Misalnya saja, Google diketahui mengalirkan banyak keuntungannya ke negara Bermuda yang memang dikenal sebagai tax haven. Dikutip dari Daily Mail, Senin (19/9/2016), tiap tahunnya Google diperkirakan mengalirkan profit sekitar 8 miliar poundsterling ke Bermuda. Di Bermuda, Google memiliki perusahaan terdaftar bernama Google Bermuda Unlimited dan Google Ireland Holdings yang berlokasi di kota Hamilton. Namun tidak ada aktivitas atau karyawan di kantor itu selain untuk memperlancar aliran keuntungan Google. Bahkan warga lokal pun tak begitu tahu.
"Jika ada kantor Google di sini, tentu akan terlihat dengan jelas. Katanya mereka kan punya lapangan olahraga di kantornya. Tapi di sini aku belum pernah bertemu sekalipun dengan karyawan Google," sebut penduduk setempat bernama Derric Ward. Apa yang dilakukan Google tersebut memang kontroversial, tapi banyak yang mengatakannya legal. Mereka memang licin. Di seluruh dunia, Google biasanya mendirikan perusahaan cabang atau subsidiary. Sedangkan kantor pusatnya atau tempat mengalirkan uang, berlokasi di negara yang menarik pajak kecil.
Pada tahun 2008, Google memindahkan kantor pusatnya untuk wilayah Eropa, Timur Tengah dan Afrika ke Irlandia. Sebab Irlandia dikenal memberlakukan pajak perusahaan yang sedikit. Jadi, jika misalnya ada perusahaan di Inggris membayar untuk beriklan di subsidiary Google Inggris, uangnya mengalir ke Irlandia. Kemudian setelah mengalir ke Irlandia, dalam skema yang cukup rumit, uang Google menuju ke Google Netherlands Holdings di Belanda yang juga ramah pajak. Barulah keuntungannya dikirimkan ke Bermuda.
Meski banyak dikecam, misalnya oleh pemerintah Inggris, kelakuan Google itu sebenarnya tidak ilegal. Dan Google berulangkali mengatakan kalau mereka mematuhi hukum pajak internasional. Google juga mengklaim pajak yang dibayarkan di tiap negara sudah sesuai dengan ketentuan. "Kami selalu mencoba melakukan hal yang benar di bisnis kami," sebut Peter Barron, Chief Communication Google.
Maka tak heran jika menarik pajak 'yang seharusnya' dari Google bisa dikatakan susah sekali. Banyak negara kelimpungan soal ini, termasuk Indonesia. Google sedang disorot di berbagai negara termasuk Indonesia karena dituding tidak membayar pajak yang sesuai. Namun bos Google justru merasa bangga dengan strategi mereka dalam meminimalisir jumlah pembayaran pajak.
Chairman Google Eric Schmidt menyatakan, praktik seperti mengalirkan profit perusahaan ke negara Bermuda yang memberlakukan pajak kecil bukanlah pelanggaran. Dan Google menurutnya sudah membayar banyak pajak sesuai dengan aturan. "Kami sudah membayar pajak yang banyak. Kami membayarnya dengan cara yang sudah ditentukan secara legal," sebut Eric dalam sebuah kesempatan, dikutip dari Daily Mail, Senin (19/9/2016).
"Aku sangat bangga dengan struktur yang kami buat. Kami melakukannya berdasarkan insentif yang ditawarkan pemerintah. Inilah yang disebut kapitalisme. Kami bangga sebagai perusahaan kapitalis. Aku tidak meragukan soal ini," jelasnya. Google mengutarakan hal tersebut di tengah kecaman dari pemerintah Inggris yang memang cukup agresif mengejar pembayaran pajak dari Google. Di tahun 2012, Google diketahui hanya membayar pajak 6 juta poundsterling, padahal pendapatan mereka di Inggris mencapai 2,5 miliar poundsterling.
