehkan untuk digunakan untuk kepentingan non hutan. “Jadi itu dari non hutan ke non hutan, sehingga itu bukan deforestasi,” tandas Petrus.
Diketahui, ekspor kelapa sawit Indonesia kembali mendapat hambatan dari Uni Eropa (UE). Hasil voting Anggota Parlemen Eropa menyatakan sawit merupakan penyebab deforestasi, degradasi habitat, masalah hak asasi manusia, standar sosial yang tidak patut, dan masalah tenaga kerja anak.
Voting yang dilakukan Komite Lingkungan, Kesehatan Masyarakat dan Keamanan Pangan itu menyatakan setuju dengan laporan yang diajukan tersebut dengan suara 56 berbanding 1. Meskipun hasil voting tersebut masih akan diangkat pada sidang pleno tanggal 3-6 April mendatang, implikasi dari laporan tersebut bisa berdampak pada semakin sulitnya ekspor sawit ke Eropa. Apalagi, penggunaan minyak sawit dari program biodiesel di wilayah itu pada 2020 kemungkinan diperketat dengan diterapkannya satu sistem sertifikasi minyak sawit Eropa.
Menanggapi hasil voting tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) Bayu Krisnamurthi mengatakan, voting tersebut merupakan langkah politik yang tidak menghormati kerja sama Indonesia-EU, didasarkan pada laporan yang tidak benar. “Ini merupakan bentuk kampanye negatif yang nyata dan sangat bernuansa kepentingan persaingan dagang,” ujar Bayu.
No comments:
Post a Comment