PT Pertamina (Persero) mencatatkan laba US$3,15 miliar sepanjang 2016. Angka ini meningkat 121,83 persen dari capaian tahun sebelumnya sebesar US$1,42 miliar. Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan, capaian laba ini diperoleh bukan karena meningkatnya pendapatan perusahaan. Karena nyatanya, pendapatan usaha Pertamina malah anjlok 12,62 persen dari US$41,76 miliar di tahun 2015 ke angka US$36,49 miliar di tahun lalu karena penurunan harga minyak dunia.
"Penurunan harga minyak memang menekan pendapatan. Namun di akhir tahun, harga minyak sempat meningkat bahkan mencapai level US$55 per barel," ujar Arief, Kamis (16/3). Lebih lanjut ia menuturkan, perbaikan laba ini disebabkan oleh efisiensi beban operasional yang mencapai US$2,67 miliar pada tahun lalu. Sebagian besar efisiensi ini, lanjutnya berasal dari efisiensi sektor hulu migas yang mencapai US$1,27 miliar, atau 47,56 persen dari total penghematan.
Sayangnya, ia mengatakan bahwa Pertamina perlu menghentikan ketergantungan atas efisiensi. Pasalnya, basis kegiatan yang sekiranya bisa diefisiensi makin sedikit. Apalagi, penghematan ini sudah dilakukan sejak dua tahun belakangan. "Maka dari itu, efisiensi yang kami lakukan di tahun ini tercatat US$1 miliar, atau lebih kecil dibanding tahun sebelumnya," jelasnya.
Kendati peluang efisiensi makin sedikit, namun ia tidak khawatir. Ia beralasan, basis pendapatan Pertamina sudah cukup kuat. Hal ini terlihat dari kenaikan produksi hulu migas yang naik 7 persen, kenaikan yield produk pengolahan, dan kenaikan penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar 2,5 persen. Apalagi rencananya, Pertamina akan menambah kontribusi pendapatan dari sektor hulu dari 30 persen menjadi 50 persen dari total pendatan perseroan di tahun ini.
"Yang penting, fundamental Pertamina sudah semakin kuat. Tentunya diperlukan berbagai inovasi lain agar laba perusahaan bisa semakin membaik di tahun ini," pungkas Arief. Lebih lanjut, Direktur Gas Pertamina Yenni Andayani menambahkan, setidaknya margin pendapatan sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) perusahaan juga perlu diperhatikan.
Menurutnya, margin EBITDA adalah indikator finansial keuangan paling utama dibanding angka pendapatan. Pasalnya, margin EBITDA mencerminkan upaya perusahaan dalam menciptakan kinerja keuangan yang sehat. Sebagai informasi, margin EBITDA tahun 2016 berada di angka 20,76 persen. Angka ini membaik dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 12,28 persen.
"Yang paling utama, margin EBITDA terus membaik sejak 2014. Ini menunjukkan bahwa Pertamina melakukan program efisiensi yang mendukung hasil finansial yang baik," imbuh Yenni. Direktur Utama PT Pertamina (Persero) terpilih, Elia Massa Manik mengatakan siap diberhentikan jika dirinya kedapatan tidak berlaku profesional.
Ia menyatakan, jika ia berlaku tidak profesional, maka itu artinya telah menyia-nyiakan kepercayaan pemerintah kepadanya untuk menjadi orang nomor satu di perusahaan minyak pelat merah tersebut. Di samping itu, Elia mengatakan, profesionalisme merupakan bagian utama dari rekam jejak karirnya. Maka dari itu, ia menegaskan bahwa penunjukkan dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan konflik kepentingan beberapa pihak.
"Kalau ditanya, saya tidak berafiliasi dengan partai apa pun. Bagi yang sudah tahu track record saya, saya memang dari dulu profesional." "Saya kira komitmen itu saya pegang, dan saya pun tidak suka menumpang hidup dari perusahaan bagus seperti Pertamina. Kalau saya melenceng, silahkan ditegur. Kalau perlu (saya) dipecat saja," jelas Elia di kantor pusat Pertamina, Kamis (16/3).
Berangkat dari hal tersebut, ia mengatakan bahwa segala pihak yang berada di dalam struktur Pertamina harus bertindak profesional. Dengan kata lain, seluruh unsur yang berada di Pertamina harus bebas dari konflik kepentingan.
"Kerja tim yang solid itu kuncinya tidak boleh ada vested interest, termasuk di antara para direksi. Oleh karenanya, tantangannya tentu menciptakan kondisi Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih holisitik sehingga bisa bersaing dengan kemampuan manajerial lain yang jauh lebih baik," tambah Elia.
Apalagi menurutnya, sikap profesionalisme di dalam Pertamina sangat dibutuhkan mengingat posisinya sebagai perusahaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ia berujar, upaya kemandirian energi nasional yang diemban Pertamina sangat krusial dan berdampak besar di segala kegiatan perekonomian nasional.
"Sektor energi ini sangat menantang dari sisi industri. Selain itu, kalau lihat dari makroekonomi, kemandirian ekonomi energi ini salah satu permasalahan paling utama. Tinggal bagaimana caranya menyediakan kuantitas energi yang cukup dengan biaya (penyediaan energi) yang lebih efisien," pungkas Elia.
Sebagai informasi, pemerintah akhirnya menunjuk Elia sebagai bos baru Pertamina menggantikan Dwi Soetjipto yang diberhentikan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 3 Februari 2017 silam. Keputusan pengangkatan Elia ini diputuskan pada RUPS tertanggal 16 Maret 2017 dan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor SK-52/MBU/02/2017.
No comments:
Post a Comment