Kala itu, Menteri Keuangan Inggris George Osborne ingin menghalangi praktik perusahaan internasional seperti Google mengalirkan keuntungannya ke negara tax haven. "Kami ingin memastikan perusahaan multinasional membayar bagian pajaknya dengan pantas," sebut George. Pernyataan Schmidt juga banyak dikecam. "Mengatakan hal semacam itu adalah arogan dan penghinaan bagi konsumennya di Inggris," kata Margaret Hodge dari parlemen Inggris.
"Orang-orang biasa yang patuh membayar pajak tentu sakit hati dan lelah melihat perusahaan yang sungguh sangat menguntungkan seperti Google menggunakan segala macam trik untuk mengakali kontribusi pajak yang adil," ketusnya. Penolakan Google Asia Pacific Pte Ltd untuk diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) atas kewajibannya berbuntut panjang. Pemeriksaan dibutuhkan untuk menguji kepatuhan pembayaran pajak oleh perusahaan multinasional tersebut.
Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus, M Haniv, menjelaskan sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pasal 39 ayat1 huruf e, dinyatakan bahwa menolak pemeriksaan Ditjen Pajak adalah tindakan pidana. "Menolak dilakukan pemeriksaan itu adalah pidana. Jadi untuk mempidanakan pasalnya dari sini. Sudah telak itu. Dia masuk ke jurang," ungkap Haniv.
Ruang lingkup pemeriksaan adalah perorangan atau badan usaha baik dalam negeri maupun asing yang mendapatkan penghasilan di Indonesia. Google berhak diperiksa karena selama ini mengambil keuntungan dari perusahaan di Indonesia. Seperti diketahui, penolakan pemeriksaan disampaikan langsung oleh Directur Asia Pacific, Financial Planning and Analyst, Marco Bola, kepada kantor pajak khusus Badan Orang Asing (Badora) Jakarta.
Bunyi suratnya adalah Google tidak seharusnya dianggap memiliki Bentuk Usaha Tetap (BUT), tidak seharusnya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan dan tidak seharusnya dilakukan pemeriksaan. "Kan gila itu. Badan usaha siapa yang tidak boleh diperiksa di Indonesia. Siapa pun saya bisa periksa. Kalau tidak seharusnya dilakukan pemeriksaan itu dari mana kamusnya," terangnya.
Pengenaan pajak dalam sebuah negara harus mengusung sisi keadilan. Bahwa siapa pun yang melakukan aktivitas ekonomi di sebuah negara, dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Ini juga seharusnya ditanamkan di Indonesia. Ketika seluruh masyarakat harus menyisihkan sebagian dari penghasilannya, secara sadar atau tidak untuk membayar pajak. Kemudian juga mengikuti prosedur pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan untuk menguji sisi kepatuhan.
"Jadi kita ingin rakyat tahu bahwa ini lho perusahaan raksasa yang anda gunakan terus, dia nyedot duit kita, tapi nggak bayar pajak," kata Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus, M Haniv. Google menolak mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang merupakan persyaratan bagi badan usaha asing yang berusaha atau mendapatkan penghasilan di Indonesia. Ini pun yang membuat Google tidak bisa dikenakan pajak di dalam negeri.
"Ada prinsip pajak-pajak di BUT. Artinya penghasilan yang diperoleh di indonesia bisa dipajaki," jelasnya. Haniv menambahkan, selama ini yang ada di dalam negeri hanyalah PT Google Indonesia. Perusahaan tersebut berbeda dengan BUT, karena tercatat sebagai badan usaha dalam negeri dan bersifat independen. Dalam konsepnya, PT Google Indonesia hanya mendapatkan fee atau pergantian biaya ditambah dengan 8% dari total biaya yang dikeluarkan dari setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh Google Asia Pacific di Indonesia. Hal tersebut berbeda dengan BUT.
"Mereka tidak mendaftarkan BUT hanya membuat perusahaan kecil di Indonesia. Jadi semacam EO (Event Organizer). PT GI itu terdaftar sebagai perusahaan Indonesia. Kalau ada Google ada apa-apa, PT GI yang buat, biayanya diganti plus 8%," papar Haniv. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sedang mengejar kewajiban pajak Google Asia Pacific Pte Ltd. Namun, Google yang berkantor di Singapura ini menolak untuk membayar pajak meskipun mendapat penghasilan dari kegiatan bisnis di Indonesia.
