Friday, March 17, 2017

Analisa Prospek Industri Batubara Indonesia

Kinerja emiten tambang batu bara tahun 2016 terbilang membaik jika dibandingkan tahun 2015. Hal ini bisa terlihat dari pencapaian pertumbuhan laba bersih empat emiten dari lima emiten batu bara terbesar yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Empat emiten tersebut terdiri dari PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI).

Golden Energy bahkan mencatat kenaikan hingga 1.613 persen sepanjang tahun lalu. Perusahaan berhasil meraup laba bersih sebesar US$34,44 juta dari sebelumnya yang hanya US$2,01 juta. Analis senior Binaartha Securities Reza Priyambada menjelaskan, kenaikan tersebut diluar ekspektasinya karena pendapatan perusahaan pun hanya tumbuh tipis. Selain itu, harga batu bara juga baru mengalami pertumbuhan secara bertahap mulai kuartal III 2016.

"Kan baru naik harga batu bara itu baru kuartal III, naiknya juga enggak langsung signifikan. Naik tapi landai," ungkap Reza. Kemudian, Adaro Energy menyusul pertumbuhan laba bersih hingga 119, 5 persen menjadi US$334,62 juta dari posisi sebelumnya US$152,44 juta.

Menurut Reza, meski kenaikan laba bersih Adaro Energy tembus 100 persen tetapi pencapaian itu terbilang masih wajar. Kenaikan laba bersih ini juga ditopang oleh efisiensi yang dilakukan Adaro Energy sepanjang tahun lalu. "Lalu ada kontrak kerja pengadaan batu bara juga untuk pembangkit listrik. Itu mungkin jadi sumber mesin uang yang baru," terang Reza.

Analis Mandiri Sekuritas Yudha Gautama menyatakan kinerja yang di atas prediksi tersebut terutama karena keuntungan dari akuisisi Indomet Coal senilai US$197 juta dan turunnya tarif pajak efektif.  "Laba operasional sepanjang 2016 juga kuat, yaitu US$534 juta, berporsi 113 persen dan 111 persen terhadap prediksi kami dan konsensus, terutama terdongkrak oleh kenaikan rerata harga jual (ASP) batu bara US$43,4 per ton," jelasnya.

Selanjutnya, Indo Tambangraya berada di peringkat ketiga dari segi peningkatan laba bersih. Perusahaan membukukan laba bersih sebesar US$130,7 juta, naik 107,13 persen dibandingkan sebelumnya Rp63,1 juta. Terakhir, Bumi Resources yang berhasil berbalik arah menjadi positif yakni, US$100,6 juta. Pasalnya, tahun 2015 lalu perusahaan menderita rugi bersih mencapai US$1,92 miliar.

Menariknya, berdasarkan laporan keuangan 2016 tidak diaudit, beban pokok pendapatan tertulis nol sejak tahun 2015 hingga 2016. Menurut Reza, hal ini mengindikasikan perusahaan tidak melakukan kegiatan penambangan selama tahun 2015 hingga tahun lalu. "Nah, jadi mungkin dia pemasukan dari cadangan batu bara. Jadi meski tidak ada pasokan, tapi ada pemasukan yang dicatatkan," tutur Reza.

Sementara itu, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), satu emiten tambang batu bara lainnya yang masuk dalam lima besar bernasib kurang baik. Laba bersih perusahaan turun tipis 1,47 persen dari Rp2,03 triliun menjadi Rp2 triliun. Sayangnya, jika melihat dari sisi pendapatan usaha emiten tambang batu bara, maka terlihat tidak sebaik laba bersih yang diraup. Dari lima emiten tersebut hanya Golden Energy dan Bukit Asam yang mencatatkan kenaikan pendapatan. Sementara, sisanya mengalami penurunan.

Sama halnya dengan laba bersih, Golden Energy berhasil mencetak pertumbuhan pendapatan paling tinggi yakni, 8,81 persen menjadi US$384,33 juta dari sebelumnya US$353,18 juta. Kenaikan ini terbilang jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan laba bersih perusahaan yang mencapai ribuan persen. Reza menyatakan, pencapaian laba bersih perusahaan bukan semata-mata dari penjualan batu bara.

"Nah ini Golden Energy pasti ada pendapatan lain yang membuat laba perusahaan sampai naik signifikan seperti itu," tandas Reza. Benar saja, dalam laporan keuangannya terlihat perusahaan meraih pendapatan lain-lain hingga US$941,64 ribu. Angka tersebut berbanding terbalik jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang tercatat beban lain-lain sebesar US$248,28 ribu.

Tak hanya itu, Golden Energy juga memperoleh pemasukan dari keuntungan selisih kurs sepanjang tahun lalu sebesar US$624,51 ribu, berbeda dengan tahun 2015 yang menderita rugi kurs hingga US$4,84 juta.  Kemudian, untuk Bukit Asam sendiri hanya naik tipis 1,51 persen dari Rp13,84 triliun menjadi Rp14,05 triliun.

Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin menyebut, sepanjang tahun lalu indeks harga batu bara belum sebaik tahun 2015. Hal ini terlihat dari rata-rata harga tertimbang batu bara perseroan yang turun sebesar 4,4 persen. Adapun, untuk pendapatan Bumi Resources turun hingga 42,22 persen menjadi US$23,4 juta dari sebelumnya US$40,5 juta. Kemudian Indo Tambangraya tercatat turun 13,92 persen menjadi US$1,36 miliar, dan Adaro Energy turun 5,97 persen menjadi US$2,52 miliar.

No comments:

Post a Comment