Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) menyoroti sejumlah fokus kebijakan pemerintah di industri obat dan alat kesehatan, yang tersebar di paket kebijakan deregulasi jilid VI dan IX.
Dalam paket kebijakan deregulasi ekonomi jilid VI, yang rilis pada 6 November 2015, salah satu fokus kebijakan pemerintah adalah mendorong kelancaran bahan baku obat. Solusinya yang ditawarkan adalah penggunaan sistem online terintegrasi atau Indonesia Nasional Single Window (INSW) terkait perizinan impor di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Waktu pengurusan izin pun dipangkas dari yang sebelumnya memakan waktu berhari-hari kini menjadi hanya delapan jam.
"Paket ini membuat pengusaha mendapatkan jaminan ketersediaan bahan baku obat yang didapat melalui impor dari sejumlah negara," ujar Direktur Eksekutif GPFI Darojatun Sanusi . Dorojatun menilai penerapan INSW dalam perizinan impor cukup terasa efektivitasnya bagi pelaku industri farmasi, terutama dalam menunjang kebutuhan bahan baku obat di dalam negeri.
Sebelumnya, prosedur perizinan impor bahan baku obat tergolong cukup ketat dan menggunakan sistem yang rumit. Kendati efektivitasnya mulai terasa, tetapi Dorojatun memberikan catatan khusus soal gangguan teknis yang kerap terjadi pada sistem perizinan impor elektronik di BPOM.
"Saya rasa sejauh ini, lebih banyak masalah teknis di BPOM. Sebenarnya yang penting bagi pengusaha itu output-nya (pemberian izin impor), mau pakai sistem elektronik atau tidak, tidak masalah," imbuh Darojatun. Alhasil, lanjutnya, sekalipun waktu perizinan telah dipangkas menjadi delapan jam, tetapi kerap terkendala teknis pencatatan di BPOM.
Menurut Dorojatun, izin impor sangat dibutuhkan oleh industri farmasi mengingat pasokan domestik belum dapat memenuhi kebutuhan bahan baku obat yang sangat besar. Berdasarkan catatan GPFI, saat ini sekitar 95 persen bahan baku obat masih harus diimpor dari sejumlah negara tetangga di Asia. "Yang terbanyak berasal dari China, India, dan Korea," kata Darojatun.
Namun ia menyadari, tidak bisa selamanya industri farmasi nasional bergantung pada impor bahan baku. Untuk itu, perlu ada perencanaan jangka panjang dari pemerintah untuk membangun kemandirian industri farmasi nasional, dengan meningkatkan penggunaan teknologi berkualitas dan pengembangan sumber daya manusia. "Diharapkan nanti ada kebijakan lanjutan yang mampu menggenjot penyediaan bahan baku obat mandiri sehingga tidak terus-menerus bergantung pada impor," tuturnya.
Belum Maksimal
Menyoal paket kebijakan XI, terutama yang menyangkut pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan, GPFI menilai belum ada dampak maksimal yang dirasakan oleh pelaku industri. Meskipun paket kebijakan deregulasi ekonomi XI rilis pada 29 Maret 2016, tetapi Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, baru terbit pada 8 Juni 2016.
Beberapa poin yang diinstruksikan Jokowi ke anak buahnya antara lain menjamin ketersediaan farmasi dan alat kesehatan dalam rangka Jaminan Kesehatan Nasional; meningkatkan daya saing industri; mendorong penguasaan teknologi dan inovasi; dan mempercepat kemandirian dan pengembangan produksi bahan baku obat, obat, dan alat kesehatan.
Darojatun Sanusi mengatakan, belum efektifnya paket kebijakan XI tercermin dari belum adanya kerja sama investasi baru di sektor farmasi, yang melibatkan pemodal asing. Meskipun proses impor bahan baku obat telah dipercepat, ternyata tak serta merta membuat investor asing datang ke Indonesia.
"Ada ketertarikan investor asing untuk kerja sama dengan farmasi lokal tapi sampai sekarang nyatanya belum ada penambahan kerja sama itu," ujar Darojatun. Kemitraan dengan perusahaan farmasi lokal, kata Dorojatun, sudah banyak dipertimbangkan calon investor asing untuk meminimalkan risiko. Pertimbangan lainnya adalah pelaku industri farmasi dianggap telah memahami peraturan dan kondisi bisnis di Indonesia.
Namun, lanjutnya, karena sampai saat ini implementasinya belum jalan maka dampaknya juga belum teralu dirasakan pelaku industri. Selain itu, kata Dorojatun, investor asing juga merasa belum ada jaminan bahan baku obat yang diimpor sepenuhnya bisa dimanfaatkan di dalam negeri sekalipun sudah ada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
"Kita ada program JKN oleh BPJS, harusnya ada jaminan bahan baku obat banyak digunakan ke sana tapi datanya masih belum akurat," jelas Darojatun. Darojatun mengungkapkan, sejauh ini JKN telah menyerap sekitar 70 persen obat yang diproduksi oleh farmasi lokal. Ini menandakan, JKN turut memperbesar volume obat di pasaran.
Tak hanya itu, paket kebijakan ekonomi pemerintah juga belum mampu memberantas peredaran obat palsu di pasaran. Praktik perdagangan obat ilegal ini selama ini menimbulkan kekhawatiran masyarakat untuk mengonsumsi obat sehingga turut memukul pelaku industri farmasi legal.
"Kita dibayangi isu obat palsu, pemberitaannya luar biasa, obatnya juga marak di pasaran. Ini turut mempengaruhi pertumbuhan farmasi lokal karena mempengaruhi daya saing," ujarnya. Kekurangan lainnya, tambah Dorojatun, deregulasi ternyata belum mampu mempercepat pemberian nomor edar obat yang diregistrasi serta pemberian rekomendasi obat dari BPOM.
"Kalau bisa dipercepat agar lebih cepat pula obat tersebut beredar di masyarakat. Ini masih kendala dikinerja BPOM karena mereka kekurangan tenaga kerja," imbuhnya. Untuk itu, Darojatun meminta pemerintah dapat lebih mensinergikan kebijakan-kebijakan pengembangan industri farmasi Indonesia dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Perdagangan (Kemendag) hingga BPOM.
Pasalnya, semangat memajukan industri farmasi yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi harus dikejar dengan maksimal. "Kita banyak komunikasi dengan Kemenkes dan Kemenperin agar penggunaan hasil produksi dalam negeri bisa didukung dengan kebijakan baru," tutupnya.
No comments:
Post a Comment