Merespons sikap Google ini, pengusaha meminta pemerintah terus mengejar kewajiban perusahaan itu. Sebab, siapapun yang memperoleh penghasilan dari bisnis di Indonesia dikenakan pajak. "Kalau dia cari keuntungan di Indonesia, ya harus bayar pajak. Kita saja cari keuntungan bayar pajak," ujar Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani.
"Kalau perusahaan besar merambah ke mana-mana ya harus bayar pajak. Saya setuju dengan langkah Ibu Menteri Keuangan," lanjut Rosan. Rosan menambahkan, pengusaha mendukung Ditjen Pajak yang terus menagih kewajiban pajak Google. Langkah ini, menurut Rosan, harus melibatkan kerja sama dengan pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika.
"Pemerintah harus berani mengambil tindakan tegas, harus dikejar terus," tutur Rosan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ditjen Pajak sudah menyurati Google untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Namun, pihak Google menolak membayar pajak. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) menunjukkan keseriusan mengejar kewajiban pajak dari Google Asia Pacific Pte Ltd yang berdomisili di Singapura. Setelah mendapat penolakan dari Google untuk diperiksa, langkah investigasi akan segera dilaksanakan.
Bila merunut ke belakang, pantauan Ditjen Pajak terhadap Google memang merujuk kepada beberapa negara di dunia. Sebut saja Ingris, Spanyol, Prancis, Australia, dan lainnya. Di mana otoritas pajak setempat mulai merasakan kerugian besar. Ini tidak hanya Google, akan tetapi perusahaan multinasional yang berbasis IT lainnya seperti Facebook, Twitter, Amazon, dan sebagainya.
"Ini kan karena di dunia ini kayak Facebook, Google ,Twitter, Amazon kan sudah mulai dibidik oleh otoritas pajak di manapun, Eropa, Australia dan lain-lain," ungkap Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus, M Haniv. Diyakini konstribusi pajak yang disetorkan sangat kecil, bahkan cenderung hampir tidak ada. Sementara penghasilan yang didapatkan dari dalam negara tersebut sangat besar. Maka sudah sewajarnya, Google dikejar. Begitu pun dengan Indonesia.
"Kita kok diam saja? Makanya kita coba. dan dilihat ternyata London berhasil, kenapa kita nggak," tegasnya. Ditjen Pajak sebenarnya sudah mengajak komunikasi pihak Google, setelah penetapan Google diharuskan mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) pada April 2016 silam. Google awalnya cukup kooperatif dan bekerjasama dengan konsultan pajak di Indonesia.Komunikasi berjalan baik pada pertemuan pertama. Negosiasi hampir menemui titik bahwa Google bersedia untuk membayar seluruh kewajiban pajaknya.
"Awalnya mereka kooperatif karena mengunakan konsultan Indonesia. Mereka bisa sampai mereka datang ke sini, sudah komunikasi, sampai mereka tanya kira-kira berapa yang mau mereka harapkan," kata Haniv. Untuk pertemuan kedua, Google mulai mengelak. Sampai akhirnya mengirimkan surat kepada Ditjen Pajak, yang intinya menolak untuk mendirikan BUT dan mengikuti proses pemeriksaan di Indonesia.
"Kami panggil terakhir sekitar Juni, ada tanda terima dari Google Asia Pacific, tapi malah mengirimkan surat penolakan. Mungkin ada konsultan baru," paparnya. Pemerintah Indonesia tengah mengejar Google terkait setoran pajak yang menunggak. Namun di sisi lain, Google juga tengah menjalin kerja sama dengan Indonesia dalam sejumlah hal. Menurut pengamat telematika Heru Sutadi, penghindaran pajak yang dilakukan Google bukan cuma terjadi di Indonesia, di banyak negara, Google juga ditengarai melakukan hal tersebut.
