Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengklaim tengah mengkaji aturan kewajiban pelaporan perencanaan pajak (tax planning). Hal ini dilakukan sebagai implementasi aksi 12 untuk mengatasi Penggerusan Pendapatan dan Pengalihan Profit (Base Erosion and Profit Shifting/BEPS) yang disepakati 97 negara, termasuk Indonesia.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Poltak Maruli John Liberty Hutagaol mengatakan, aksi ke-12 BEPS mengatur tentang persyaratan kewajiban keterbukaan. Salah satunya, kewajiban pelaporan perencanaan pajak untuk mengurangi asimetri informasi dan mencegah perencanaan pajak secara agresif.
"Jadi, kalau wajib pajak melaksanakan tax planning, maka skema perencananaan pajak tadi itu harus dilaporkan ke kantor pajak, termasuk yang wajib melaporkan itu promotornya," ujar John saat ditemui di Gedung Mari'e Muhammad DJO, Jumat (17/3). Yang dimaksud promotor wajib pajak adalah pihak-pihak yang memberikan masukan kepada wajib pajak untuk melakukan skema perencanaan pajak. Misalnya, konsultan pajak, konsultan keuangan, bank, akuntan publik, maupun pengacara. Adapun, salah satu negara yang telah memiliki aturan terkait kewajiban pelaporan perencanaan pajak adalah Inggris.
Karenanya, pada kunjungan DJP ke Otoritas Pajak Inggris (HMRC), pekan lalu, DJP menyempatkan untuk bertukar pikiran mengenai regulasi kewajiban keterbukaan informasi di Inggris. "Mereka (HMRC) membagikan pengalamannya tentang bagaimana mereka mengeluarkan regulasi terkait kewajiban keterbukaan informasi," kata John.
Untuk Indonesia, aturan yang tengah dikaji kemungkinan di tingkat Peraturan Menteri Keuangan. Namun, John masih belum bisa memastikan kapan aturan tersebut akan diterbitkan. "Di tempat kami, aturan itu sedang dalam pembahasan," imbuhnya. Paul de Haan, Ahli Perpajakan Internasional merangkap Peneliti Biro Internasional Dokumentasi Fiskal (IBFD), secara umum mendukung rencana penerbitan aturan kewajiban pelaporan perencanaan pajak. Menurut dia, hal itu mendorong keterbukaan informasi dan meningkatkan transparansi yang menjadi celah penghindaran pajak.
Namun demikian, Haan mengingatkan, jangan sampai membuat aturan yang berlebihan karena harus memperhatikan keberadaan wajib pajak yang baik. "Bantu wajib pajak yang baik untuk menjadi baik dan ubah wajib pajak yang buruk untuk menjadi baik," tutur dia.
Boyke Baldewsing, rekan Haan menambahkan, dalam praktiknya di negara lain di dunia, aturan kewajiban pelaporan perencanaan fiskal memberikan tekanan tersendiri kepada profesi perencana pajak. Hal itu mengingat perencanaan pajak yang dilakukan harus lebih hati-hati seiring dengan peningkatan kemampuan otoritas pajak dalam mendeteksi dan mengantisipasi celah yang ada berdasarkan laporan perencanaan pajak.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) dalam rangka Pertukaran Informasi Otomatis (AeOI) di bidang keuangan menjadi kunci Indonesia untuk naik kelas dalam pemenuhan syarat untuk implementasi AEoI. Dalam penilaian fase 2 yang dilakukan Forum Global untuk Transparansi dan Pertukaran Informasi Demi Kepentingan Perpajakan, sebuah forum di bawah Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), terhadap 113 negara yang ingin mengimplementasikan AEoI, Indonesia masuk dalam kategori memenuhi sebagian persyaratan (partially compliant).
Posisi Indonesia setara dengan Andorra, Anguilla, Antigua dan Barbuda, Kosta Rika, CuraƧao, Dominika, Republik Dominika, Samoa, Sint Maarten, Turki, dan Uni Emirat Arab. Posisi Indonesia hanya ada di atas lima negara dan yurisdiksi yaitu Kepulauan Marshall, Panama, Federasi Mikronesia, Guatemala, serta Trinidad dan Tobago.
Sementara, 99 negara dan yurisdiksi di dunia telah mampu berada di level memenuhi ketentuan sepenuhnya dan memenuhi sebagian besar ketentuan, termasuk di antaranya negara atau yuridiksi yang dianggap surga pajak yaitu Singapura, Swiss, Cayman Island, dan British Virgin Island.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) mengungkapkan jika Indonesia tidak bisa naik kelas ke level largely compliant, Indonesia terancam tidak bisa mengimplementasikan AEoI tahun depan.Hal ini akan merugikan Indonesia karena Indonesia telah menyepakati Multilateral Competent Authority Aggreement (MCAA) pada 2015 lalu.
"Indonesia wajib memberikan informasi demi kepentingan pajak negara lain tetapi negara lain tidak wajib memberikan informasi yang dibutuhkan Indonesia selama belum memenuhi kriteria yang dipersyaratkan," tutur Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama saat ditemui di kantornya, Jumat (16/3).
Yoga menuturkan, dari 10 kriteria yang dipersyaratkan, otoritas pajak Indonesia tidak memenuhi kriteria akses terhadap informasi. Khususnya wewenang otoritas pajak untuk mengakses informasi finansial. Dalam hal ini, DJP tidak bisa secara otomatis mendapatkan data simpanan nasabah bank karena kerahasiaannya dilindungi Undang-undang Perbankan.
Melalui Perppu, otoritas pajak Indonesia bisa mengakses data simpanan nasabah, khususnya warga negara asing, yang nantinya bisa dipertukarkan dalam kerangka AEoI. Perppu tersebut juga menjadi jalan pintas pemerintah untuk merevisi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang Perbankan, Undang-undang Perbankan Syariah, dan Undang-undang Pasar Modal.
"Kalau merevisi Undang-undang memerlukan waktu, sementara Indonesia harus memiliki aturan setingkat UU segera," ujarnya. Di level kementerian, lanjut Yoga, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Perjanjian Internasional.
Yoga berharap, setelah AEoI untuk data finansial berlaku, basis data DJP akan semakin lengkap untuk membantu proses penggalian potensi maupun pemeriksaan wajib pajak.
No comments:
Post a Comment