"Solusinya adalah dengan ketegasan kita, disertai bukti yang kuat, serta harus dilakukan secara integrasi oleh semua instansi," tegas Heru yang juga mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu saat. Maksudnya, kalau dengan pengusaha lokal pemerintah tegas menginvestigasi pajak, yang bahkan pajak beberapa tahun lalu, hal yang sama perlu dilakukan Google. Hal ini penting dilakukan agar jangan ada kesan terhadap orang asing kita longgar, terhadap bangsa sendiri kita ketat.
"Langkah terintegrasi maksudnya, jangan di satu sisi Ditjen Pajak keras, eh di sisi lain, instansi lain malah bermesraan dengan Google. Itu yang membuat mereka tetap merasa aman. Kalau Ditjen Pajak mengivestigasi mereka tapi mereka tetap bisa meluncurkan balon internet Google atau diajak kerja sama mengembangkan pariwisata, kan sulit penegakan hukum dilakukan," ungkapnya.
Project Loon alias balon internet Google memang jadi salah satu kolaborasi Google dengan Indonesia. Dimana penandatanganan memorandum of understanding (MoU) Google dan para operator Indonesia — Telkomsel, Indosat dan XL Axiata — disaksikan langsung oleh Menkominfo Rudiantara di markas Google X, San Fransisco, Amerika Serikat pada akhir tahun 2015.
Dalam kesepakatan itu disebutkan bahwa Google dan tiga operator Indonesia bakal melakukan uji teknis balon internet Loon di beberapa wilayah Indonesia. Meski sampai sekarang realisasi kerja sama tersebut belum kelihatan hasilnya. Kembali ke soal penanganan pajak Google, Heru menilai selama proses investigasi pajak, etika kerja sama dengan perusahaan yang didirikan oleh Sergey Brin dan Larry Page tersebut — seperti balon internet, pemasaran pariwisata, dan lainnya — sebaiknya dihentikan dulu.
Bahkan seharusnya tidak boleh ada pertemuan pejabat Indonesia -- kecuali investigator pajak -- dengan Google, baik di indonesia maupun di Silicon Valley. "Anggap saja seperti kasus masuk pengadilan dimana hakim, jaksa tidak boleh berkomunikasi dengan terdakwa," ujar Heru. Haruskah sampai setegas itu? "Ya harus begitu," tegasnya. Hal ini penting untuk menunjukkan keseriusan Indonesia alias tak memunculkan sikap bermuka dua.
"Sekaligus agar tidak timbul fitnah dalam kasus investigasi ini. Dan baiknya Ditjen Pajak menggandeng KPK, sebab bukan tidak mungkin akan mengalir gratifikasi atau apapun dari Silicon Valley agar kasus ini berhenti dan tidak dilanjutkan lagi. Apalagi nilai obyek pajaknya triliunan," Heru menandaskan. Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) tengah mengejar kewajiban pajak dari Google Asia Pacific Pte Ltd yang berdomisili di Singapura. Setelah mendapat penolakan dari Google untuk diperiksa, langkah investigasi akan segera dilaksanakan.
Ditjen Pajak sebenarnya sudah mengajak komunikasi pihak Google, setelah penetapan Google diharuskan mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) pada April 2016 silam. Google awalnya cukup kooperatif dan bekerjasama dengan konsultan pajak di Indonesia. Komunikasi berjalan baik pada pertemuan pertama. Negosiasi hampir menemui titik bahwa Google bersedia untuk membayar seluruh kewajiban pajaknya.
Namun untuk pertemuan kedua, Google mulai mengelak. Sampai akhirnya mengirimkan surat kepada Ditjen Pajak, yang intinya menolak untuk mendirikan BUT dan mengikuti proses pemeriksaan di Indonesia. Padahal menurut Kepala Kantor Wilayah Pajak Khusus M Haniv, ada ketidakwajaran pembayaran pajak Google kalau dilihat dari skala revenue-nya yang sudah triliunan rupiah.
Haniv menjelaskan, pada 2015 lalu, pendapatan atau omzet Google dari Indonesia mencapai Rp 3 triliun. Bila melihat jenis usaha, maka labanya yang didapatkan biasanya berkisar sekitar 40-50%, sebab tidak terlalu banyak biaya pengeluaran. "Harusnya mereka dapatnya 40-50% saja labanya," ujarnya. Haniv mengasumsikan laba yang diterima adalah Rp 1 triliun. Maka pajak penghasilan (PPh) yang harus dibayarkan adalah 25% dari laba yaitu Rp 250 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu 10% dari pendapatan yaitu Rp 300 miliar.
Aktivitas usaha Google di Indonesia meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sehingga asumsi pajak yang seharusnya dibayarkan dalam lima tahun adalah Rp 2,75 triliun. "Pajaknya PPN bisa Rp 300 miliar. PPh kalau Rp 1 triliun ya Rp 250 miliar," imbuhnya.
Meski asumsi, namun Haniv menilai potensi pajak yang seharusnya dibayarkan oleh Google bisa lebih besar dari nominal tersebut. Sementara aturan yang diberlakukan bahwa semua yang beraktivitas ekonomi di Indonesia harus membayar pajak. "Ini sama di seluruh dunia begitu juga Australia itu pun begitu," tegas Haniv.
Panasnya isu pajak yang tengah melanda Google dengan pemerintah Indonesia memunculkan pertanyaan retorik dari sejumlah orang, apakah Indonesia bisa terbebas dari Google? Disebut retorik karena sebagian dari Anda pun sudah tahu jawabannya, "Ya, bakal susah!". Meski demikian, sebagian lagi tetap saja melontarkan pertanyaan menggelitik tersebut untuk benar-benar diketahui jawabannya. Nah, ketika pertanyaan serupa ditanyakan kepada pengamat telematika Heru Sutadi. Ia menjawab, "memang agak telat karena kita fokus pada kuantitas dengan gerakan 1.000 startup digital".
Padahal, lanjutnya, ada 4-5 aplikasi atau konten yang perlu dihadirkan. Semisal mesin pencari, pesan instan, media atau jejaring sosial serta layanan berbagi video. "Kalau serius satu tahunan kita bisa dapat pengganti Google," tegas mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu saat berbincang. "Jadi memungkinkan saja hidup tanpa Google? Asal serius, dalam arti dipersiapkan aplikasi alternatif dan kemauan dari user?".
Heru lantas menjawab, jika terkait sistem operasi — mengacu OS mobile Android yang juga merupakan milik Google -- dan peta digital Google Maps ataupun Waze mungkin butuh waktu lebih lama. Tetapi jika semua pemangku kepentingan di industri digital Indonesia bersatu dan memiliki tekat kuat bukan tak mungkin untuk mengikuti jejak China yang bisa 'terbebas' dari Google. "Butuh komitmen dari semua. Mulai dari user, developer, pemerintah bahkan operator. Harus optimis," pungkasnya.
Sedikit menyinggung soal hubungan China dan Google. Di Negeri Tirai Bambu itu, Google memang tak meraksasa seperti di negara lain. Pemerintah China menerapkan filter yang sangat ketat bak tembok besar terkait kehadiran layanan populer asing — tak cuma Google. Jadi ketika ada pengguna internet di China yang ingin mengakses Google cs, mereka tak bisa melalui jalur normal, tetapi harus menyusup lewat 'jalan tikus' untuk mengakali sensor.
Sebaliknya, pemerintah China menyiapkan baik-baik layanan digital lokal alternatif untuk dikonsumsi oleh penduduknya. Sebut saja nama Baidu sebagai pengganti mesin pencari Google, Weibo pengganti Twitter, Youku untuk menggantikan YouTube, Renren lawannya Facebook, dan masih banyak lagi. Nah, bagaimana dengan Indonesia jika kembali ke pertanyaan retorik di awal, yakin bisa hidup tanpa Google?
No comments:
Post a Comment